Muhammad Al-Fayyadl *
Perhatian publik sastra saat ini tampaknya tertuju pada bangkitnya genre sastra Tionghoa, tepatnya Melayu-Tionghoa, kembali ke kancah sastra Indonesia modern. Gejala kebangkitan ini merupakan sesuatu yang layak disambut luas. Seyogianya memang demikian, karena kita sudah lama kehilangan “saudara kembar” (twin sister) dalam genre sastra kita, yang umumnya didominasi sastra Melayu saja. Ini penting dimengerti, sebab selama ini perkembangan sastra modern kita seolah-olah berjalan terlepas dari konteks sejarah, yang dulu melahirkannya. Yaitu, saat-saat di mana sastra kita masih bergulat dengan tema-tema pemerdekaan dan penjajahan, yang tentu melibatkan genre sastra Tionghoa juga. Atau, kalau mau dilacak lebih awal lagi, yang sering terlupakan adalah peran masyarakat Tionghoa dalam proses akulturasi budaya antara bangsa pribumi dengan kaum pendatang.
Kalau begitu, kebangkitan sastra Tionghoa memang positif, untuk mengingatkan kita akan latar belakang kesejarahan tentang proses lahirnya sastra modern di awal abad 19. Namun, harus diakui, terlalu sedikit dan amat jarang ditemukan kajian yang secara komprehensif membandingkan bagaimana kedua genre sastra itu berhubungan secara timbal-balik. Karena itu, agaknya ada kesan kedua-duanya sama sekali tak berhubungan atau-minimal-tidak memiliki akar sejarah yang sama. Maka, kiranya jelas keperluan untuk membicarakan suatu perbandingan yang mengupayakan sejumlah catatan kritis, utamanya terhadap sastra Tionghoa.
Merenungkan kembali sastra Tionghoa akan sangat signifikan dalam konteks mencari berbagai hal yang selama ini tak tersingkap yang, bagi saya, merupakan “ideologi tersimpan” yang memiliki ranah penafsirannya yang unik. Kita bisa mengatakannya sebuah alamat yang samar-samar bermain di balik “politik identitas”: bagaimana mereka mendefinisikan “orang lain” di luar komunitas mereka; serta prasangka-prasangka apa yang tampak dari permainan ini.
Setting Sastra Tionghoa
Komunitas-komunitas sosial yang hidup pada masa kalabendu politik Orde Lama akan merasakan betul dampak revolusi dan konflik-konflik yang memuncak saat itu. Dua ideologi besar yang terkenal dan paling populer, komunisme dan Islam, tampaknya lebih dari sekadar membawa perubahan dalam lingkup politik belaka. Ideologi-ideologi itu, tak kalah pentingnya, juga merubah sejumlah sendi kebudayaan. Salah satu gejala yang tak boleh diabaikan adalah polarisasi kepentingan dan kecenderungan untuk menyudutkan kelompok-kelompok di luar kedua mainstream tersebut.
Stigmatisasi yang paling mencolok, misalnya, dilakukan terhadap minoritas Tionghoa. Kekalutan politik waktu itu mempertajam kesan buruk Tionghoa, yang dianggap merepresentasikan “imperialisme baru” yang ingin menanamkan pengaruh dalam ekonomi pribumi. Sebabnya, harus diakui, masyarakat Tionghoa hidup dan berkembang karena akses ekonomi yang tidak dimiliki kaum pribumi. Mau tak mau hal ini memancing kecemburuan di antara masyarakat pribumi yang merasa dirugikan dengan kehadiran mereka.
Kesan “imperialisme” ala Tionghoa tumbuh karena karakteristik masyarakat Indonesia yang kurang menerima masuknya unsur-unsur budaya asing dalam kehidupan sosial mereka. Keadaan ini diperuncing dengan tindakan elitis komunitas Tionghoa, terutama dalam setiap tindakan yang menguntungkan ekonominya sendiri. Masyarakat Tionghoa memang akhirnya menguasai aset-aset ekonomi yang berhubungan dengan kebutuhan orang banyak. Krisis ekonomi di zaman Orde Lama menghantam seluruh bangunan perekonomian nasional dan mengakibatkan turunnya pendapatan masyarakat umum secara drastis. Tak ada yang menyangkal, situasi yang makin memburuk, ditambah kekisruhan politik yang terjadi di mana-mana, mendorong timbulnya frustasi dan kecemasan masyarakat. Sejak pecahnya G30S yang berdarah, mereka seolah makin percaya bahwa kehancuran masa depan akan segera tiba. Namun, apa yang tersisa dari semua itu, adalah kepenguasaan sejumlah aset publik oleh masyarakat Tionghoa. Di sini, krisis mutidimensional yang mengguncang waktu itu, tampaknya tidak terlalu mempengaruhi aktivitas ekonomi minoritas Tionghoa sendiri.
Mengapa ini terjadi, agaknya lebih disebabkan kedekatan elite Tionghoa dengan pemerintah pusat, serta keuletan bekerja yang telah berakar sejak lama. Untuk yang terakhir ini, tak ada yang meragukan, kalau mereka memang menikmati kerja sebagai kegiatan rutin yang tak boleh ditinggalkan. Struktur ekonomi Tionghoa, selain umumnya didukung kecekatan yang luar biasa dalam menyikapi perubahan, juga disokong oleh sistem patronage yang erat dengan sumber-sumber penghasilan ekonomi yang dinilai menguntungkan. Karenanya, wajar bila dalam struktur dan piramida sosial masyarakat Indonesia, minoritas Tionghoa menempati posisi dan status kelas menengah (middle class) yang patut diperhitungkan.
Mobilisasi sosial dan ekonomi semacam itu mempercepat terjadinya proses penyerapan budaya dengan kaum pribumi. Problem ini tentu dilematis bagi mereka. Di satu sisi, akulturasi budaya meniscayakan bercampur-baurnya kekhasan identitas yang mereka pertahankan dengan penduduk lokal, dan hal ini jelas akan mengendurkan “elitisme” ekonomi, yang selama ini lekat dan identik dengan masyarakat Tionghoa sendiri. Tapi, di sisi lain, memang tak mudah menghindari-diri dari tuntutan transformasi budaya, khususnya setelah lambat-laun konflik antar-golongan mulai berhasil diredam dengan berdirinya rezim Orde Baru.
Uraian di atas akan lebih berarti, kalau sastra Tionghoa dipahami dalam konteks sosiologis masyarakat Tionghoa. Ada dua karakteristik yang menjadi ciri khas sastra Tionghoa. Yang pertama menyangkut obyek tematik yang diangkat sastrawan Tionghoa dalam jangka waktu yang lama, dan yang kedua lebih berurusan dengan struktur sintaksis karya-karya sastra, yang meliputi corak dan alur cerita dan gaya perwatakan tokoh-tokohnya.
Dalam kaitannya dengan latar belakang yang meliputinya, bisa dipastikan kalau sastra Tionghoa lebih suka menonjol-nonjolkan sifat dan karakter komunitas masyarakat Tionghoa sendiri. Ini bisa dilihat dari style yang ditampilkan karya-karya prosais, yang menceritakan bagaimana ikatan hubungan keluarga Tionghoa dilestarikan, serta melalui apa mereka berinteraksi dengan individu-individu yang berlainan etnis. Ekonomi keluarga inti juga seringkali diilustrasikan panjang lebar, terutama bila terjadi kebangkrutan dan kegagalan dalam aktivitas perdagangan mereka.
Suatu prosa panjang berjudul “Dengen Duwa Cent Jadi Kaya”, ditulis oleh sastrawan terkemuka Tionghoa, Thio Tjin Boen, terbit pada 1920_(1). Novelet ini menggambarkan dengan baik sejumlah kenyataan ekonomi yang dihadapi masyarakat Tionghoa. Yang menarik, apa yang ditunjukkan dalam karya ini tampaknya lebih ditujukan agar kelompok pribumi memahami kebiasaan-kebiasaan masyarakat Tionghoa secara wajar. Sebab, kalau tidak begitu, akan muncul kesalahpahaman dan prasangka-prasangka buruk yang merugikan mereka. Dalam dua jilid novelet ini, watak tokoh-tokoh cerita dideskripsikan secara gamblang. Apa yang dimaksudkan dari semua ini adalah, sekali lagi, menghindari kesan eksklusif dan tertutup dari pergaulan mereka dengan “dunia luar”. Kita akan lihat nanti, bagaimana “ketakutan” ini begitu kuat menghampiri narasi-narasi sastra Tionghoa, yang tak pernah luput dari pengaruh dan pergesekan faktor-faktor sejarah, sosial, dan budaya.
