IMAN DAN WABAH


Taufiq Wr. Hidayat *

Pagi tadi, saya kembali sowan ke ndalem Kiai Sutara. Di musim wabah ini, karena diserbu “lockdown”, membuat saya sering sowan sama beliau. Biasalah santri macam saya ini, kalau lagi gelisah sowan sama Kiai Sutara. Giliran Kiai Sutara butuh sesuatu, saya tak pernah maksimal sanggup memenuhi kebutuhannya. Saya hanya dapat membahagiakannya dengan sebungkus dua bungkus rokok kegemarannya. Itu pun saya selalu dapat pencerahan berharga dari beliau lebih dari itu. Padahal segala kegelisahan batin saya, selalu dijawab tuntas oleh Kiai Sutara, sehingga hidup saya bisa lebih bugar. Sedang saya tak pernah sanggup memahami kegelisahan beliau. Sebagai manusia biasa, saya yakin beliau pun punya kegelisahan. Tapi saya tidak pernah mau tahu. Kadang pura-pura tidak tahu dan pura-pura tak berdaya. Namun beliau selalu menerima saya dalam segala keadaan. Banyak ilmu dan mutiara hidup yang saya dapatkan dari beliau. Beliau tidak pernah menutup diri meski sebenarnya beliau tidak butuh santri kurang sopan seperti saya.

Pagi selalu kopi pahit dan rokok. Kiai Sutara memang perokok berat, meski usianya sudah hampir seabad. Badannya masih kokoh. Bercocok tanam. Pagi di rumah Kiai Sutara, lagu dangdut sudah terdengar. Dengan tubuh berkeringat sehabis beraktivitas, Kiai Sutara duduk menikmati tembakau.

“Assalamu’alaikum, Kiai.” Saya segera mencium telapak tangannya yang kokoh. Telapak tangan yang menandakan kerja keras.

“Masuk! Waduh! Orang ini lagi. Mau apa kamu?” jawab Kiai Sutara.

“Hanya sowan, Kiai. Ini sebungkus rokok buat Kiai.”

“Bagus! Kalau ke sini gak bawa rokok, baiknya pulang saja.”

Saya cengengesan. Duduk di kursinya. Kiai Sutara meminum segelas air. Menyalakan rokok yang saya bawakan.

“Begini, Kiai. Saya sedang gelisah,” ujar saya memulai perbincangan pagi tadi.

“Memang siapa suruh kamu tidak gelisah? Kamu akan selalu gelisah, karena kamu tidak pernah memahami dan menjalani pengertian yang sering kau dapatkan dari sini. Sebab dari kegelisahan itu ada dua. Pertama karena berpikir. Kedua tolol. Dan kamu yang kedua. Tolol!” Kiai Sutara menyemburkan asap rokoknya.

“Begini lho, Kiai. Sekarang lagi ramai soal wabah penyakit. Apakah wabah penyakit sekarang ini adalah teguran, Kiai?”

“Teguran dari siapa? Siapa yang ditegur? Kamu? Buat apa menegur kamu? Gak ada kerjaan saja! Daripada menegur orang tolol kayak kamu, lebih bermanfaat menegur kambing yang keluar kandang. Kambing lebih patuh daripada kamu!”

“Ampun, Kiai. Bukan begitu, Kiai. Begini lho. Saya merasa, wabah ini teguran dari yang maha kuasa, Kiai. Yang ditegur adalah orang-orang kaya yang rakus.”

“Dari tadi kamu cuma bilang begina-begini!”

Kiai Sutara melepaskan songkoknya. Songkoknya lapuk. Pinggiran songkoknya yang hitam itu telah kekuningan. Kedipan matanya seolah menangkap sesuatu entah apa secara tangkas, menandakan pikirannya selalu aktif dan terjaga. Beliau pun dhawuh.

