AYAT SUCI DI TENGAH SEMUA INI


Taufiq Wr. Hidayat *

Perbincangan dengan Kiai Sutara semalam—bagi saya, sangat menarik. Kiai Sutara mengurai perihal ayat suci. Uniknya, Kiai Sutara mengawali pembahasannya dengan mengisahkan seorang penyanyi legendaris yang bernama Edith Piaf. Seorang penyanyi perempuan Prancis yang termashur dengan lagu “La Vie En Rose” pada 1946. Beliau memainkan gitar akustiknya sembari menyenandungkan “La Vie En Rose”. Menurut Kiai Sutara, penyanyi yang berjuluk “La Vie En Rose” itu memiliki hidup yang pedih. Sejak kecil dibesarkan di rumah pelacuran, dengan keluarga yang tidak utuh. Ia menyuarakan kepedihan itu dengan suaranya yang menyayat. Kemudian Kiai Sutara menyanyikan dengan asik sebuah lagu dangdut lama Ida Laela yang berjudul “Hanya Untukmu”. Berulang-ulang kali/Telah kukatakan/Diriku ini hanyalah seorang biduan,” katanya.

“Kamu tahu? Lagu Ida Laela itu, seolah mengisahkan kepedihan seorang biduan bernama Edith Piaf, sang pelantun “La Vie En Rose” berpuluh tahun sebelum Ida Laela berdangdut dengan suaranya yang khas. Dan kisah tentang nasib manusia yang tak mujur dari waktu ke waktu,” ujar Kiai Sutara.

Beliaulah Kiai Sutara, kiai yang tak pernah mau berceramah, tak menyukai keramaian, dan tak gemar tampil di mana-mana. Beliau hanya mengajar membaca ayat suci pada anak-anak usia 5 sampai 10 tahun di suraunya yang kecil. Beliau pernah berkata, “saya tidak lebih hanya orang biasa,” ujarnya ketika seringkali banyak tokoh menghormatinya secara berlebihan. Dan memang demikianlah. Beliau istikomah. Menyukai kesendirian dan keterasingan.

“Apakah musik dan penyanyi itu terkait dengan tafsir ayat suci, Kiai?” tanya saya.

“Sebelum membahas ayat suci, kita perlu bernyanyi. Agar otakmu tidak kayak batu. Dan agar hatimu peka. Ada banyak penderitaan yang tak terduga di balik segala gemerlap hidup dan apa pun pencapaian manusia sepanjang zaman. Ada yang miskin hartanya, ada pula yang miskin jiwanya, ada yang terasing dan terhina, ada yang pedih di dalam segala yang serba tersedia. Ada yang begitu pandai menghibur duka nestapa banyak orang, tapi dirinya sendiri tak sanggup menyingkirkan kepedihan di dalam lubuk hati dan hidupnya, dan tak seorang pun dapat mengetahuinya. Pernahkah kamu memikirkan hal itu? Maka ingatlah, santriku yang tolol! Sejarah itu bukan hanya narasi-narasi besar, tapi ada narasi kecil yang tersembunyi dan tak sempat tercatat di balik narasi-narasi besar yang selalu membuatmu terheran-heran kayak orang sinting. Kedangkalan selalu menimbulkan pertentangan, sedang kedalaman dan kesunyian selalu memuarakan pada pertemuan dan persamaan di antara segala pertentangan dan perbedaan. Ketahuilah bahwa kesadaran kemanusiaan itu adalah kunci dan kewajiban paling utama di dalam memperdalam ilmu, yang disebut kearifan. Tanpa begitu, kamu cuma besar mulut, tapi dengan kepribadian yang rendah, dangkal, gampang tersinggung, gemar menghakimi orang lain menurut seleramu sendiri. Kalau sudah begitu, baiknya buang saja ilmumu ke kakus! ” ujar Kiai Sutara meletakkan gitarnya, menyalakan rokok. Asap tebal yang wangi memenuhi ruang tamunya yang sederhana.

“Baik, Kiai.” Saya menunduk penuh hormat. “Mohon maaf, Kiai. Apa kaitan ayat suci dengan lagu aneh yang Kiai mainkan barusan?” tanya saya.

“Goblok! Kalau pandanganmu terhadap ayat suci hanya muter-muter dengan tafsir pada bunyi tekstual saja, kamu tidak akan menemukan kemungkinan terjauh dan tak terduga dari ayat-ayat Allah. Jika alat bedah satu-satunya yang kau gunakan hanya tafsir teks dengan segala kerumitan tata bahasanya, maka yang akan kau temui logika-logika bahasa belaka. Seorang penafsir sejati, mestinya punya alat yang lengkap, tidak hanya ilmu bahasa. Kamu bongkar mesin motor, tapi alatmu cuma obeng, ila yaumil akhir mesin motor itu tidak akan terbongkar dengan baik.”

“Jadi bagaimana seharusnya, Kiai?”

“Ini bukan perkara harus atau tidak harus. Ini hanya soal pilihan. Terserah kamu, goblok! Tafsir tak hanya memerlukan ilmu bahasa yang mumpuni dan teks-teks sejarah belaka. Tapi untuk meraba kemungkinan terjauh dan tak terduga dari pesan Tuhan pada ayat suci, kamu mestinya juga tahu ilmu sinematografi, musik, ekonomi, bahkan kalau perlu resep masakan. Agar kamu benar-benar yakin, tak ada yang sia-sia segala ciptaan Tuhan. Menghayati dan melihat perihal bagaimana dunia ini bergerak atau berubah.”

“Ayat suci sebagai penggerak dunia ya, Kiai.”

“Tolol! Perubahan dunia itu kamu lihat dan rasakan, ternyata memang tak pernah dipengaruhi atau digerakkan oleh ayat-ayat Tuhan. Kecuali politik, yang segalanya diatasnamakan, segalanya diklaim seenak dengkulmu. Bahkan nenek moyangmu, yaitu mbahmu atau bapakmu diatasnamakan dalam politik, diklaim milik partai, kemudian dimitoskan dan diberhalakan. Perubahan dunia itu perubahan di dalam diri kemanusiaan. Di dalam subyek manusianya. Bukan pada bentuknya. Melainkan pada sifatnya. Di situ ayat Tuhan itu dapat kamu temukan bergerak pada fungsi yang bersifat esensi atau substansi, sebagai yang menjiwai.”

“Ampun, Kiai. Berarti ayat suci itu ketinggalan zaman dan tidak bersifat universal, Kiai?”

“Universal-universal mbahmu! Gak paham-paham juga dengkulmu. Apa itu universal? Jangan asal mencolot lidahmu, santri dengkul! Gak ada yang universal. Universal itu tahayul! Yang ada adalah yang amatir dan lokalistik, yang menegakkan diri di tengah kehidupan dunia. Yang kemudian kamu sebut universal itu. Gak ada agama lintas bangsa. Agama itu lokal. Identitas manusia. Ajaran kemanusiaan dari agamalah yang lintas bangsa, lintas golongan, bahkan lintas negara, lintas provinsi dan lintas kabupaten. Hahaha!”

“Apakah ayat suci ketinggalan zaman, Kiai, jika segala perubahan dunia ini tidak digerakkan atau tidak dipengaruhi oleh ayat suci?”

“Endasmu yang ketinggalan zaman! Dengkulmu yang ketinggalan periode! Santri dengkul macam kamu ini bisa apa? Bisamu merokok, ngopi, membual ke sana ke mari “jualan ayat”. Goblok! Ayat suci kok kamu jadikan alat nyari makan. Itulah santri dengkul alias manusia yang kalau dibilang kambing marah, tapi kelakuannya persis wedus! Hahaha!”

Kiai Sutara tertawa. Suara tawanya renyah. Beliau mereguk kopi pahitnya setelah mengepulkan asap rokok ke udara. Wangi tembakaunya seolah mengandung berkah.

“Ampun, Kai,” jawab saya menunduk dalam-dalam.

“Itu cara kamu menghindari kesalahan. Ompan-ampun kalau sudah merasa akan terkena sandal kepalamu!”

“Mohon ampun, Kiai. Ya saya ‘kan hanya ingin belajar, Kiai.” Saya garuk-garuk kepala. Cengengesan.

“Kapan kamu belajar? Gombal! Belajar bagi kamu hanya untuk gagah-gagahan, nyari pengikut sebanyak-banyaknya biar kenyang perutmu dan didewa-dewakan.”

Kiai Sutara menyandarkan bahunya yang tua ke kursi. Tatapan matanya tajam. Asap rokoknya tak pernah padam. Kopinya kental dan pahit.

“Mohon penjelasan, Kiai.”

“Menjelaskan ilmu kepada santri dengkul. Percuma!”

“Ampun, Kiai.”

“Dengar baik-baik, santri dengkul. Dalam diri manusia ada pertimbangan yang dirangkai dari pengertian mendalam. Dengan begitu, ia mungkin menghasilkan bentuk-bentuk penyesuaian dan sikap adil dalam menjalani kehidupan. Begitu pula dalam beragama.”

