Koran Tempo, 23/10/2016
Di Bioskop Bersama Palasik
Dalam gelap itu kau masih terpekur
di ubun-ubun para penganggur
di leher para pencuri
Lalu di dada setengah matang para peri
”Apakah ada dara pahit berhati manis?“
Tiba-tiba kau mengingat bulan merah jambu
kadang ia mirip gulali di belanga
dalam mimpi bahagia para pekerja
Betapa sakit rindu yang permai
Seperti bibir meraba denyut nadi
di leher seekor punai
Geligi haus darah begitu geram
menanti di antrian pendek
Gigitan sendu yang dalam
dan tak bertakik
Betapa kau ingin kembali menjadi palasik
di kota yang lampunya tak pernah padam
dan orang-orang yang lupa jalan pulang.
2016
Palasik, makhluk pengisap darah dalam cerita rakyat di pantai barat Sumatera.
Bermain Monopoli
Lemparlah dadu itu
dan grafik merangkak
cemas antara kehilanganmu
dan hasrat yang bengkak
Dibenam kertas saham
lihat betapa gairah itu terekam
di meja kasir saat jemarimu runcing
menghitung jutaan lembar kata sayang
Siapa mampu membeli gunung kerinduan
dan mengumpulkan gedung kenangan
adalah yang terkaya pada putaran pertama
Akan selalu ada pajak tanda pengampunan
mendekapmu pada malam
yang begitu jahanam gelapnya
Akan selalu ada tempat berhenti sejenak
di putaran entah ke berapa
saat kamu berdiam pada sebuah kotak
yang tak bisa dipercaya
Lalu sebelum permainan ini digelar lagi
kita diam-diam mencari selembar cina:
ia bisa ditukar sebundel cek tanpa angka
2016
Di Kedai Teh Ah Mei
Bahkan sumpit ini gagal menjumput hatinya
sepiring mi kering memendam jarak
dan sepi menancap di kaki-kaki meja
Seceret teh menyeduh apa saja yang pahit:
Bebunga krisan dan pucuk lotus
Aku meneguknya, menebus semua rindu
dan dosa yang tak terhitung sempoa
Kutangkap senyum Ah Mei di lukisan itu
Ia dimsum hangat yang berdiam di bibirku
2016
_________________
Nezar Patria lahir di Sigli, 5 Oktober 1970. Bekerja sebagai wartawan, dan menetap di Jakarta.
https://klipingsastra.com/id/puisi/2016/10/di-bioskop-bersama-palasik-bermain.html