“Mbahmu! Tolol! Penyakit ya penyakit, blok-goblok! Justru akibat wabah begini, ketika segala akses ekonomi dan sosial dibatasi dengan ditentukan jarak, orang kaya mengumpulkan tenaga untuk lebih kaya lagi menginjak lehermu! Apa kamu pikir orang bisa bertobat cuma karena kena penyakit, kemudian turunlah pertolongan Tuhan sehingga membuatnya menjadi orang baik hati, begitu? Tolol! Perubahan tidak mungkin terjadi dari sebab-sebab tahayul, gak terlihat, apalagi abstrak. Lihat saja, sebentar lagi segala kebutuhan buat penyembuhan atau pencegahan penularan penyakit akan menjadi jualan besar kalangan kaya. Dan memang begitu dari dulu. Dunia akan berubah, tapi tidak kiamat. Industri dan finansial tidak akan mengalami keruntuhan cuma karena PHK dan penyakit yang kamu kira teguran Tuhan itu.” Kiai Sutara menyedot rokoknya kuat-kuat. Tatapan matanya tajam. Menandakan kearifan yang mengagumkan.

“Tapi, Kiai. Apakah tidak mungkin wabah penyakit ini akan menjadi pemicu keributan dan perubahan secara kilat, besar-besaran, dan bersifat global, Kiai?”

“Siapa bilang? Santri bodoh! Kekuasaan uang yang besar yang kalian sebut kapitalis itu, justru akan semakin jaya. Kemerosotan ekonomi tidak akan mengakibatkan keributan, karena sistem kapital telah menyediakan peralatan beserta tenaganya untuk membereskan kemogokan. Bukan kamu! Kamu yang akan semakin tergantung pada sistem mereka yang menyebut dirinya maju. Justru ketika kau batasi pertemuan dan pencegahan pengiriman barang karena takut sama wabah, akan mengakibatkan efek pegas. Kelangkaan bahan justru membuat orang semakin gigih melawan wabah untuk meraih barang-barang. Tak ada keributan. Sebentar lagi pariwisata akan melonjak dahsyat, lebih hebat lagi, orang melampiaskan diri. Berlibur membunuh kejenuhan. Dan pemodal besar makin kuat. Kekuasaan makin hebat. Karl Marx yang jenggotan itu pun sakit kepala, sehingga ia meyakinkan bahwa dalam segala situasi, mustahil kekuasaan akan meletakkan kekuasaannya dengan begitu saja. Gendeng tah?!”

“Berarti Tuhan tidak menegur manusia rakus, jahat, dan keji, Kiai?”

“Hahaha! Dasar santri dengkul!”

Kiai Sutara meneguk kopi pahitnya. Merubah posisi duduknya. Kembali menyalakan rokok. Kepalanya mengikuti irama dangdut.

“Mohon maaf, Kiai. Apakah Tuhan tidak menegur manusia rakus dan keji?” tanya saya mengejar.

“Woooh! Goblok! Sudah saya bilang, gak ada kerjaan negur kalian!” ujar Kiai Sutara. Asap rokoknya begitu ringan dan mengasikkan.

“Dengar baik-baik, santri. Pasang dan letakkan telingamu di tempatnya secara benar. Teguran Tuhan itu terletak pada daya kemanusiaanmu. Kamu harus menghidupkan kesadaranmu melihat kenyataan hidup. Ketimpangan yang perlu kamu tegur. Kamu yang harus menegurnya, bukan Tuhan! Memangnya Tuhan itu apamu, kok kamu suruh-suruh ngurusi urusanmu yang gak berbobot itu?!”

“Dengar, santri dengkul! Sehebat apa pun suatu bencana bukanlah bentuk teguran, melainkan hanya peristiwa hidup yang membutuhkan daya hidupmu untuk mengolah kenyataan menjadi lebih baik lagi. Tak ada yang datang dari langit secara ajaib merubah keadaan menjadi surga di dunia ini. Ketimpangan harus dilawan dengan daya sekecil-kecilnya atau selokal-lokalnya, karena Tuhan gak ada waktu menegur gundulmu. Sebab dalam dirimu sudah lengkap segala nilai ketuhanan itu jika saja kamu mau memfungsikannya. Kamu sering mendengar kalimat “hayyum-maujud” (maha-hidup yang diwujudkan). Dalam ilmu bahasa, kata “maujud” adalah “isim maf’ul”, tak berarti “ada”, melainkan berarti “diadakan” atau “diwujudkan”. Ini kalimat “taukid” (penegasan). Bahwa kemuliaan Tuhan ada dan nyata bagi yang mengimani, kalau sang aku yang mengimani tersebut mewujudkan atau menegaskan nilai-nilai ketuhanan dengan hidupnya atau dengan daya kemanusiaannya. Dan bukannya dengan “ambisi doktrin” dari iman atau agama yang tidak menjaga manusia. Bukan berharap jatuh keajaiban dari langit lapis tujuh untuk merubah keadaan tanpa kerja keras dan kesungguhan. Paham kamu?”

“Ampun, Kiai.”

“Manusia pemalas seperti kamu, bisanya hanya mengharap berlian jatuh dari langit untuk merubah hidupmu. Kena kepalamu, bocor!”

“Hehehe… Ampun, Kiai. Jadi harus gimana dong, Kiai?”

“Ingat ya! Kata “mashlahah” itu “masdar” yang berarti “shalahah”. Kata itu bermakna lebih luas, yaitu manfaat yang benar-benar ditegakkan dari upaya-upaya yang bersungguh-sungguh, kerja keras, yang bertujuan lepas dari kerusakan. Al-Ghazali dan al-Khawarizmi menyebutnya “al-mukhafadhatu ‘ala maqshudis syar’i”. Ialah memelihara tujuan hukum yang merupakan modal dasar kemanusiaan guna mencegah kerusakan alam atau makhluk. Bukan simpati-simpati atau perhatian-perhatian gombal! Main sulap atasnama Tuhan dan iman. Dengkulmu ambles!”

Kiai Sutara kali ini memutar dangdut Ona Sutra. Terdengar lagu “Asam di Gunung Garam di Laut”. “Enak benar lagu dangdut bersyair Melayu,” katanya sambil menyandar ke kursi rumahnya yang kuno dan sederhana.

“Bukankah kita harus berdoa agar wabah ini selesai, Kiai? Agar kita sejahtera dan selamat,” kata saya memulai pembicaraan lagi.

“Bagus! Berdoa menandakan kamu tak berdaya, bahwa segala upaya selalu memberikan kemungkinan. Tapi ketahuilah, wahai santri “kelas Sullam-Safinah”. Doa adalah gerak. Sebentuk tindak. Sebuah upaya. Ia juga niat yang menjelma sebelum kata-kata. Doa bukan hanya kata-kata. Kata-kata hanyalah ekspresi sebuah gerak, akibat dari jiwa yang takjub di dalam gerak hidupnya. Bersama niat, doa sejati menjelma sebelum kata-kata. Kata-kata bukan sebab atas doa. Doa ialah cinta yang meniscayakan bukti dan perjuangan, pengorbanan dan kerelaan-kerelaan. Keduanya diam-diam saling mengakibatkan. Segala ungkapan, entah kata atau tanda, yang orang anggap dan sebut sebagai cinta, hanyalah akibat. Lahirlah puisi, bunga, dan sebangsanya. Tetapi sesungguhnya cinta ialah gerak, tindak, dan seorang aku yang tak mungkin sendirian, ialah yang hidup. Begitu pun doa. Sebentuk harapan. Harapan pada yang tak akan pernah selesai. Harapan yang dikerjakan dengan ketekunan dalam hidup sehari-hari. Teladan ketuhanan itu, diteladankan Rasul, menyetarakan diri dengan siapa pun manusia yang menderita. Itu dibuktikan, hingga akhir hayat beliau tak mewariskan kemelimpahan. Qur’an membenarkan: “qul innama ana basyarun mitslukum..” (katakanlah sejatinya aku sama dengan kebanyakan kalian semua). Apakah Rasul Muhammad sama dengan kebanyakan orang? Ya sama. Tetapi, berbeda! Tatkala seseorang menyamai derita sesamanya, mengentaskan, dan menyayangi, ia sungguhlah berbeda. Itu menandakan adanya keluhuran yang hidup dalam dirinya tanpa memerlukan pengakuan, namun nyata fungsi dan manfaatnya. Sehingga Rasul berseru: “khairun naas ‘anfa’uhum lin-naas” (manusia sejati bersifat bermanfaat bagi sesama manusia).”

“Setidaknya hidupmu haruslah berupaya agar memiliki arti bagi yang lain, bagi kehidupan, meskipun sebagai santri, kamu tolol! Hahaha…”

Kiai Sutara tertawa terpingkal-pingkal. Dan saya ikut tertawa menyadari ketololan diri saya.

Tembokrejo, 2020

_____________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »