PENYAIR KAMPUNG DAN PERANTAU MURUNG

(Ulasan Pendek untuk Sarinah Penyair Esha)
Deddy Arsya
Padang Ekspres, 26 Mar 2017

Apa arti kota bagi seorang penyair kampung dan apa bagi seorang perantau murung?

Sarinah (Grasindo: 2016) adalah tanggapan seorang kampung terhadap sebuah kota dunia ketiga dan sekaligus tanggapan seorang perantau terhadap daerah rantaunya.

Pada 1930an hingga seperempat abad setelah itu, kota dilihat sebagai produk modernitas yang dipuja. Menuju kota, orang-orang berderap dengan kepala tegak serupa prajurit muda yang siap ke medan tempur. Amuk pertempuran kehidupan di kota ditatap dengan penuh kebanggaan diri.

Tetapi, dunia berubah. Setelah itu, kota menjadi produk modernitas yang menindas. Kotor lagi buas. Pandangan terhadap kota lantas jadi serba murung.

Dengan segala imaji yang dibangunnya, Esha menampilkan ‘kota-kota yang murung’ itu kepada kita. Memandang kota dengan perasaan yang nyaris selalu tak nyaman, sekalipun dikatakan “aku cintai kota ini,” (sebagaimana dicintainya tempat asalnya), tetapi toh si aku tidak pernah benar-benar mencintainya.

Di sisi lain, pada negasinya, puisi Esha adalah representasi perantau yang selalu bersiap kembali, menuju masa lalu, tanah asal, dengan segala imaji yang dikandungnya, dengan segala eksotikanya: harum santan hangus, logat selatan seperti dalam “Cikini, Sebuah Pagi”. Imaji-imaji tentang air, pohon dan bunga-bunga, harum rumpun pandan basah dalam “Museum dalam Kepala”; lindungan pohon beringin, kaki rengkah, lubuk kering pada sawah, seperti dalam “Perihal Membenturkan Kepala”.

Kampung, dusun, dibayangkan dengan gambaran eksotik, bersahaja, dunia lampau yang mempesona siapa saja kini, terutama orang-orang urban serupa Anda. Dusun jauh dari kata curiga, gemerincing genta kuda.

Imaji-imaji serupa itu akan mengingatkan Anda kepada buku puisi Esha sebelumnya, Pinangan Orang Ladang dan mungkin juga pada Dalam Lipatan Kain. Hanya, kali ini, dengan tempat tegak yang berbeda.

Dusun, yang membedakannya dengan kota—yang nyaris selalu negasinya. Tetapi adakah gambaran serupa itu kini? Di dunia gegas di mana dunia kini yang penuh tempik-sorak melamunnya.

Dengan itu, lantas dia membawa imaji kampungnya bahkan ke kota yang padat serupa Jakarta, tentang di mana banyak puisi dalam buku sajak ini berbicara. Bahkan jika pun kelak dia akan berada di Tokyo atau New York atau London atau Beijing, barangkali itu pulalah yang bakal terjadi. Penyair-perantau yang dikutuk oleh ingatan akan kampung halamannya.

Esha menggambarkan yang baru dalam imaji yang lama: kubiarkan kota seasam limau ini bikin tubuhku asing dalam “Surat untuk Rusli”. Dia menggambakan kota dengan metafor-metafor kampung.

Angkatan lalu mungkin memandang rantau (kota) sebagai lautan gairah, ombak yang menantang, laut bergolak, tetapi generasi kini sekali lagi adalah negasinya.

Esha memaknai kota-rantau sebagai kutukan tak terhindarkan, tak ada yang membuatnya nyaman, kecuali bayangan kampung halaman, tetapi dia harus ditempuh, mau tidak mau, ditempuhnya juga. Meski dengan sajak sebaris, akan kutunggangi gerak gelombang, menghadap selat menghadapi teluk, menghadapi muara menghadapi samudera, menghadapi segala makhluk tidak berbentuk, dalam puisi “Teratak”.

Tak ada bagian dari kota itu yang menyenangkannya, yang menyamankannya, maka segala yang silam tampak menyenangkan. Dia selalu melihat bayangan hari silam itu. Seorang perantau memandang kampung sebagai yang selalu dirindukan. Dan seorang kampung memandang kota sebagai selalu yang tak diharapkan tapi tak bisa ditolak atau sebaliknya.

Orang-orang yang takut pada waktu, pada gerak yang mengubah apa saja di sekelilingnya. Dia menghayati masa lalu dengan melankolia. Apa masa lalu kalau begitu?

Orang-orang di masa kini boleh saja menghapus batas-batas kota-kampung, rantau-ranah, tetapi Esha masih terus memelihara garis pembedanya dengan tegas. Yang lama dan yang baru, ranah dan rantau, kota dan kampung; melankolia-melankolia itu yang hendak dipuisikan Esha; dengan kacamata puitik serupa itulah barangkali Esha bekerja mengarahkan mata puisinya untuk melihat apa saja di sekitarnya. Untuk sementara ini begitulah.

Pandai Sikek, 2016-2017
https://deddyarsyablog.wordpress.com/2017/03/31/penyair-kampung-dan-perantau-murung/

Leave a Reply

Bahasa »