Danarto memetik Setangkai Melati di Sayap Jibril


Fatah Anshori *

Saya banyak melihat cerita yang tak lazim di buku kumpulan cerita Setangkai Melati di Sayap Jibril, ini. Namum setiap tokoh dalam cerita buku kumpulan cerpen ini menganggap hal itu sebagai sebuah kewajaran yang dapat diterima dengan nalar dan akal sehat. Saya teringat Eka Kurniawan ketika menyangkal bukunya, Cantik Itu Luka tidak bekerja sebagai realisme magis, yakni pada saat Dewi Ayu bangkit dari kubur, dan orang-orang di cerita itu tak menganggapnya sebagai sebuah estetis atau suatu kewajaran dalam kehidupan sehari-hari, malahan sebaliknya itu adalah sebuah keganjilan di kehidupan nyata. Jadi unsur realisme magis patah oleh adegan selanjutnya ketika orang-orang berlari ketakutan melihat Dewi Ayu bangkit dari kubur. Sementara dalam buku kumpulan cerita Setangkai Melati di Sayap Jibril, tokoh-tokohnya menganggap suatu hal ganjil sebagai sebuah estetis.

Seperti dalam cerpen Setangkai Melati di Sayap Jibril, seorang Kiai melihat sebuah bunga yang tergeletak di sajadah lantas mengira bahwa itu adalah dari Malaikat Jibril tanpa ada perasaan yang berlebihan entah itu takut atau terlalu senang. Adegan selanjutnya diperkuat oleh kedatangan Malaikat Jibril yang menemui Kiai untuk menanyakan perihal melati, namun Kiai menanggapi biasa saja sebagaimana ia bertemu dengan manusia pada umumnya. Hal semacam ini rasanya bisa dijumpai dalam beberapa cerita seperti Paris Nostradamus, Jakarta 2020 Atawa Holobot, dan beberapa cerita lain sepertinya juga sama.

Dalam beberapa cerita lain di buku ini, saya kerap tidak bisa menangkap alur atau apa yang ingin dikisahkan Danarto dalam cerpen-cerpennya. Kebanyakan cerpen dalam buku ini adalah bentuk cerpen panjang, cerpen yang memiliki bentuk berbeda dengan cerpen yang kerap dimuat di media-media seperti koran yang pada umumnya tidak terlalu panjang. Dalam buku ini terasa kental sekali kearifan lokal Indonesia khususnya budaya Jawa dan sisi spiritual Danarto. Sebagai narator ia kerap mengumpat dengan kalimat-kalimat suci dari Al-Quran: masya Allah. Saya rasa inilah karakter Danarto.

Saya merasa dalam cerpen-cerpennya, Danarto mencoba untuk bereksperimen bagaimana membangun kesan kontemporer dalam cerita-cerita yang ia tulis di tahun 90-an. Seperti dalam cerpen Jakarta 2020 Atawa Holobot, Danarto menceritakan bagaimana suatu kota yang di kuasai robot.

Beberapa cerita lain, mengingatkan saya pada cerita-cerita sureal atau fantasi namun tetap tidak meninggalkan kearifan lokal Indonesia. Seperti pada Cerpen Percintaan dengan Pohon yang mana pada suatu tempat tiba-tiba muncul pohon besar yang entah pohon apa itu. Namun orang-orang yang tinggal di sekitar pohon tersebut menerima begitu saja kehadiran pohon itu. Juga dalam cerpen Garasi, menceritakan sebuah lubang energi yang membuat orang-orang menghilang. Membaca cerpen-cerpen Danarto ini membuat saya mengingat beberapa film anime Jepang yang bergenre fantasi dan semacamnya. Dalam serial One Punch Man, saya teringat sebuah adegan ketika Saitama pertama kali berjumpa dengan Monster Kepiting, ia menganggap biasa kehadiran sang monster yang berada tepat di depannya.

Sejauh yang saya tahu penulis Indonesia yang mempunyai genre semacam ini adalah Sabda Armandio, di cerpen-cerpennya yang ia publikasikan secara gratis di webnya (beberapa hari terakhir web tersebut sudah terproteksi), ia menulis banyak cerpen-cerpen yang tidak hanya membicarakan kearifan lokal, namun memadukannya dengan imajinasi liar kita, tentang monster, alien, dan tempat-tempat semacam utopia atau dystopia.

Terakhir saya menganggap harus ada rekonstruksi ulang tentang cerpen-cerpen kita yang kerap menonjolkan kearifan lokal dan mitologi kita yang itu-itu saja. Paling tidak kita harus merombak lagi bentuk-bentuk cerpen kita yang melulu membicarakan, tentang larangan melangkahi kakak perempuan dalam hal pernikahan, larangan membunuh cicak saat istri sedang hamil, dan semacamnya itu yang rasanya jika kita bicarakan secara terus-menerus akan membuat perut kita merasa mual dan membuat betapa kita hanya tahu Indonesia dengan segala aibnya.

____________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *