PERCAKAPAN SINGKAT DENGAN KIAI SUTARA

Taufiq Wr. Hidayat *

Bagi saya, Kiai Sutara memang unik. Beliau manusia yang hidup dengan sederhana, gemar bercanda, dan tertawa terpingkal-pingkal. Sosok kiai yang langka. Pengetahuannya tak hanya sebatas agama, tapi meluas pada banyak sekali bidang pengetahuan. Bahkan memetik senar-senar gitar, memainkan musik klasik Beethoven dan Mozart yang rumit, kemudian melompat begitu jauh dengan memainkan dangdutan dengan riang. Menemui Kiai Sutara tak hanya menimba ilmu-ilmu agama yang telah termodifikasi dengan banyak ilmu lain yang kompleks, melainkan bagi saya juga berharap mendapatkan percikan “berkah ilmu” darinya. Perilakunya mencerminkan keilmuannya yang dalam dan luas. Semalam beliau membedah Martin Heidegger dan “kritik nalar”-nya al-Jabiri. Lalu mengurai dengan mendalam perihal Ab? Bakr ibn Bashr?n, sang penyusun teori evolusi dengan kategori tanaman, hewan, dan manusia. Barangkali Ibn Bashrun memang telah menyusun “The Origin of the Species” 600 tahun sebelum Darwin. Tapi Ibn Bashrun—menurut Kiai Sutara, lebih gemar berdialog dengan rakyat kebanyakan, minum kopi, dan tertawa-tawa, tak gemar mengomunikasikan kitab evolusinya secara intens.

“Kalau kamu datang ke sini, pertama kamu harus membawa rokok. Itu penting!” ujarnya suatu ketika saat saya sowan. “Kedua, kamu harus siap dimaki-maki. Supaya kamu sanggup menerima kebenaran meski dalam keadaan terhina dan terpojok. Agar kamu melihat kebenaran tidak dengan rasa suka atau tidak suka,” lanjut beliau sembari mengepulkan asap rokok dari bibirnya yang kehitaman.

“Baik, Kiai,” ujar saya takzim.

“Di media ramai orang berpolemik mengenai sains dan filsafat, Kiai,” ujar saya.

“Bagus. Dan biarin! Mau diapakan?” jawab Kiai Sutara mereguk kopi pahitnya.

“Tapi menurut Kiai, apakah agama dan filsafat tidak lebih penting dari sains? Atau apakah sains yang justru tidak lebih penting dari filsafat dan agama? Dan bagaimana dengan politik?”

“Pertanyaan goblok!”

“Ampun, Kiai. Tapi banyak orang mengagungkan sains. Dan banyak juga orang yang merendahkan agama di hadapan sains.”

“Santri dengkul! Kamu itu ya, gemar meributkan persoalan yang memang selalu bikin ribut sejak berabad-abad lampau. Mana lebih penting filsafat dan sate kambing? Perbandingan ngawur ini sebenarnya hendak menjelaskan buat dengkulmu, bahwa semua ilmu itu memerlukan dialog, bukan unggul-unggulan, mencerca cuma karena perkara popularitas dan ketokohan seseorang.”

“Agama kamu turunkan nilainya menjadi materi, yakni didangkalkan menjadi pengertian yang belaka harfiah. Ajaran agama itu ya kulit ya isi, ya kuantitas ya kualitas, ya lahir ya batin. Keduanya perlu diutuhkan kalau kamu ingin benar-benar beragama dan mendalami ilmu-ilmu agama. Kalau agama kamu dangkalkan pada materi dan pengertian kulit saja, agama akan kehilangan daya untuk mempertanyakan keadaan. Sehingga para serakah akan terus mencengkeramkan kekuasaannya.”

“Kayla yakuna dulatan baynal aghniya’i minkum”; janganlah harta benda itu hanya beredar di kalangan orang-orang kaya di antaramu. Ini ajaran agama yang bersifat fundamental, yang dipertegaskan dalam Surat at-Taubah: 103. Kalau dikembangkan lebih jauh, ilmu dan pengetahuan jangan hanya beredar di kalangan orang-orang pintar saja, di kalangan mereka yang nongkrong di atas menara kemapanan. Lalu kamu tutup pintu dengan congkak. Ajaran agama tersebut menekankan pada kewajiban pemerataan ekonomi dan kesejahteraan, perhatian terhadap yang menderita, bodoh kayak kamu, dan menolak sikap hidup yang bakhil. Banyak pemeluk agama tak mengamalkan syariat fundamental ini. Dengan demikian, omong kosong bicara agama, lebih jauh soal peradaban agama, jika perihal mendasar ini saja tidak becus!”

Kiai Sutara pun menyandar di kursi rumahnya yang tua. Sebentar kemudian, beliau tertidur dengan pulas. Dengkurnya terdengar panjang, terasa damai dan tenteram. Barangkali beliau telah bermimpi indah, melupakan dunia dan segala isinya.

Muncar, 2020

_________________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »