(Menjadi Delmantrung untuk Melawan Kematian)
Sastra lisan adalah karya sastra yang disampaikan melalui ucapan baik dengan kemesan seni pertunjukan atau di luar darinya. Sastra lisan merupakan kekayaan yang paling banyak yang diciptakan oleh nenek moyang yang terus-menerus ditransformasikan secara lisan kepada generasinya. Awalnya sastra lisan ini berkembang pada masyarakat yang memang belum mengenal tulis, namun tetap terus berkembang walau dalam perkembangan masyarakatnya mulai mengenal tulis. Perkembangannya dengan berbagai macam kemasan, salah satunya dengan kesenian yang sesuai dengan perkembangan zamannya. Kekayaan sastra lisan tersebut sampai ke beberapa generasi berikutnya lantaran spirit dan nilai yang masih diyakini menjadi way of life, menjadi pedoman hidup, sehingga dari satu generasi pada generasi lainya merasa penting untuk terus-menerus disampaikan kepada anak cucunya.
Sastra lisan yang merupakan kekayaan luhur yang diwariskan dari nenek moyong tersebut juga diungkapkan Potter bahwa sastra lisan atau folklore merupakan lively fosil which refuse to die (Leach, 1949; 401). Secara leksikal dapat diterjemahkan bahwa cerita rakyat merupakan fosil hidup yang menolak kematian. Atau bisa dijelaskan bahwa sastra lisan adalah kearifan lokal peninggalan nenek moyang yang senantiasa hidup dan menghidupi masyarakatnya dengan nilai-nilai kearifan yang spirit positifnya menjadi kebutuhan dan berkembang di masyarakat.
Sastra lisan sering juga menjadi ujaran bahkan ajaran suci dalam kebanyakan masyarakat tertentu. Apalagi sastra tersebut ditransformasikan dalam bentuk nyanyian dan cerita-cerita yang peristiwa buruknya pun menyampaikan pelajaran kebaikan apalagi adegan kebaikannya. Cukuplah kebohongan, kesombongan, penghianatan bahkan peperangan dan tragedi lainnya itu hanya terjadi pada isi cerita-cerita lisan yang tidak perlu terjadi dalam kehidupan masyarakat penikmat. Sebab peristiwa yang merupakan pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang universal yang diungkap dalam sastra lisan tersebut memberikan penyadaran bahwa hal tersebut merugikan kehidupan dan mematikan kemanusiaan itu sendiri.
Kentrung satu diantara kemasan sastra lisan yang merupakan fosil hidup untuk menolak kematian secara immaterial, atau yang dikenal dalam ajaran agama merupakan suatu jariyah yang manfatnya terus-menerus mengalir pada pencipta dan pengembang karya. Pada umumnya kentrung dimainkan oleh seorang dalang tanpa wayang yang sekaligus menjadi panjak dengan membawakan cerita dengan kluntrang-kluntrung, maksudnya dimainkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Kebanyakan cerita yang disampaikan adalah perjalanan juru dakwa kebaikan dan kebenaran dan tantangannya. Mulai dari cerita nabi-nabi, sahabat sampai orang-orang bijak dan pahlawan yang hidup pada zamannya.
Sebagaimana penelitian pertama kali tentang kentrung yang dilakukan Suripan Sadi Hutomo dalam buku hasil penelitiannya yang berjudul Kentrung Sarahwulan di Tuban. Bahwa muasal kentrung berasal dari desa Bate Bangilan Pati Jawa Tengah. Yang menciptakan kemasan penyampaian sastra lisan dengan kentrung pertama kali adalah Sunan Kalijaga lalu dikembangkan oleh Kyai Basiman lagi pada tahun 1930. Turun-temurun dan berkembang ke berbagai wilayah pantura Jawa; Jepara, Tuban, Lamongan, bahkan ke selatan, ke Blora, Tulungagung, Kediri, Blitar dan ke berbagai tempat lainnya.
Sayangnya, sastra lisan dengan kemasan kentrung ini perkembangannya semakin lama semakin ditinggalkan generasinya, satu-satunya dalang yang ada di kabupaten tertentu meninggal dan tidak punya penerus. Padahal kentrung sampai sekarang diyakini memiliki spirit yang cukup tinggi untuk merekatkan antar masyarakat dan mendekatkan pada Tuhannya. Tentu usaha yang sangat mulia bila ada sekelompok anak muda yang mau menghidupkan fosil yang sejatinya sedang melawan mati tersebut menjadi kemasan sastra lisan yang cukup menarik, hadir di tengah-tengah kebutuhan estetika anak muda.
Delmantrung adalah salah satu ikhtiyar bagaimana sastra lisan kentrung disampaikan dengan model yang berbeda dan lebih atraktif, namun tetap religius. Delmantrung menjadi pemanggungan dengan berjama’ah, tidak tunggal. Sebab harus menghadirkan beberapa elemen penting pertunjukan drama, yaitu sutradara dan aktor dengan dukungan properti sesuai kebutuhan cerita. Naskah pun tidak cukup disampaikan secara lisan kepada para aktor. Cerita-cerita ditulis dalam naskah untuk dibaca dan dimainkan para aktor dihadapan khalayak ramai. Tentunya ini lebih ribet dibanding dengan kentrung aslinya, namun keribetan itu dihadirkan agar kentrung tetap bisa lestari, kembali bisa hadir di tengah-tengah masyarakatnya.
Beberapa langkah dalam mengembangkan delmantrung adalah:
1. Pemahaman bersama-sama tentang kentrung yang didramakan.
2. Penulisan sastra lisan menjadi naskah drama.
3. Lokakarya bersama tim pengembang; Sutradara, aktor dan tim artistik lainnya.
4. Casting, blocking dan rehersial.
5. Pentas.
6. Sarasehan.
Beberapa langkah tersebut disampaing sebagai proses penciptaan karya, juga sebagai bentuk edukasi, pembelajaran bersama yang dipastikan dalam kelompok penggarapan delmantrung ini terdiri dari berbagai usia dan latar belakang pengetahuan yang berbeda. Akan sangat dimungkinkan mereka akan saling menyerap pengetahuan dan ketrampilan kentrung tersebut dikembangkan menjadi drama, dan mereka semua sangat berpotensi mengembangkan dan menciptakan lagi di tempat yang berbeda dan tentunya dengan anggota kelompok yang berbeda. Maka kentrung yang religius tersebut akan mampu melawan kematian di tengah-tengah masyarakatnya dengan model delmantrung.
Disampaikan pada Workshop Sastra Lisan Membumikan Kentrung Sebagai Warisan Budaya Lamongan, 7 Maret 2020.
*) Rodli TL, Sutradara dan penulis naskah drama, pengasuh sanggar teater Sangbala. Tinggal di Canditunggal Kalitengah Lamongan. Email: tlrodli@yahoo.coo.id/ WA:085732482167