Taufiq Wr. Hidayat (Fiq) adalah penulis produktif. Penulis yang benar-benar menulis, dan penulis benar. Hampir semua orang bisa menulis. Tapi tidak benar-benar sebagai penulis. Yang benar-benar penulis tidak banyak. Apalagi ingin menjadi penulis lepas. Sastrawan lepas, budayawan lepas, penyair lepas. Semua lepas-lepas. Sebab jadi penulis lepas itu, harus melalui sekian banyak syarat. Salah satunya, tidak tergoda masuk ke penerbit kapitalis. Segalanya memang butuh uang. Tapi uang bukan segalanya.
Penulis lepas itu seperti burung di alam bebas. Taufiq Wr. Hidayat bukan seperti burung berkicau di dalam sangkar. Fiq adalah burung berkicau di alam bebas. Uang akan datang dengan sendirinya. Dan memang naif ada orang mengejar uang. Kita pastikan ia orang gila. Sementara itu, penulis bukan orang gila. Burung tidak makan uang. Uang bisa mendapatkan Lovebird.
Judul-judul buku Taufiq Wr. Hidayat bisa bicara banyak. Bisa menjadi perkara yang berkepanjangan. Buku terakhir yang terbit adalah “Kitab Kelamin”. Di sampul belakang “Kitab Kelamin” itu, ada komentar Rachmat Sarmadhan. Mengaku sebagai pengamat kelamin. Tapi saya tidak yakin. Boleh jadi ia bisa membayangkan kelamin saat memandang perempuan cantik di acara “Tribute Yon’s DD dan Catur Arum” kemarin (Jumat, 21 Februari 2020) di sebuah hotel mewah di Banyuwangi.
Rachmat Sarmadhan, orang yang mengaku sebagai pengamat kelamin tersebut, minta penjelasan lebih lanjut perihal dirinya. Karena nama Rachmat Sarmadhan ada dalam tulisan saya. Sampoerna Hijau dulu, nanti akan saya jelaskan panjang kali lebar, kata saya. Pengepulan (asap), itu penting. Bisa mencairkan suasana, melunakkan batin. Disanding dengan kopi Nongko. Tidak bisa duduk hanya satu dua jam. Dengan demikian, biasanya nasi bungkus datang menyusul. Dan tidak harus banyak omong. Sebab diam adalah kecelakaan. Rachmat Sarmadhan tampak lucu kalau diam. Maksudnya kalau dia diam melihat kawannya tak punya rokok. Ini sebagai klarifikasi. Tentu saja ini gara-gara “Kitab Kelamin” Taufiq Wr. Hidayat yang nyentrik itu. Akan saya jelaskan hubungan antara “Kitab Kelamin” dengan “si pengamat kelamin”. Tentu ada alasannya. Ada kaitannya. Adalah luar biasa pengamat kelamin ikut kasih komentar. Terus terang (sang), saya orgasme. Tidak menduga kalau Rachmat Sarmadhan adalah pengamat kelamin. Sebab selama ini yang saya ketahui, Rachmat Sarmadhan pecinta sastra budiman. Tentu saja tidak ada yang salah. Yang ditestimoni bukan kelamin. Lucunya di situ. Ini nyatanya menjadi garis lucu baru dalam khasanah penerbitan sastra maupun non-sastra. Tidak ada salah ketik. Ini bukan Rancangan Undang Undang.
Membaca judul buku Taufiq Wr. Hidayat saja, tak ada orangtua mengharuskan anaknya yang milenial membaca buku ini. “Kitab Kelamin” Taufiq Wr. Hidayat jelas tidak mengandung selangkangan. Orangtua pun terjebak oleh judul. Kaum milenial terjebak oleh bacaan dewasa. “Kitab Kelamin” bisa disandingkan dengan “Kitab Iblis”. Keduanya adalah karya monumental Fiq, di samping buku Fiq “Serat Kiai Sutara” yang setebal 600 halaman yang mengagumkan. Kadang kita temukan esai di “Kitab Kelamin” menyelinap di “Kitab Iblis”. Buku “Kitab Iblis” pun menjebak para ustadz dan kiai gadungan. Sejumlah paranormal yang biasa berkawan dengan jin merasa kecewa. Ternyata iblis yang dicarinya di “Kitab Iblis” adalah dirinya sendiri. Begitu liciknya (meminjam istilah Yon’s DD), ratusan esai Taufiq Wr. Hidayat itu saling berkelindan.
Burung yang terbang bebas itu bernyanyi dengan beraneka nada. Tak satu pun perkara besar di dunia dibiarkan sepi. Orang-orang kecil diajak bicara. Tak jarang disuguhi kopi, dibelikan sebungkus Sampoerna Hijau. Dan kekuasaan harus diwaspadai. Kalau perlu pakai satu setengah mata-mata. Sistem demokrasi di republik ini harus dibongkar karena terlalu lama mengenakan topeng. Burung selalu berkicau setiap hari. Celakanya, yang sering kita dengar kicauan burung dalam sangkar. Suaranya memang terasa merdu dan murni. Si tuan-puan terhibur, girang punya piaraan menawan hati. Taufiq Wr. menyadari hidup dan kehidupan ini penuh paradoks. Membebaskan diri dari kerangkeng tuan-puan yang terhormat adalah satu syarat lain untuk menjadi penulis yang benar-benar penulis. Karakter harus tawadhu (rendah hati) hanya ke kiai yang benar-benar kiai. Istikomah dan “sendiko dawuh” (kedua telapak tangan bersidekap di depan dada). Manusia yang memiliki karomah itu tak lain dan tak bukan ialah Kiai Sutara. Ia adalah kitab suci berjalan. Berjalan sesuai fitrahnya. Tapi selalu menjadi rahmat bagi semesta alam. Pengetahuan datang dalam kepekaan membaca keadaan.
Esai Taufiq Wr. adalah rangkaian kata-kata yang tak selalu mengandung makna. Selebihnya, sebagian besar, mengandung pesan: jadilah seorang pemikir. Kata-kata harus dimainkan. Dan bahasa mengandung bunyi, seperti suara burung. Menulis menjadi asik, bahwa kata-kata, di samping mengantarkan pengertian, ia pun menyimpan banyak makna. Sebuah esai Taufiq Wr. Hidayat adalah rangkaian kata dalam bahasa yang utuh. Gaya bahasanya menjadi kebiasaan yang tetap: mengalir seperti sungai yang bening dan sejuk. Kita bisa mancing ikan di sana. Tapi kita pun merasakan ada jeda untuk menarik nafas, seperti meliuk mengikuti kelokan sungai ke muara. Jeda itu sebentuk informasi tentang pemikiran sejumlah tokoh. Datang dari Barat dan Timur. Juga pemikir dunia yang dianggap hebat. Taufiq berusaha membumikan pemikiran tokoh itu. Sengaja dikutip, diterjemahkan dengan bahasanya sendiri. Kemudian dikaitkan, menguatkan topik yang tengah ia perbincangkan. Dalam proses menulis, ada ingatan pada penulis lain, juga sekian tempat dan peristiwa. Taufiq Wr. Hidayat terasa begitu mudah memungut kenangan. Kehidupan di Wongsorejo misalnya, menjadi gambaran yang menjiwai narasi dalam esainya yang tak usai-usai. Daerah kering di Utara Banyuwangi itu menjadi sumber kreatif. Juga perihal pasar Rogojampi dan Kiai Sutara.
Banyuwangi, 2020.
*) Fatah Yasin Noor, lahir di Banyuwangi tahun 1962. Puisi-puisinya dalam antologi API (Angkatan Penyair Indonesia, 1998). Esai-esainya bagai nyanyian ganjil -mengusung sesuatu yang nyaris tak tertangkap publik. Sajak-sajak tunggalnya terkumpul dalam buku “Gagasan Hujan” (PSBB, 2003), “Rajegwesi” (PSBB, 2009). Kumpulan catatannya yang unik dan panjang terhimpun dalam “Seribu Jalan Raya” (PSBB, 2011). Tulisannya tersebar di media-media massa nasional dan lokal, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Majalah Budaya Jejak dan Bali Post. Puisinya yang dimuat di koran Bali Post itulah yang menarik, waktu itu redakturnya Umbu Landu Paranggi. Tahun 1979, esainya yang kritis berjudul “Film Nasional, Sebuah Tanggapan” dimuat media sastra legendaris dan pertama kali di Banyuwangi, Kertas Budaya Jejak, besutan alm. Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan.
Fatah menempuh pendidikan menengah dan tinggi di Yogyakarta, -boleh jadi tradisi berpikir kritisnya terbangun dari sana. Di Banyuwangi, nyaris media sastra tidak lepas dari tangan dinginnya. Ia Pimred jurnal Sastra-Budaya Lembaran Kebudayaan, dan pernah mengomandani kelompok budayawan serta seniman yang menolak Dewan Kesenian Banyuwangi (DKB) tahun 2002. Ia bersama gerbong para budayawan “bawah tanah” sempat mendirikan DKB-Reformasi, sebagai tandingan DKB “pemerintah” bergaya Orba waktu itu. Gerak budaya yang dikerjakan sastrawan nyentrik ini tak bisa dianggap remeh, terbukti “gerbong” DKB-R produktif melahirkan karya-karya berkualitas secara berkala dan melakukan kajian sastra pula penulisan sejarah Banyuwangi. Tahun 1998, menjadi salah satu dari kelompok muda yang menghadirkan alm. W.S. Rendra di Gedung Wanita, Banyuwangi, dalam peluncuran buku puisi para penyair Jawa-Bali “Cadik”, sehari sebelum tumbangnya Soeharto! Di masa itu bukan main-main mengadakan kegiatan sastra yang kritis berhadapan dengan aparat. Di tahun itu juga, bersama penyair dan budayawan lain, ia mengemukakan sikap anti kekerasan menyoal peristiwa “santet” di Banyuwangi.