CINTA NARCISUS

Agusri Junaidi

Rasa sakit atau luka apa yang benar-benar bisa ku kenang tentangmu? Rasa sakit yang tak sampai membunuh, tetapi itu yang membentuk diriku sekarang.

Aku punya kecenderungan narsis. Narcissus, itulah diriku, yang melihat bayangannya di permukaan telaga, lalu mencintai bayangan itu. Lebih tepat untuk digambarkan, aku mencintai diriku sendiri, tak punya kemampuan mencintai orang lain lebih dari mencintai diri sendiri.

Bagaimana mungkin dapat memahami kesejatian cinta, jika aku tak dapat menerima satu kekurangan saja dari sosok yang ingin kucintai. Aku pendamba kesempurnaan, padahal itu hanya milik Dia yang kuasa. Lucu sekali, Narcisus yang mencari bidadari di dunia. Mestinya Ia berjuang untuk sampai ke surga, agar benar-benar bertemu dengan bidadari.

Seperti apa Ia mengingat aku? Akankah sejelas aku mengingat rasa sakit itu? Ketika belajar mencintai seseorang, tapi ditepis dengan halus. Awalnya mungkin kau menikmati, ketika aku mencuri-curi pandang pada dirimu dengan hasrat yang menggelegak.

Barangkali kau sudah membaca sifat posesif dalam diriku, hingga kau menjauh bagai perahu layar mengarungi samudera lain, hati yang lain.
***

“Jadi apa ceritamu?” Ini pertemuan kami yang pertama, momen yang paling aku inginkan sejak dulu.

“Cerita apa?”

“Kehidupanmu, baikkah?”

“Biasa saja,” dengan nada yang seperti dulu.

“Anak-anak dan suamimu, mereka baik-baik saja kan?” tanyaku.

“Kau mengajakku bertemu hanya ingin membincangkan itu?” dari matanya, tampak ia keberatan dengan pertanyaanku.

“Tidak, aku hanya memperjuangkan masa lalu,” aku tersenyum menggodanya.

“Tinggalkan masa lalu, masa depan lebih penting!” sedikit ketus tapi manja persis seperti dulu.

“Mudah mengatakannya, tapi berat untuk dilakukan,” timpalku.

“Tak ada yang mudah, tetapi tiada yang tak mungkin, Napoleon Bonaparte pernah bilang begitu” jawabnya memandangi asap rokokku. Mungkin dalam hatinya berkata, apa nikmatnya merokok.
Ia diam seperti menghayati perenungan dalam. Gayanya kasual, persis sama citranya yang lekat dalam ingatanku.

Aku seperti mendengar desahan daun bambu saling bergesek dalam suaranya, begitu ritmis.

“Ceritakan tentang dirimu saja, aku lihat kau banyak berubah,” katanya.

“Berubah? Aku merasa masih yang dulu,” ujarku tersenyum pahit.

Aku mengingat keputusasaanku karena dia. Pernah, aku merasa seluruh harapanku hancur. Sesekali waktu berkelebat keinginan untuk menodongkan pistol ke kepala sendiri, membuat semuanya jadi lebih mudah. Ku bayangkan moncong senjata yang dingin nempel di kepalaku, dor, lalu semua selesai.

Aku ingin wanita ini menyakitiku, membuatku sakit hati sangat. Sebaliknya, ia selalu menyanderaku dengan perhatian-perhatian kecil yang menarikku ke pusaran harapan. Aku tenggelam dalam lubuk harapan, tak pernah tiba ke permukaan.

“Aku sudah berpisah, rumah tanggaku bubar. Mungkin sudah itu jalanku,” Ia mengeluh.

“Banyak yang bernasib sama, jangan berputus asa,” aku berusaha menghiburnya.

Ia tersenyum kecil. Dekik di pipinya masih seperti dulu.
Ada perasaan yang tak bisa kujelaskan muncul dari kedalaman kelelakianku. Hasrat? Tapi ini tak sama dengan yang Ia rasakan dulu. Waktu memang bisa mengikis banyak hal.

Aku pernah berharap wanita ini akan menjadi istriku. Aku mengiriminya berlembar-lembar surat. Menulis buku harian tentang dia dan perasaanku yang dalam.

Setelahnya aku menyadari hanya mengejar bayangan. Aku berhenti menulis diari. Dalam sebuah kesempatan, aku memberikan semua curahan perasaan dalam diari itu kepadanya. Aku bertekat melupakannya.

“Kau masih menyimpannya? Buku diari itu?” tanyaku.

“Mungkin masih di rumah ibuku. Di dalam gudang di loteng, aku sudah lupa, itu lama sekali,” kenangnya.

“Pasti lucu membacanya lagi,” aku mengajaknya bernostalgia.

Wanita itu tersenyum. Sedikit kerutan tampak membayang di sekitar matanya. Waktu mulai mengikis kecantikannya.
***

Aku tak tahu apakah cinta memiliki bentuknya yang lain? Apakah obsesi sama dengan cinta? Apakah aku sesungguhnya pencinta? Aku meragukan kesejatian semua itu.

Sejak itu, aku belajar memahami wanita. Bertahun-tahun kemudian aku adalah pencinta yang tahu kemana mengarahkan anak panahnya.
Aku seorang Arjuna dengan busur terentang, dan berpuluh anak panah dapat menembus jantung wanita. Apakah ini sebuah kutukan?

Aku tak ingin menyakiti setiap wanita yang dekat denganku. Aku berhubungan dengan mereka dalam batas-batas tertentu saling memahami.
Aku tak lagi membiarkan cinta merasuki diriku. Aku sudah belajar dari pengalaman bagaimana sakitnya terluka. Sayangnya, aku tak benar-benar lepas dari jerat cinta. Terkadang, hatiku tertawan dan kembali merasakan kesakitan, ketika permainan cinta telah selesai.

Tapi seperti Nietzsche katakan, yang tak mampu membunuhmu hanya akan membuatmu semakin kuat. Wanita ini melahirkan diriku.

Pertemuan yang kesekian kalinya, kami saling menjajaki perasaan. Sesekali aku terhanyut jadi sentimentil, dan menyalahkan keadaan.

Keluarganya hancur, tapi aku tak mungkin bersamanya, seingin apapun. Aku menyayangi keluargaku.
Wanita itu, mungkin juga menyesalkan jalannya takdir. Namun Ia pun sudah lebih kuat dari yang pernah Ia kenal dulu, pengalaman batin telah membentuknya.

Selesai kuliah, Ia memilih menikah dengan kekasihnya sejak SMA. Setelah itu aku tak lagi mendengar apapun tentang wanita ini, kecuali kabar angin. Ada yang bilang ia terpaksa menikah karena terlanjur hamil. Aku sungguh ingin semua berita itu menenggelamkan perasaan di hatiku. Biar tenggelam dan membusuk, hingga tak dikenali lagi.

Suaminya meninggal karena sakit beberapa tahun kemudian. Ia lalu menikah lagi dengan seorang lelaki yang mengejar-ngejar dirinya. Lelaki yang tanpa tulang punggung, senang berjudi dan mabuk. Mereka tak memiliki apapun setelah menikah sekian lama, selain kepahitan hidup. Mereka kemudian memilih jalannya masing-masing, lelaki itu memberinya seorang putra.

Sebenarnya, Ia pun tak ingin melangkah lebih jauh untuk saat ini. Perlu waktu baginya merenungkan semua kegagalan.

Wanita itu menerawang masa lalu. Ia mengenang lelaki di depannya ini dalam tahun-tahun yang lampau. Ia pernah membuka hatinya. Tapi dulu, lelaki ini begitu polos dan selebihnya naif. Ia tak meyakinkan demi sebuah masa depan, hanyut dalam kehidupan genk dan kurang bertanggung jawab, bahkan terhadap diri sendiri.

Ia bertemu lelaki ini tanpa kesengajaan. Ia memburu suasana baru, datang ke acara organisasi di mana mereka pernah berhimpun.

Ia mengingat tangan lelaki ini masih bergetar, ketika berjabat dan Ia berlaku sangat manis.
Ia sudah menjadi seorang lelaki yang matang. Ada sisi yang menggoda dalam setiap gerakannya. Ia terkesima. Dalam hatinya, ia bertanya wanita seperti apa yang akhirnya menjadi istri lelaki ini.

Bagaimana pun lelaki ini memiliki rumah tangga yang baik. Setelah apa yang ia lakukan pada lelaki ini, tak sewajarnya ia berharap lebih jauh, ia me-lockdown hatinya.
***

Wanita itu menyesap minumannya. Mereka berada di sebuah warung kopi di tengah kota. Ornamennya mengingatkan pada sebuah tempat di kota almarhum suaminya. Suasana sepi sekarang. Semua orang menerapkan social distancing untuk menghambat wabah corona yang mengancam.

Tempat ini sedikit yang masih bertahan. Dua orang pelayan lebih banyak menekuri androidnya ketimbang melayani pelanggan.

Ia merasa aku sedang memperhatikannya.

“Liat apa sih?” Dia masih dengan gayanya yang dulu.

“Aku sedang melihat apa yang berubah dari kamu? Memangnya tak boleh?”

“Tak boleh,” nadanya mengingatkannya pada kenangan dahulu.

“Apakah kita akan bertemu lagi?” aku mengejar.

“Lihat waktu ya, mungkin ketika anakku sedang bersama ayahnya, aku tak terlalu repot.”

Putranya berumur lima tahun. Ia sudah sepakat dengan mantan suaminya untuk membesarkan anak mereka. Anak itu, tak kan kehilangan kasih sayang dari ayah dan ibunya meski mereka berpisah.
***

Pertemuan selanjutnya mereka semakin intim. Wanita itu menikmati apa yang bisa ia dapatkan dari tubuhku.
Ia mereguk sisa-sisa yang bisa dihirupnya dari pori-poriku, seperti ingin menumpahkan segala yang tak terwujud dimasa lalu. Ia bahkan ingin membayar keinginan lelaki itu memiliki dirinya, berada di mahligai pernikahan.

Lelaki itu, kini seorang pecinta yang diciptakan oleh wanita itu. Ia aktor di panggung percintaan menerima belaian wanita tersebut. Membalasnya dengan kehangatan sungguh sopan. Namun jauh setelah masa muda mereka dulu, lelaki ini mudah bosan terhadap cinta.

“Apakah kita akan bertemu lagi?” tanyanya.

“Sejauh kau menginginkan,” jawabku.

Aku mengais perasaanku yang dulu. Rasa tergila-gila, obsesi tak berbatas yang membawaku pada petualangan-petualangan, yang sudah menyesatkan aku dalam perjalanan demi perjalanan. Semua terasa jauh, aku ingin kembali merasakannya.
***

April 2020 Lampung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *