Esrom Aritonang
Bagi penggemar dan pengamat karya sastra di Indonesia, khususnya bidang puisi, nama F. Rahardi bukan nama asing lagi. Penyair ini dikenal luas pertama kali melalui “Soempah WTS” (1983). Kemudian buku kumpulan puisi kedua menyusul berjudul “Catatan Harian Sang Koruptor” (1985). Pada saat kelahiran buku kumpulan puisi kedua inilah F. Rahardi menyatakan “Proklamasi Puisinya”.
“Saya penyair Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan puisi saya. Mulai sekarang puisi bukan lagi seni agung yang terkurung di puncak gunung. Bagi saya puisi hanyalah alat permainan”. Itulah sebagian proklamasi F. Rahardi.
Apa yang dicetuskan Rahardi melambangkan suatu sikap kemandirian. Ia ingin independen di atas sajak-sajaknya. Tidak mau diikat suatu aturan yang kaku. Rahardi mentransformasikan nilai-nilai yang ada pada dirinya dalam bentuk yang lebih elastis dan fleksible.
Segala hal yang monoton dan bisu dibuangnya jauh-jauh. Rahardi melakukan suatu dobrakan terhadap Kemapanan puisi Indonesia.
Pada tahun 1973 jauh sebelum proklamasi F. Rahardi, Penyair Sutardji Calzoum Bachri telah menancapkan kredo puisinya. Pada kredonya Sutardji mengatakan. “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pikiran. Dia bukanlah seperti pipa yang menyalurkan air. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas”.
Kredo Sutardji menerapkan kata harus berdiri sendiri, ia ingin melepaskan kata dari Dunia makna. Ada kesamaan sikap antara penyair ini. Sama-sama melakukan suatu pemberontakan. Rahardi menciptakan landasan konsep bagi puisi-puisinya. Kumpulan puisi yang pernah ditulisnya antara lain, Soempah WTS (1983), Catatan Harian Sang Koruptor (1985), Silsilah Garong (1990), dan yang paling bunsu Tuyul (1990). Keseluruhannya ditulis dalam gaya yang khas.
Protes Sosial
Warna yang cenderung menghiasi sajak-sajak F. Rahardi kebanyakan berlirikan protes sosial. Rendra sendiri pernah mendapat gelar “Sastrawan politikus”, Emha Ainun Nadjib “penyair protes” atau “tukang protes”. Julukan-julukan seperti ini tidak akan mematikan kreatifitas penyair. Pemancungan terhadap karya sastra juga tidak.
Kepekaan Rahardi menatap gejolak dalam masyarakat, merupakan pena yang menggoreskan jeritan tiap orang yang merasa disingkirkan. Langkah-langkah Rahardi ternyata penuh liku-liku. Penyair yang lama malang-melintang di dunia perpuisian Indonesia, tahun 1984 sempat membuat kegegeran lantaran niatnya membacakan sajak-sajaknya dengan mengikutsertakan WTS. Tentu saja pihak “Dewan Kesenian Jakarta melarang, kemudian pihak yang berwajib juga melarang pembacaan buku “Catatan Harian Sang Koruptor”.
“Rahardi dalam mengekspresikan protes sosialnya berbeda dengan Rendra. Dalam menulis puisi Rendra masih terikat Konvensi penulisan puisi dan pengendalian emosi yang mapan. Sedangkan Rahardi lebih bebas, Ironi-ironi dan ejekan dilantunkan dengan lugas. Ada kalanya kritik yang ia sampaikan keras menghantam. Namun dibungkus dalam gambaran suatu peristiwa.
Tuyul
Membaca judul kumpulan puisi kita sudah digelitik. Ada apakah gerangan dengan tuyul?: Tuyul jenis apa yang hendak diceritakan Rahardi. Setelah kita membuka lembaran pertama barulah terasa gelitik yang baru. Meskipun disampaikan dengan gaya humor tapi dibaliknya ada kegetiran yang hendak disampaikan. Dalam puisi pertama berjudul “Matahari, Wereng, dan Sol Sepatu”, Rahardi lugas menyampaikan gejolak pengamatannya. Kata-kata pada sajaknya dipilih kata-kata yang biasa saja :
“Matahari menggeliat-geliat” memancarkan/ keringat/ langit melengkung bagai kubah masjid/ wereng bersembunyi dengan rapi di balik jas/dan dasi/ sol sepatu berjingkat-jingkat menghindari/ lumpur/ di pematang sawah/” lalu, “pegawai negeri eselon satu melaju dengan/ safari abu-abu/ prajurit angkatan bersenjata berderap/ memanggul tanda pangkat/ wartawan-wartawan yang bebas dan/ bertanggungjawab/ melotot menyambar amplop/ sarjana-sarjana pertanian berebut melamar/ pekerjaan/ dan seniman-seniman senior serius/ memperdebatkan/ angin, maut, Tuhan, filsafat kehidupan dan/ order bernilai jutaan” (hal 11).
Melalui sajak pertama ini penyair menyikut kanan-kiri, atas-bawah kehidupan yang timpang. Rahardi tidak perlu merangkum kalimat sajak yang bagus dan indah. Ia telanjangi segala apa yang tercetus, dalam kawah batinnya. Lahar yang mengalir merupakan sajak yang pahit bila direnungkan. Fenomena yang utuh. Apa yang dirangkum Rahardi layaknya potret keseharian wajah kita. Sajak seakan tempat bercermin semua orang, bagaimanakah wajah kita yang sebenarnya. Penyair membuka topeng-ropeng yang dipakai masyarakatnya. Kepalsuan demi kepalsuan ia pecundangi. Ini memperlihatkan Rahardi gelisah menatap gejolak sosial di sekitarnya.
Pada puisi berikutnya berjudul “Penjelasan Sopir mikrolet gandaria Kampung Melayu tentang “Tuyul” : “Diancuk!/ kata “sopir mikrolet itu sambil kembali/ memasukkan SIM/ ke dalam dompetnya/ tuyul diancuk!/ katanya lagi sambil menginjak gas sampai/ mentok” (hal 85-86).
Sajak ini mengungkit soal pungli. Dimana dilukiskan kejengkelan seorang sopir berasal dari Jawa Timur terhadap oknum polisi alias tuyul yang seenaknya dengan alasan yang dibuat-buat untuk menilang mikrolet si sopir. Sopir sendiri harus memperjuangkan setoran.
Kebutuhannya yang menumpuk. Kejengkelan sang sopir merupakan gambaran orang-orang yang tersingkir atau orang kecil yang tak mampu berbuat banyak atas tindakan oknum polisi (tuyul). Meskipun terasa harga dirinya terinjak sang sopir tidak berani melawan. Ada kesadaran bahwa dirinya orang kecil yang tersisih.
Memahami sajak di atas, kita dihadapkan pada dua titik sentral persoalan. Pertama persoalan oknum polisi yang bertindak diluar peraturan. Kedua persoalan sopir mikrolet sebagai wakil masyarakat kecil. Penyair memberi keleluasaan untuk berkomentar. Ia telah menyampaikan persoalan yang mungkin pernah kita alami. Tinggal menunggu pendapat masyarakat. Atau memang kehadiran seperti itu telah menjadi salah satu budaya negeri kita. Rahasia umum yang tidak layak dibicarakan di depan umum. Sulit menentukan hipotesa dan jalan pemecahan permasalahannya.
Jakarta, April 1991
https://frahardi.wordpress.com/kritik-sosial-dalam-sajak-f-rahardi/