Saut Situmorang
Buku telah jadi produk fetish terbaru setelah smartphone. “Literasi” jadi slogan terbarunya. Penerbit muncul di mana-mana dan semua orang yang melek huruf tiba-tiba jadi penulis!
Tapi apa fetishisme (atas) buku ini memang menghasilkan buku-buku bermutu? Apa fetishisme atas literasi menghasilkan penulis dan pembaca bermutu? Atau semuanya itu cumak sekedar euforia komodifikasi kapitalistik atas literasi dan buku semata? Buku-buku macam apa yang laris dibeli hingga dicetak ulang, penulis kayak apa yang tiba-tiba jadi “seleb literasi”?
Tragisnya, kritik pun sekarang sudah distigma sebagai sebuah “book shaming” oleh para selebriti baru ini!
Tiba-tiba aku kangen dengan zaman Orde Baru! Zaman kediktatoran militer dan kekerasan fisik dan senjata itu, zaman anti kebebasan berpikir dan berekspresi/berpendapat itu. Kerna dengan segala kekerasan militeristik dan fascis tersebut, kebebasan berpikir dan berekspresi jadi sangat berarti, sangat bernilai. Dan buku sebagai salah satu bentuk kebebasan berpikir dan berekspresi jadi sangat subversif, sangat berbahaya bagi militerisme dan fascisme! Buku jadi jalan pembebasan, jalan pencerahan, BUKAN produk fetish kapitalistik kaum borjuis kecil urban yang cumak memburu status seleb literasi instan, sensasionalisme “15 minute fame”-nya Andy Warhol!
Baik, faktanya benar yakni sebab bebar, akibat benar.
Saya susah menerangkan secara detil. Namun kesan saya, sebab dan akibat belum nyambung. Tetapi tulisan ini tetap bagus, merangsang cara berpikir untuk memahami fakta dan fenomena.