“Luka” Sejarah dan Pencarian Identitas
Masyarakat Tionghoa hampir tak pernah terbebas dari stigma dan upaya stereotyping yang acap menyesakkan dada. Yang paling terasa adalah tidak diakuinya bahasa sehari-hari mereka, yaitu Melayu-Tionghoa, sebagaimana lazimnya bahasa Melayu “formal” lainnya. Sengaja atau tidak, imej yang akhirnya terbangun, bahwa bahasa Tionghoa identik dengan bahasa Melayu rendah (laag Maleisch), Melayu pasar (passermaleisch), Melayu ceracau (brabbelmaleisch), yang kesemuanya merupakan olok-olok terhadap gaya berbahasa murahan. Meskipun nadanya jelas mengejek, sebutan-sebutan ini sungguh menyudutkan pemakai bahasa Melayu, yang kebanyakan Tionghoa, minimal secara psikologis.
Bagi masyarakat Melayu yang terbiasa hidup di tengah-tengah birokrasi kolonial dan kehidupan elite priyayi, penggunaan Melayu-rendah boleh dianggap sebuah “pembangkangan” kultural yang berpotensi untuk menggerogoti otoritas Melayu-tinggi (hoog Maleisch). Karena itu, dalam keadaan yang serba terjepit, mau tak mau karakter bahasa Melayu-rendah yang lebih egaliter dan menjunjung asas persamaan semakin terjebak dan kemudian larut dalam bahasa Melayu-tinggi “resmi”, sebagaimana diinstruksikan Charles Adriaan van Ophuijsen_(2), seorang ahli Bahasa Hindia-Belanda. Akibatnya, masyarakat Tionghoa tanpa disadari mulai mengalami “pengaburan” identitas, dan mereka pun terasing dari bahasa percakapan mereka sendiri. Komunitas Tionghoa tidak mempunyai saluran komunikasi yang efektif “ke luar”, kecuali lewat bahasa Melayu-tinggi yang kurang mereka pahami. Dalam keadaan demikian, mereka makin terisolasi dari pergaulan publik luas, kecuali dalam segelintir hubungan ekonomi saja.
Barangtentu, dalam jiwa masyarakat Tionghoa diam-diam merambah rasa tak percaya diri yang dilematis: antara mempertahankan karakter egalitarianisme dan elitisme sosial. Sikap egalitarian hanya mungkin dicapai, bila mereka berbicara dengan bahasa Melayu yang “liar” itu. Sementara, seperti disadari, kesempatan ini telah hilang seiring gencarnya politisasi bahasa, yang dipelopori para pejabat, residen, dan pemimpin-pemimpin bumiputera yang menyetujui gagasan van Ophuijsen.
Mengapa hal ini saya anggap “luka sejarah”? Karena, bagaimanapun, setelah harapan untuk berbaur dengan masyarakat luas menipis, minoritas Tionghoa tampaknya lebih memilih berdiam-diri dalam keterkungkungan isolasi dan eksklusivisme, sehingga berhamburan sikap-sikap sinis dan apatis terhadap keberadaan mereka. Tuduhan-tuduhan “neo-imperialisme”, seperti dikutip di atas, mencerminkan betapa pada gilirannya komunitas Tionghoa terpojok dan pada saat yang sama, kehilangan “kontak” dengan komunitas masyarakat lainnya. Malahan, seperti dituturkan Dede Oetomo_(3), politik bahasa yang digulirkan penguasa sejak masa kolonial hingga Orde Baru akhirnya memang meruntuhkan “garis kesederajatan” antar-berbagai etnik yang umumnya hidup di tanah Jawa. Politik bahasa kemudian melahirkan politik identitas. Pada era Orba, nasib masyarakat Tionghoa tak kunjung membaik, meski sebagian di antara mereka masuk ke dalam lingkaran kekuasaan rezim dan memperoleh privilese yang tak murah.
Pencarian identitas semacam itu jelas tak akan mudah ditemui pada karya-karya sastra awal Tionghoa yang menghirup kebebasan dan berada dalam iklim keterbukaan. Banyak novel dan prosa yang ditulis para jurnalis dan penulis Tionghoa, pada saat itu, begitu transparan melukiskan pergulatan nasionalisme. Seperti pernah saya tulis, salah satu penyebab mengapa sastra Tionghoa bergairah meletupkan nasionalisme, terlepas dari figur-figur terkenal semacam Kwee Tek Hoay dan Thio Tjin Boen, adalah tumbuhnya generasi muda yang berperan penting dalam menyebarluaskan ide dan impian tentang sebuah nation yang berdaulat. Generasi sastrawan ini memang pada akhirnya gagal untuk terus mempertahankan corak dan langgam sastra Tionghoa yang bertumpu pada bahasa lisan sehari-hari (colloquialism)_(4).
Masa-masa berikutnya menyaksikan fenomena makin merosotnya produktivitas karya-karya sastra yang diterbitkan, karena selain langkanya media massa yang peduli pada perkembangan sastra Tioghoa, juga dipicu oleh bangkitnya sastra Indonesia modern. Ini tentu tak lepas dari siasat jitu Balai Poestaka (Volkslectuur), dengan memasarkan karya-karya Melayu-tinggi yang “layak jual”_(5). Diresmikannya bahasa Indonesia secara politik dan makin mengaburnya pemaknaan bahasa Melayu sebagai lingua franca mempersempit ruang gerak masyarakat Tionghoa untuk mengartikulasikan kepentingannya secara leluasa. Dalam keadaan demikian, perlahan tapi pasti sastra Tionghoa mengalami masa-masa tersulit untuk berkembang karena persinggungannya yang erat dengan terbentuknya sastra Indonesia modern. Dalam upaya sementara mempertahankan eksistensinya, sastrawan Tionghoa banyak mengikuti berbagai ragam pengucapan sastrawan yang lahir sesudah Indonesia merdeka. Di sini, identitas ke-Tionghoa-an menjadi sesuatu yang relatif bisa dipertukarkan atau dipertaruhkan, justru melalui sastra, sebagai sarana untuk menjauhkan-diri dari kesan eksklusivisme dan prasangka kaum pribumi yang mengidentikkan mereka tak ubahnya penjajah.
Politik Identitas dalam Potret Sastra Kontemporer
Sangat sukar untuk tidak mengatakan bahwa dalam tiga dekade terakhir, sastra Tionghoa telah mati tenggelam. Ibarat “fosil tua”, sastra ini hanya meninggalkan jejak-jejak yang kini mencoba dirunut kembali, meski semuanya memang tak seutuh dulu. Bahkan, kalau pun penilaian ini tidak benar, boleh dikatakan bahwa sastra Tionghoa cuma menempati posisi “subkultur”, yang keberadaannya setara dengan genre sastra lokal, yang kini sedang merevitalisasi-diri.
Apalagi, pada zaman Orba, dengan struktur politik yang mencengkeram, masyarakat Tionghoa sendiri mendapat perlakuan minor dan diskriminasi yang sengit. Ini tentu menyulitkan lahirnya kepedulian pada khazanah sastra mereka yang kaya. Dikenangnya kembali literatur sastra Tionghoa akhir-akhir ini menandai perlunya suatu rekonstruksi atas segala hal yang berhubungan dengan sejarah masa lalu mereka, sehingga semuanya tak gampang hilang tanpa bekas. Untuk melakukannya, kita tentu tak dapat mengabaikan apa yang direpresentasikan oleh teks-teks sastra kontemporer dewasa ini, dalam penggambarannya terhadap sejarah pergumulan masyarakat Tionghoa.
Tentang hal ini, saya merasakan bahwa ada sejumlah novel yang punya daya cerita yang kuat, yang dikarang oleh sastrawan-sastrawan pribumi sendiri. Seorang skilled-writer yang layak disebut tentu saja adalah Pramoedya Ananta Toer. Dalam roman sejarahnya, Hoakiau di Indonesia, yang terbit dan segera menjadi bacaan kontroversial yang memukau itu, Pram menceritakan berbagai penderitaan yang menimpa minoritas Tionghoa, dan juga peran mereka dalam proses asimilasi budaya dengan penduduk setempat. Ada sekian perlakuan tak wajar yang memang seolah menjadi “kodrat” yang harus mereka terima sebagai kenyataan sejarah. Isu-isu rasialisme, misalnya, adalah salah satu fakta pahit yang selalu merebak dan tentu melibatkan, dalam batas-batas tertentu, politisasi “identitas”, di mana kaum pribumi merasa perlu memisahkan-diri dari masyarakat Tionghoa, atau bahkan membuat jarak dengan adat-istiadat yang dianggap asing oleh kultur lokal. Kadangkala hal ini berujung pada pengerahan kekerasan fisik dan upaya pembasmian etnik (ethno-genocide).
Pram mengerti betul, bahwa dengan menghadirkan kenyataan di atas, seseorang tak akan mudah melupakan apa yang telah terjadi di masa lalu. Dalam kapasitasnya yang penuh beban identitas semacam ini, teks-teks sastra tak ayal menjadi sasaran tuduhan, prasangka, dan sarkasme, sehingga ia dicap subversif dan menghasut.
Namun, pada saat yang lain, dalam tetralogi Buru-nya, Pram menuliskan karakter tokoh-tokoh berkebangsaan Tionghoa secara simpatik. Ia dengan gayanya yang khas memang mengkritik dan menentang mentalitas feodal yang dipertunjukkan tokoh-tokoh beretnik Jawa, tapi ini tidak dilakukannya terhadap orang-orang Tionghoa. Mungkin yang teristimewa bagi Pram adalah karakter masyarakat Tionghoa yang terbuka, egaliter, dan responsif terhadap dunia pergerakan. Dalam karya-karyanya, memang terbaca kebencian Pram pada kultur aristokratis yang dipertontonkan para ambtenaar dan kaum priyayi Jawa. Novelnya, Arok-Dedes, adalah suatu tipikal ekspresi Pram terhadap kehidupan dan weltanschauung (alam pikiran) Jawa yang sarat dengan mitologi kekuasaan dan kekerasan. Pram tampaknya lebih menyukai sifat-sifat orang Tionghoa yang santun tapi berkemauan keras dibanding watak orang Jawa yang senang berbasa-basi tapi ambisius dan licik._(6)
Dalam konteks politik identitas, perbedaan tindak-tanduk dan pembawaan watak, seperti tersirat jelas di tangan Pramoedya, antara masyarakat Tionghoa dengan kelompok-kelompok lainnya harus jeli dibaca sebagai perspektif sastra Indonesia modern mengamati bentuk-bentuk pergesekan yang terjadi pada lingkup sosial-budaya yang lebih luas. Selama ini, harus diakui, Pram merupakan satu-satunya sastrawan yang berhasil mengangkat imaji identitas ke-Tionghoa-an dalam kualitas cerita yang kental dan pekat dengan intrik-intrik politis yang mencengangkan. Dan kenyataannya, imaji itu berhasil direpresentasikannya sesuai fakta dan realitas sejarah yang terjadi di masa lampau. Representasi Pram, dalam konteks ini, menjadikan fakta sebagai inspirasi bagi terciptanya fiksi yang benar-benar “menyejarah”._(7)
Karya sastra lainnya yang cukup berharga adalah novel Remy Sylado, Ca-bau-kan_(8), yang terbit baru-baru ini. Novel sejarah yang mengambil background periode penjajahan kolonial ini dengan baik menggambarkan peran sebagian masyarakat Tionghoa dalam proses perjuangan dan pergerakan mencapai kemerdekaan. Cuma, yang segera terbetik dalam benak saya, bukanlah alur cerita yang luar biasa cerdas, tetapi justru “pendekatan” Remy yang berusaha meneropong bagaimana dua identitas pribumi dan non-pri saling bermain dan mengisi, tanpa ada kecemasan dan kecemburuan memandang identitasnya masing-masing.
Dalam novel ini, politik identitas menjadi sebuah keniscayaan, yang diwujudkan dalam adegan percintaan antara Tan Peng Liang dan Tinung alias Siti Nurhayati. Di sini, yang nampak bukanlah identitas yang eksklusif, tapi, sebaliknya, sebuah keterbukaan untuk menghargai perbedaan dan membuang jauh-jauh segala prasangka. Justru, di sisi lain, politik identitas terjadi secara ekstrem di tengah-tengah kaum Tionghoa sendiri. Alasan yang melatarbelakanginya adalah persaingan bisnis dan prestise, sehingga lahirlah pelbagai macam pertentangan, konflik, dan upaya menjatuhkan reputasi. Hal inilah yang melekat dalam perwatakan pejabat Kong Koan atau Raad van Chinezen: Oey Eng Goan, Thio Boen Hiap, Mr. Liem Kiem Jang, Lie Kok Pien.
Tetapi, ada satu kesamaan yang mencolok dalam novel ini, dan juga karya-karya sastra lain yang menceritakan kehidupan orang Tionghoa_(9), yaitu kenyataan bahwa kaum perempuan selalu terkurung dalam ketertindasan dan nasib yang malang. Pertanyaannya sekarang: apakah ini mencerminkan bahwa politik identitas juga berlangsung pada wilayah gender? Saya khawatir, jangan-jangan sedang terjadi marjinalisasi besar-besaran terhadap perempuan, sehingga samar-samar identitas “keperempuanan” pun dibunuh dan dicampakkan, tanpa sepenuhnya kita sadari-silent victimization.***
Catatan Kaki:
Termuat dalam Marcus AS-Pax Benedanto (peny.), Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan, Jilid II, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, cet I 2001), 157-255.
Benedict Anderson, “Politik Kamus (Bukannja Camus Lho!)”, TEMPO (11-17 Maret 2002: 48-9).
Dede Oetomo, “Soal Melaju dan Omong Melaju (Merondai Sang Siluman Sesudah 400 Tahunโฆ)”, TEMPO (25-31 Maret 2002: 100-1).
Faktor kelisanan tidak hanya menjadi ciri-ciri sastra Tionghoa, tetapi juga sastra Indonesia pada awal perkembangannya. Secara umum lihat, Will Derks, “Pengarang Indonesia sebagai Tukang Sastra”, Jurnal Kebudayaan Kalam 11, (1998), 90-100.
P. Swantoro, Dari Buku ke Buku: Sambung-Menyambung Menjadi Satu, (Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, Cet I 2002) 39-56.
Benedict R.O’G. Anderson, “Sembah-Sumpah: Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa”, dalam Yudi Latif-Idi Subandy Ibrahim (eds.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, (Bandung: Mizan, cet II 1996), 265-317.
Tentang teori dan konsep representasi dalam sastra, lihat, Ignas Kleden, “Fakta dan Fiksi tentang Fakta dan Fiksi: Imajinasi dalam Sastra dan Ilmu Sosial”, Jurnal Kebudayaan Kalam 11, (1998), 5-35. Bandingkan, Ihsan Ali-Fauzi, “Fiksi dan Sejarah dalam Karya Pramoedya”, Kompas, (1 Maret 2002: 37).
Remy Sylado, Ca-bau-kan (Hanya Sebuah Dosa), (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, cet IV 2001).
Yang terbaru misalnya kumpulan cerpen Veven Sp. Wardhana, Panggil Aku Pheng Hwa (KPG 2002), yang mengisahkan penderitaan warga negara minoritas Tionghoa (waniktio) pada saat kekisruhan sosial-politik Mei 1998. Dan di sini lagi-lagi perempuan yang menjadi korban.
*) Muhammad Al-Fayyadl, pemerhati sastra, menulis kritik sastra alumnus Ponpes Nurul Jadid Probolinggo, sementara tinggal di Madura.
http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/1147-sastra-tionghoa-dan-prasangka-politik-identitas