“Inggih, Kiai.” Saya mendengarkan dengan seksama, bahkan saya tak berani sekadar batuk ketika kiai saya bicara. Itu etika yang lazim yang dijunjung tinggi dalam tradisi pesantren. Sebagai santri, meskipun saya ini hanya “santri dengkul”, saya wajib menjunjung etika keilmuan tersebut.

“Dengar baik-baik, santri modal dengkul!
Dalam “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid”, Ibnu Rusyd mengurai, bahwa ketentuan teks suci itu punya keterbatasan. Tapi berhadap-hadapan dengan realitas baru yang tak berbatas pada sudut lain dalam ketegangan. Ibnu Rusyd menyebutnya “al-nushushal mutanahiyah wal-waqa’i ghairal mutanahiyah”. Sudut-sudut yang tak terbatas itu (al-waqa’i ghairal mutanahiyah) adalah keniscayaan ruang-waktu yang terus-menerus mengalami perubahan dan pergantian. Ini bukan menganggap teks suci terbatas. Justru merupakan bukti ketakterbatasan teks suci itu sendiri, yakni dengan meniscayakan upaya penyerasian atau penafsiran ulang dengan landasan keilmuan yang begitu banyaknya itu terhadap konteks ruang-waktu di mana para penganut ayat suci bersangkutan hidup. Ini mengharuskan pentingnya mengarifi budaya lokal. Bentuk manifestatif ajaran Islam ialah melakukan perubahan bentuk secara beragam untuk menyesuaikan dirinya pada keadaan ruang-waktu; budaya, sejarah. Bukan perubahan Islam. Bukti kekekalan Islam ditunjukkan dengan kehidupan beragama kaum muslimin yang bersesuaian terhadap segala perubahan sejarah dan keadaan. Kekekalan itu pada sifatnya. Bukan bentuknya.”

“Sampai di sini, apakah kamu mengerti, santri ndableg?”

“Lumayan berpikir keras, Kiai.”

“Hahaha! Sejak kapan kamu berpikir?” Kiai Sutara tertawa terpingkal-pingkal. Asap rokoknya memenuhi ruangan.

“Islam dalam keimanan pemeluknya yang beranekaragam itu kekal. Kemurnian dan kekekalan Islam justru terletak pada bagaimana ia, dengan segala khazanahnya, sanggup menjawab persoalan hidup, melakukan penyesuaian diri pada ruang-waktu dengan damai dan selamat. Ini mirip hukum kekekalan energi dalam fisika, bahwa energi itu kekal lantaran ia menyesuaikan bentuk atau dapat berubah bentuk menurut kebutuhan. Tapi sejatinya ia tetaplah energi, tak ada yang dapat memusnahkannya. Ini dalam termodinamika-nya James Prescott Joule menjadi hukum awal yang dipegang teguh dalam fisika. Ia terkenal dengan dalilnya: “energi tak dapat diciptakan, tak dapat dimusnahkan”. Islam sempurna pada sifatnya. Bukan bentuknya. Sebagai energi, al-Islam tak bisa diciptakan manusia, juga tak dapat dimusnahkan. Jadi kamu gak perlu bela-belain Islam. Percuma! Al-Islam itu bermanfaat sebagai energi keselamatan dan kedamaian dengan segala bentuk dan perubahannya secara mekanis atau organis sesuai kebutuhan.”

“Tapi bukankah akhirat harus menjadi tujuan utama daripada dunia, Kiai?”

“Kamu harus banyak memakai otakmu daripada dengkulmu, santri! Pandangan yang mendikotomi duniawi dan akhirat membuat orang berada pada dua sisi saling bertentangan. Satu sisi orang hidup mengolah dunia, tak peduli akhirat. Sisi lain, orang sibuk beribadah formal dengan mempersetankan ketimpangan dan penderitaan akibat tak aktif mengolah urusan dunia. Orang yang sibuk duniawi ingin agar di akhirat selamat. Naik hajilah dia atau menghafal kitab suci umpama, sebagian jadi ustadz dadakan, atau pindah agama. Ia merasa religius, tapi memandang rendah orang lain, dianggap belum dapat hidayah. Sebaliknya orang yang cuma sibuk beribadah, tertarik ngurus duniawi. Dia melihat dunia sudah rusak, moral hancur kemasukan budaya asing, tidak islami, dan tanda-tanda akhir zaman yang mengancam. Dengan semangat merasa suci, ia akan menyelamatkan dunia atau negara dari kehancuran. Mata melotot, tangan dikepalkan. Agama harus ditegakkan! Dunia harus diselamatkan dengan agama. Padahal sikap itu sebenarnya reaksi dari ketakmampuannya menghadapi urusan-urusan dunia yang memang tak pernah ia kenali dengan benar. Datanglah para sponsor pendukung guna meraih keuntungan uang dan politik. Sikap sok religius dan sok suci dipelihara. Terjadilah benturan. Orang beragama mengambil-alih posisi Tuhan, menghakimi dunia yang mengingkari kebenaran agamanya.”

Kiai Sutara menghembuskan asap rokoknya. Kerut wajahnya menandakan kekokohan hidupnya yang sederhana dan tak suka popularitas. Kiai ini andaikan bersedia selalu tampil, ia akan dirindukan. Tapi Kiai Sutara tidak, beliau bekerja sebagai pedagang di pasar setiap pagi, beternak kambing. Memenuhi kebutuhannya. Dan menikmati kesendirian dengan kemandirian, tekun dan bersahaja.

“Lantas bagaimana sikap religius itu seharusnya, Kiai?” tanya saya hati-hati.

“Dengar baik-baik. Lubangi telingamu biar tidak budeg. Sikap religius bukan simbol-simbol. Siapa pun yang menekuni profesi dalam hidup sebaik-baiknya dengan tulus hati, sudah melakukan perbuatan duniawi dan ukhrawi sekaligus. Sudah religius itu! Menjadi dokter yang baik adalah perbuatan religius, walaupun susah nyari dokter yang baik. Sama susahnya nyari santri yang baik, yang banyak ya santri kayak kamu, otaknya kadaluwarsa, gemar menipu dan berdusta, dan kalau berpikir pakai dengkul. Hahaha!”

“Kebaikan itu tak perlu diumumkan atau disponsori uang dan kekuasaan. Dokter gak perlu naik haji atau memakai busana Arab agar bergelar dokter religius atau dokter islami. Sikap kemanusiaan yang baik adalah sikap religius, itulah sikap keimanan. Tanggungjawab dan kesetiaan pada profesi dianjurkan dalam Qur’an dengan istilah “menepati janji” dan kebaktian kemanusiaan (taqwa). Kamu buka an-Nahl ayat 90. Dikotomi antara dunia dan akhirat seyogianya dipahami sebagai pengertian definitif. Dalam pandangan dan perilaku sehari-hari, duniawi-ukhrawi saling melengkapi, integral, utuh tidak berjalan sendiri-sendiri. Begitu Tauhid itu. Dunia mendorong kebaikan di akhirat, akhirat menyokong kemajuan dunia dengan perilaku kemanusiaan seindah gambaran perkampungan surgawi.”

Sampai di sini, Kiai Sutara kembali tertidur seperti biasanya. Beliau mudah sekali tertidur, karena beliau seorang pekerja keras yang tak pernah bermalasan. Hidupnya dipenuhi kerja, belajar, memainkan musik, menulis, mengapresiasi film dan sastra, dan tertawa bersama santri-santri kecilnya, menaikkan layangan dan membuat mainan anak. Beliau bukan sosok kiai yang gemar dipuja, bukan sosok yang hidup malas dan bergantung pada keadaan. Beliau benar-benar tampak sebagai orang kebanyakan. Tapi jangan sekali-kali kau coba menjajaki ilmu dan pengalamannya, bisa tenggelam. Tapi kalau tidur, dengkurnya begitu tenang, dengkur yang menandakan kelelahan setelah kerja. Bukan dengkur seorang pemalas. Tidurnya pulas. Menandakan betapa panjang hari-harinya mengolah hidup dengan kemandirian. Beliau mutiara yang tak bersedia berkumpul dengan mutiara-mutiara dalam etalase yang tiap saat dikagumi, dipuji, dan kerubungi orang. Tapi bagi saya, beliau mutiara yang tergeletak begitu indah dan menakjubkan di antara rerumputan, kesederhanaan keterasingan. Tanpa mencarinya dengan bersungguh-sungguh, kau tak akan pernah menemukan mutiara yang berharga itu. Saya selalu terkenang tawanya. Tawanya yang putih bersahaja. Lagu “La Vie En Rose” terdengar lembut mengiringi tidurnya.

Tembokrejo, 2020
Ket foto: “Bengawan Solo Mati,” memasuki desa Tejoasri, Laren, Lamongan.

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *