Sosok yang Dirindukan Indonesia Kini
Thomas Manggalla, Hendri Irawan
Koran Sindo, 03/02/2019
Revolusi kemerdekaan membawa ketidakpastian politik yang memicu kerusuhan di seluruh wilayah Tanah Air, tak terkecuali Kesultanan Langkat -tempat penyair besar Amir Hamzah membangun kehidupan dan pergerakan.
Atas hasutan segolongan Laskar Rakyat dengan agenda politik mereka meletuskan kerusuhan sosial. Istana Langkat diserbu dan dijarah. Begitu pula dengan nasib Amir Hamzah.Amir Hamzah diculik, ditahan, dan disiksa di sebuah perkebunan, lalu dipenggal.
Seperti perpisahan Amir dengan kekasih tercinta, Iliek Sundari, juga pernikahan Amir dan Tengku Puteri Kamaliahputri Kesultanan Langkat yang penuh kepentingan politik kolonial, demikian tragisnya kematian Amir Hamzah yang diwarnai kekacauan dan intrik politik kala itu.
Semua kisah ini terceritakan secara apik di panggung pementasan teater bertajuk ”Nyanyi Sunyi Revolusi” yang berlangsung di Gedung Kesenian, Jakarta, Jumat (1/1). ”Nyanyi Sunyi Revolusi” yang masih dipentaskan kemarin dan hari ini, menampilkan Lukman Sardi sebagai Amir Hamzah, Prisia Nasution sebagai Tengku Tahura atau putri Amir Hamzah dari perkawinannya dengan Tengku Kamaliah (yang diperankan Dessy Susanti), serta Sri Qadariatin yang berperan sebagai Iliek Sundari (kasih tak sampainya Amir Hamzah).
”Nyanyi Sunyi Revolusi” yang digagas Titimangsa Foundation dan didukung Bakti Budaya Djarum Foundation ini, berkisah tentang Amir Hamzah dalam hubungannya dengan percintaan terhadap manusia dan negaranya.
Semasa Amir menempuh pendidikan di Solo, dia menjalin kasih dengan seorang putri Jawa, Iliek Sundari. Di tengah kemesraan mereka itulah Amir kehilangan ibunya, lalu ayahnya, setahun kemudian. Biaya studinya lalu ditanggung oleh Sultan Mahmud dari kesultanan Langkat.
Paman Amir sekaligus Sultan Langkat itu, sejak awal tak menyukai aktivitas Amir di dunia pergerakan. Apa yang dikerjakan Amir dianggap bisa membahayakan kesultanan. Untuk menghentikan aktivitas Amir di dunia pergerakan, dia memanggil Amir pulang ke Langkat untuk dinikahkan dengan putrinya, Tengku Puteri Kamaliah. Amir bisa saja menolak.
Namun, ia sadar betapa dirinya telah berutang budi kepada Sultan Mahmud. Amir dan Iliek akhirnya dipaksa untuk menyerah, menerima kenyataan bahwa cinta kasih mereka harus berakhir. Meski keduanya masih kuat saling mencintai.
Pernikahan Amir Hamzah dan Tengku Puteri Kamaliah adalah pernikahan yang dipaksakan demi kepentingan politik. Keduanya terpaksa harus menjalani pernikahan itu, meski saling tahu bahwa masing-masing tak saling mencintai.
Sementara kerinduan dan kehilangan Amir tetap kuat membekas di hati Iliek Sundari. Dan, ternyata diam-diam pula Tengku Puteri Kamaliah mengetahui kisah cinta kasih Amir dan Iliek Sundari. Yang sangat menyentuh, Tengku Puteri Kamaliah turut merasakan kesedihan cinta Amir yang tak sampai itu dan berniat mengajak Iliek Sundari ke Mekkah naik haji bertiga bersama Amir.
Bahkan, jika Amir ingin tetap menikahi Iliek Sundari, dia merelakannya. Namun sebelum semua tercapai, suasana revolusi kemerdekaan membawa ketidakpastian politik yang memicu kerusuhan di seluruh Langkat, hingga merenggut nyawa Amir Hamzah.
Pentas teater ”Nyanyi Sunyi Revolusi” yang naskahnya ditulis Ahda Imran ini, kisah atau ceritanya terbagi dalam tiga sudut pandang karakter. Penonton yang penasaran melihat pertunjukan ini pun seperti melihat sebuah potongan puzzle.
Hal ini memang disengaja Iswadi Pratama selaku sutradara ”Nyanyi Sunyi Revolusi”, yang ingin mengajak penonton agar bisa menyusunnya seperti puzzle. Misalnya saja, ketika monolog yang dimainkan Tengku Tahura, yang dilakoni adalah kisah masa lalunya Tahura, yang dalampoint of view-nya ada sudut pandang Tengku Kamaliah, hingga jadi berbingkai sebuah puzzle.
Atau lebih jelasnya, sebenarnya sumber cerita yang ada di dalam Tengku Tahura sejatinya berasal dari karakter ibunya, Tengku Kamaliah atau istri Amir Hamzah. Begitu juga Burhan, yang ditemui Tengku Tahura ketika berada di makam.
”Selain itu, ada point of viewlainnya khusus untuk percintaan Iliek Sundari dan Amir Hamzah. Amir juga langsung berbicara kepada penonton. Ini sebenarnya menggabungkan teknik flashbackdengan monolog interior,” ungkap sang sutradara Iswadi Pratama.
Meski begitu, pria yang sudah menyutradarai panggung teater sejak 1994 silam itu juga mengakui alur cerita dalam ”Nyanyi Sunyi Revolusi” bersifat tak linier. ”Jadi memang nggak linier. Teknik yang umum linier yang ada narator di awal.
Kalau ini, kami (Titimangsa Foundation) keluar dari kebiasaan, tapi mau memberikan kejutan dari segi plotdan penonton diharapkan bisa menonton sambil menyusun puzzle. Harapannya, masyarakat Indonesia menjadi lebih bangga pada bahasanya dan khazanah sastra Indonesia,” tegasnya.
Iswadi juga berharap, melalui pementasan ini masyarakat Indonesia terutama kalangan muda bisa mengetahui sepak terjang Amir Hamzah. Di mana, di tengah gelombang revolusi sosial yang berkecamuk kala itu, Amir tampil sebagai penyair, suami, ayah yang lembut yang ingin melindungi keluarganya, dia juga berpe – gang teguh pada kebajikan.
Amir Hamzah bahkan tidak menyisakan tulisan yang membakar dan mampu menggerakkan massa dalam jumlah besar, tapi kata-kata yang sangat bersahaja, yakni memaafkan dan mencintai.
”Meski seorang pejuang, syair-syair Amir Hamzah ini penuh cinta dan pemaafan. Semangat inilah yang mestinya ditiru oleh bangsa ini. Di tengah maraknya kebencian dan caci maki yang dipicu panasnya situasi perpolitikan saat ini, cinta dan pemaafan harus dihadirkan agar semua menjadi sejuk,” ujar Iswadi.
Memberi Darah Baru
Penulis naskah pementasan ”Nyanyi Sunyi Revolusi”, Ahda Imran menceritakan, Amir Hamzah merupakan salah satu keluarga bangsawan Melayu Kesultanan Langkat, sebuah kerajaan yang pada masa Hindia Belanda terletak di Sumatera Timur.
Selain sebagai penyair, Amir Hamzah juga dikenal sebagai salah seorang yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Amir Hamzah juga salah satu tokoh penting dalam perkembangan bahasa Indonesia.
Kekuatan karya Amir Hamzah terletak pada estetika bahasa yang merdu, menggali kata dari berbagai khazanah bahasa lama, terutama Melayu, tapi dengan makna yang lebih segar, baru, dan sesuai dengan semangat zaman saat itu, ketika modernisme kian tumbuh jadi kesadaran dalam sastra dan budaya.
Sajak-sajak Amir memberi darah baru pada yang lama. ”Meskipun sosok penting dan demikian berpengaruh, jalan hidup Amir sesungguhnya sangat tragis. Kesedihan cinta yang diputuskan oleh politik kolonial yang bersembunyi di balik adat, juga kematiannya yang menyedihkan di tengah revolusi kemerdekaan,” ujar Ahda Imran.
Happy Salma selaku produser pementasan menggarisbawahi pementasan ini patut disaksikan oleh generasi muda. Selain bercerita tentang sejarah dan sastra Tanah Air, banyak pesan positif yang bisa dipetik dari pementasan ini.
Lewat kumpulan puisi ”Nyanyi Sunyi” (1937) dan ”Buah Rindu” (1941), nama Amir Hamzah demikian penting dalam kesusastraan Indonesia. HB Jassin bahkan menyebutnya ”Raja Pujangga Baru”.
Dalam melakukan riset naskah pentas mengenai sosok Amir Hamzah ini, banyak bersumber dari buku karya Nh Dini berjudul Amir Hamzah, Pangeran dari Seberang. ”Saya merupakan penggemar dari puisi-puisi Amir Hamzah.
Puisinya penuh dengan kesenduan, tetapi juga dengan kuat mengungkapkan banyak lapisan baru dalam karya puisi pada zaman itu. Selain sebagai penyair, Amir Hamzah juga punya peran besar dalam lahirnya republik ini hingga beliau dianugerahi Pahlawan Nasional,” ucap Happy.
Pementasan ”Nyanyi Sunyi Revolusi” ini didukung tim artistik yang solid, yaitu Iskandar Loedin sebagai penata artistik, Retno Damayanti sebagai penata kostum, aktris Handradjasa sebagai penata rias, dan Jaeko sebagai penata musik.
Sepanjang pementasan, seluruh pemain mampu menunjukkan totalitasnya dan chemistry serta ensambel peran satu sama lain dalam memainkan peranan dengan baik di atas panggung.
Mereka mampu memberikan pesan kepada penonton bahwa Indonesia punya sosok sastrawan seperti Amir Hamzah, yang membuat bangga sekaligus membakar semangat nasionalisme lewat karya yang dihadirkannya. ”Challengebanget, gimana pun, Amir Hamzah seseorang yang secara budaya dihormati.
Saya mencari tahu bagaimana ia berpuisi dan menghasilkan karya. Ini benar-benar tantangan banget sih. Ditambah lagi, ya itu tadi, teater itu tidak seperti film. Dan sekarang ini Tuhan kasih kesempatan buat aku main teater yang jalan ceritanya luar biasa dan dari sosok yang luar biasa juga,” ungkap Lukman Sardi, pemeran Amir Hamzah.
[Amir Hamzah di Tanjung Pura, Sumatera Utara, foto dari Tempo.co]
***