Sejauh yang saya tahu atau alami membaca puisi tidak seperti membaca opini, berita, novel, atau jenis-jenis lainnya. Jika tidak terbiasa mungkin kita akan lekas pergi dan meninggalkan puisi-puisi yang kita baca. Kadang saya merasa membaca puisi hampir sama dengan pengalaman spiritual, butuh kekhusukan dan penjiwaan.
Dalam buku Soni Farid Maulana, ini kita akan mengetahui seluk-beluk puisi. Sebenarnya saya menemukan buku ini secara tidak sengaja terselip di rak sastra Perpustakaan Daerah Lamongan. Kadang saya berasumsi bahwa perjumpaan saya dengan buku, memang sudah ditakdirkan oleh Yang Di Atas. Sebab saya menemukan buku ini memang ketika saya ingin tahu lebih banyak tentang isi-isi puisi.
Sebelumnya saya tidak pernah mendengar nama Soni Farid Maulana, boleh dikatakan saya sangat asing dengan nama itu. Namun bagaimanapun saya harus berterima kasih banyak pada beliau, karenanya saya dapat mengerti sedikit lebih banyak tentang isi-isi puisi.
Sebenarnya buku ini semacam kritik umum yang ditulis untuk masyarakat umum yang mencintai sastra utamanya puisis, sehingga bahasa yang digunakan juga sangat sederhana dan mudah dipahami. Menurut saya buku ini sangat cocok bagi para otodidak yang ingin mengerti lebih banyak tentang puisi. Bagaimana pertamakali puisi dituliskan dan apa nama bentuk-bentuk kalimat yang menjadi larik-larik puisi.
Dalam menulis puisi dibutuhkan imajinasi, disebutkan didalam buku ini bahwa imajinasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam merealisasikan gagasan, ide, maupun perasaan estetik yang ditulis dalam karya sastra. Saya merasakan imajinasi merupakan unsur yang tidak bisa dilupakan, imajinasi kerap membantu saya menemukan tempat-tempat baru, semacam utopia atau distopia. Mungkin bentuk-bentuk semacam ini bisa kita temukan di sebagian besar puisi Afrizal Malna, bahkan juga di cerpen-cerpennya.
Di buku ini Soni Farid Maulana juga mengenalkan berbagai nama yang turut mempengaruhi perkembangan puisi di tanah air, semisal Amir Hamzah, Chairil Anwar yang juga banyak mempengaruhi Soni dalam kiprah kepenyairannya. Diakui oleh Soni puisinya yang berjudul Kamar dan Di Pemakaman banyak terpengaruh oleh gaya Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Ada juga W.S. Rendra yang mengaku puisi lahir dari pengalaman yang dihayati, Wing Kardjo yang juga pernah menulis haiku, beliau juga menggarap puisi dari berbagai tema dan variasinya. Ada pula Saini KM dengan Mawar Merah-nya, buku kumpulan puisi pertama dan terakhirnya. Saya tidak mengerti banyak tentang Saini KM hanya saja di buku ini ia begitu banyak mendapat penghargaan kepenulisan. Ia tidak hanya menulis puisi tetapi juga cerpen, naskah drama, dan esai.
Kemudian di dalam puisi ada pula Gerakan Puisi Mbeling yang dipopulerkan oleh Remy Sylado. Puisi Mbeling atau juga Puisi Nakal ini diberikan tempat dalam majalah Aktuil pada tahun 1972-1973, dikatakan konsep estetik dari puisi ini adalah pemberontakan terhadap rezim Orde Baru yang feodal dan munafik pada satu sisi, dan pada sisi lain pemberontakan terhadap arus besar puisi lirik seperti yang banyak dijumpai dalam majalah sastra Horison. Meskipun seperti itu dalam penulisan puisi Mbeling bahasa harus diatur dan dipilih-pilih sesuai dengan stilistika yang baku, begitu kata Remy Sylado.
Masih banyak nama-nama lain yang dibahas Soni Farid Maulana dalam buku ini, termasuk Arifin C. Noer yang mungkin lebih kita kenal karena naskah dramanya dibalik itu puisi-puisi yang ia tulis juga tak kalah indahnya. Oka Rusmini, Acep Zamzam Noer, Sinta Ridwan. Pada dasarnya setiap penyair mempunyai gayanya masing-masing.
Pada akhirnya membaca buku ini seperti telah membuka lebar mata saya, bahwa penyair di tanah air ini begitu banyak, menulis puisi tidak hanya menulis puisi ada kaidah-kaidah yang harus diikuti dari tradisi kepenyairan tanah air, meski pada akhirnya tugas penyair adalah menemukan gaya ungkapnya sendiri dan membuat khasanah puisi tanah air semakin kaya. Namun saya menyadari untuk mencapai level tersebut kita harus mendaki level-level dibawahnya, sebagaimana kita tidak mungkin berada dilantai 3 tanpa melewati lantai 2. Sebagaimana kita tidak bisa merangkai kata sebelum hafal abjad. Semuanya harus melalui tahap-tahapnya. Entah berapa lama mencapai titik itu saya saya sendiri tidak tahu. Tapi berkat buku ini saya merasa apa yang saya kerjakan selama ini sudah berada dalam jalur yang benar.
_____________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com