Cinta, Kita dan Sastra

Matroni Muserang *

Ada banyak definisi tentang cinta, walau pun pada akhirnya cinta itu sendiri tidak memiliki cinta. Karena cinta tidak membutuhkan arti dan ucapan, sebab kalau cinta diartikan dan di ucapkan, maka cinta akan hilang menjadi cinta, akan tetapi yang ada adalah arti dari sebuah cinta, dan ucapan dari sebuah cinta.

Akhir-akhir ini kita banyak menemukan terjadinya bunuh diri dan stress katanya karena cinta. Pertanyaannya adalah apakah benar cinta memerintahkan kita bunuh diri? Atau cinta memerintahkan kepada kita untuk diekspresikan? Kasus wanita hamil di luar nikah, pesta seks, dan laiinya. Saya kira tidak pernah cinta berkata demikian. Hanya orang-orang yang belum paham sajalah yang mengakatan demikian.

Maka, dalam hal ini penulis ingin menjawab tantangan cinta di zaman sekarang dengan cinta ala Rumi. Di dunia ini siapa yang tak kenal Maulana Rumi, seorang penyair dan mistikus terbesar Persia. Berangkat dari kegelisahan penulis setelah banyak melihat orang-orang bingung dan strees bahkan bunuh diri atas nama cinta. Ini memang ironis, kejadian ini terjadi di negara yang mayoritas muslim. Maka penulis sedikit ingin memberikan wahana kelembutan untuk kita refleksikan bersama, agar kebingungan dan gebalau ketidakmenentuan tidak selamanya menjadi seni kehidupan, kata W.S Rendra.

Sebenarnya ada banyak teori dan konsep yang ditawarkan Rumi kepada kita seperti kebebasan memilih, evolusi, ma’rifah, cinta, dan lain-lain, tapi penulis ingin lebih fokus pada cinta itu sendiri. Cinta bagi Rumi adalah kekuatan universal. Dari keuniversalan inilah yang kemudian membuat alam ini berevolusi. Alam ini beku dan mati laksana salju, kalau bukan karena cinta, bagaimana mungkin ia dapat terbang dan mencari seperti laron. Karena hanya adanya cinta yang mendalam kepada cahaya, dari lubang yang gelap, laron terbang dan mencari dambaannya, yaitu cahaya (Mulyadi Kartanegara, 2005). Alam ini bergerak dan ingin sekali bertemu dengan penciptanya, karena alam ini terjangkit rasa kerinduan yang luar biasa kepada Allah. Maka, Cintalah yang bertanggungjawab atas segala apa yang terjadi di dunia ini.

Seperti kata-kata orang yang terbuang dan tertindas di masa Victor Hugo Les Miserable “mencintai orang lain adalah untuk melihat wajah Allah” (Basis no.11-12 Tahun Ke-51, 2002, hlm. 30). Coba kalau kita kontekstualisasikan dengan realitas manusia masa kini, manusia yang memberhalakan materi, manusia yang menyembah materi, bagaimana mereka mengartikan dan mengekspresikan cinta? Dan penulis tidak harus menjawab pertanyaan itu, karena jawaban-jawaban itu sudah jelas di depan mata kita. Airmata tumpah atas nama cinta. Perselingkuhan terjadi atas nama cinta. Perceraian terjadi atas nama cinta. Pembunuhan terjadi atas nama cinta. Memang luar biasa ketika kita tidak paham apa makna cinta yang sebenarnya. Maka cinta ala Rumi menjadi landasan paling lembut untuk kita refleksikan bersama dalam kehidupan kita ke depan.

Jadi penulis ingin menjawab dari hasil keaktifan dalam mengikuti kajian kitab Masnawi bersama Cak Kuswaidi Syafi’ie di Pondok. Kalau dalam kitab Rumi yang terkenal yaitu Masnawi, betapa Rumi menggambarkan cinta yang dahsyat kepada Allah semata. Penulis pernah mengikuti pengajian kitabnya bersama penyair sufi penulis buku “Tarian Mabuk Allah” Kuswaidi Syafi’i beliau menerangkan bahwa cinta diibaratkan sebuah cakrawala rohani serta alam roh lebih luas daripada alam jasad, lebih luas dari alam materi. Alam rohani tempat rekreasi dan alam yang tak pernah selesai kita maknai. Jadi kalau kita masih memaknai cinta hanya sepasang manusia (wanita dan laki-laki) atau kalau penulis meminjam bahasanya Kuswaidi Syafi’e selama jasad berjalan di atas lembah jasad, kapankah kita mendapatkan air kehidupan? Air kehidupan adalah kenikmatan rohani kita ketika kita berhadap-hadapan dengan Allah.

Maka, manusia yang hanya berjalan di atas jasad adalah bangkai. Bangkai adalah sesuatu yang tidak memiliki nilai ke-Ilahi-an. Jadi kalau kita ingin mengikuti jejak cinta ala Rumi ada dua cara, pertama gelombang debu dan gelombang samudera. Gelombang debu adalah tumpukan-tumpukan keperihan, kesesakan, penderitaan, kesengsaraan dan keterpenjaraan. Sedangkan gelombang samudera adalah gelombang yang mengantarkan kita kepada ke-Maha-indahan Allah. Maka, haruskah kita bermain dengan gelombang bayang-bayang? Padahal yang nyata hanya Allah.

Ketika hidup di tengah ketidakpedulian nasional kata Agus R.Sarjono, bercocok tanam ketidakadilan dan panen-penen kerakusan kata Emha, maka Anthony Geddens menawarkan ladang refleksivitas untuk kita bersama, agar cinta itu menjadi lembut dan indah ketika bertamu di rumah kemanusiaan. Sudah saatnya kita kembali kepada hamparan doa-doa, agar kita tidak menjadi debu yang hampir tak terlihat karena kita hanya janin-janin tak berdaya di hadapan pencipta.

Kita Siapa?

Menjawa pertanyaan ini sebenarnya muda, kita bisa mencari di KBBI, bahkan semua orang paham. Namun ketika “kita” dibicarakan dalam keseharian betapa kita ini sebenarnya tidak memiliki makna apa-apa, sebab keseharian manusia dibajuhi dengan individu-individu, berdekatan tapi tak se arah. Berkumpul tapi tak nyambung. Itulah zaman androit, zaman yang akan menghilangkan “kita”.

Kita pun tidak memiliki keinginan untuk memberi roh pada kita, sehingga kita akan hilang di telah mulut zaman individu yang egoistic dan apatis. Maka kalau individu yang malahirkan cinta, dapat dipastikan bahwa cinta itu tidak akan sesuai dengan makna yang sebenarnya.

Di sinilah peran sastra sangat sentral. Sastra harus menemukan terobosan baru untuk membongkar bangunan individu yang di paku oleh androit itu. Sastra sekarang harus benar-benar serius memikirkan “kita” yang selama ini dikubur oleh egoisme dan apatisme manusia. Oleh karena itu mari kita diskusi lebih lanjut untuk menemukan rumusan baru “sastra kita” di masa depan.

Kalau sastra membiarkan zaman individu di berkelanjutan, maka akan lahir individu-individu yang mampu berkata “aku sendiri bisa”, padahal yang sendiri aku bisa hanya Allah.

_______________________
*) Matroni Muserang, lahir di Banjar Barat, Gapura, Sumenep, Madura. Alumni Al-Karimiyyah dan Al-In’Am. Menulis di banyak media baik lokal maupun nasional. Buku antologi puisi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010), “Madzhab Kutub” (2010), Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (Dewan Kesenian Jatim, 2010). Suluk Mataram 50 Penyair Membaca Jogja (2011), Menyirat Cinta Haqiqi (temu sastrawan Nusantara Melayu Raya (NUMERA, Malaysia, 2012), Rinai Rindu untuk Kasihmu Muhammad (2012), Satu Kata Istimewa (2012), Sinopsis Pertemuan (2012), dan Flows Into The Sink, Into The Gutter (2012, dua bahasa, Ingris-Indonesia), Sauk Seloko (PPN VI Jambi 2012). Menyelesaikan studi S-1 dan S-2nya di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Leave a Reply

Bahasa »