Heboh Sastra 1968: Bagaimana H.B. Jassin Mengajarkan Apresiasi Karya Sastra?


Judul: Heboh Sastra 1968, Suatu Pertanggunganjawab
Penulis: H.B. Jassin
Penerbit: Gunung Agung
Tahun: 1970
Jumlah halaman: 104
Peresensi: Ahmad Yasin
ekspresionline.com

Baru-baru ini, seluruh anggota pers mahasiswa Suara USU dipecat oleh Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Runtung Sitepu. Pemuatan cerita pendek (cerpen) berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” karya Yael Stefani Sinaga di media milik mereka menjadi penyebabnya. Isinya dianggap mengandung kampanye LGBT dan memuat konten pornografi, meskipun hanya menceritakan pengalaman diskriminatif seseorang dengan orientasi seksual berbeda.

Lebih dari 50 tahun lalu, juga gara-gara cerpen, nasib serupa dialami Majalah Sastra pimpinan Hans Bague Jassin. Adalah cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin yang menjadi pangkal masalahnya. Cerpen yang dimuat di majalah Sastra Th. VI No. 8, Agustus 1968 dikecam karena dianggap menghina agama dan mengundang demonstrasi di depan kantor media tersebut.

Kipandjikusmin, nama pena dari seorang misterius yang baru memulai kariernya di bidang kepengarangan, menerima tuduhan sebagai ateis dan antiagama. Padahal, cerpen tersebut sebentuk satire dan kritiknya terhadap kondisi politik dan moral di Indonesia masa pemerintahan Soekarno.

Kipandjikusmin sudah melayangkan permintaan maaf di majalah Sastra edisi berikutnya. Sekalipun begitu, H.B. Jassin tetap pasang badan atas kasus ini, ia menolak mengungkap nama sebenarnya Kipandjikusmin di pengadilan. Akibatnya, ia masuk jeruji besi dan majalahnya dibredel kejaksaan. Pembelaan-pembelaannya dibukukan dalam buku berjudul Heboh Sastra 1968, Suatu Pertanggunganjawab.

Buku yang diterbitkan Penerbit Gunung Agung ini memuat 14 tulisan H.B. Jassin, seluruhnya benar-benar berisi “pertanggunganjawab”. Pada dua tulisan pertama, berjudul “Bukan yang Pertama Kali” dan “Personifikasi Tuhan”, Jassin mencoba membuka tanggapan atas polemik cerpen “Langit Makin Mendung” dengan elegan.

Dua esainya itu ingin menyodorkan fakta, betapa karya seni sudah menjadi kebutuhan hajat hidup manusia dalam membentuk pemikirannya, entah disadari atau tidak. Tak heran jika personifikasi Tuhan pun juga tercatat dalam kitab suci. Ia pun mencontohkan hikayat dan potongan ayat dari beberapa surat di Al-Qur’an untuk mendukung pernyatannya.

Contoh-contoh sodoran Jassin bukanlah hendak meminta pemakluman. Jassin hanya menguatkan bahwa selama ini seni tidak bisa dilepaskan dari manusia dan manusia tidak bisa dilepaskan dari seni. Keduanya adalah siklus kehidupan yang tak putus karena masing-masing saling memengaruhi. Menolak seni berarti harus pula konsekuen untuk menanggalkan segala bentuk seni di sekitarnya dan dari masa lalunya. Jika pun terjadi polemik, berdialektika adalah cara paling rasional, alih-alih menggiringnya ke meja hijau.

Dua tulisan selanjutnya menunjukkan sikap dan pendirian H.B. Jassin terhadap seni. Bagi Jassin, karya seorang seniman kecil kemungkinan mempunyai interpretasi tunggal, karena seni bukan sesuatu yang tekstual. Dengan demikian, para peminat seni pun menafsirkannya menurut preferensi masing-masing. Kesan tersebut bisa kita baca dari cuplikan-cuplikan argumen Jassin dari dua esainya di bawah ini:

“Suatu karya sastra bukanlah buku katekismus dan bukan buku sejarah. Janganlah membaca cerita fiktif seperti membaca riwayat hidup seseorang yang otentik. Janganlah menanggapi secara dangkal, hanya melihat yang tersurat, bukan yang tersirat, hanya melihat yang lahir, bukan yang batin.” [H.B. Jassin, “karya seni bukan text”, 1970: 18]

“Pengarang dan seniman merupakan hati nurani masyarakat dan bangsanya.” [H.B. Jassin, “kebebasan mencipta”, 1970: 20]

Jassin lalu mencontoh pengarang lain yang mengklaim karyanya setaraf Bibel. Akibat klaim tersebut, ia harus berurusan dengan hukum karena karyanya dianggap menghina agama dan menimbulkan pertentangan. Di pengadilan, ia dibebaskan karena kesalahannya tidak dapat dibuktikan secara hukum. Jassin pun seolah sepakat dengan hakim di pengadilan si pengarang itu bahwa memperlakukan sebuah karya selayaknya memang tidak bisa didudukkan sebagai sesuatu yang dogmatis karena ia hasil olahan otak manusia.

Sebagai penulis, H.B. Jassin tahu betul bagaimana menata tanggapan atas suatu polemik. Keempat esainya di awal buku ini telah menunjukkan paradigma H.B. Jassin sebelum mendiskusikan lebih lanjut cerpen “Langit Makin Mendung”. Letak keempat esainya itu di beberapa halaman awal juga memunculkan dugaan bahwa ia memang sengaja mengajak publik mencerna alur berpikirnya terlebih dahulu.

Kita pun seolah benar-benar melihat Jassin di dalam pengadilan sastra, bukan di pengadilan hukum umum. Saya tidak tahu persis seperti apa pengadilan sastra, tetapi saya menangkap maksud dari frasa itu. Pengadilan sastra memungkinkan pihak-pihak yang bersengketa melakukan apresiasi atas karya sastra lewat cara apapun. Apresiasi memerlukan proses berpikir kritis, karena itu seseorang harus membaca karya sastra terlebih dahulu.

Dalam pengadilan sastra, saya bayangkan berbagai interpretasi bisa bebas bertebaran yang sepenuhnya diawali niat untuk menghargai karya. Jassin akhirnya melakukan itu dengan mengulas panjang lebar “Langit Makin Mendung”.

Dalam esainya berjudul “Langit Makin Mendung”, posisi Kipandjikusmin diterang-jelaskan Jassin dalam hubungan antara persona dengan karyanya. Personifikasi Tuhan dan Nabi dipengaruhi oleh pendidikan yang ditempuh Kipandjikusmin sendiri di sekolah Katolik, sekalipun ia seorang muslim.

Pendidikan Kipandjikusmin itu, menurut Jassin, memengaruhinya untuk mempersonifikasikan citra Tuhan dan Nabi yang sudah menjadi lumrah dalam kesenian Nasrani. Personifikasi ini pun tidak bermaksud merendahkan mereka, melainkan justru memuliakannya sebagai pemecah solusi atas masalah yang menimpa manusia, dalam konteks cerpen itu, ialah manusia Indonesia tahun 1960-an.

Akan nampak terang bagaimana substansi ceritanya jika kita baca utuh cerpen “Langit Makin Mendung”. Melalui laporan pandangan mata Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril yang ingin mengadakan riset di bumi, kita akan melihat keburukan moral elite-elite politik Indonesia ditunjukkan dari diadakannya pesta di istana ketika kondisi ekonomi masyarakat sedang terpuruk.

Kontestasi menjelang peristiwa G30S pun diceritakan sesuai narasi dominan pada masa itu: bahwa PKI adalah dalang kudeta dan Pemerintahan RRT terlibat di dalamnya. Titik fokus dalam menarasikannya ialah melalui pengisahan tindak-tanduk Soebandrio, Menteri Luar Negeri RI sekaligus kepala Badan Pusat Intelijen (sekarang BIN) waktu itu, yang digambarkan ingin memanfaatkan kondisi kesehatan Soekarno untuk mengkudeta.

Narasi utama cerpen Kipandjikusmin di atas barangkali menjadi bagian dari kemenangan mutlak atas seniman-seniman Lekra di sektor kebudayaan. Seperti kata Jassin, pengaruh lingkungan dan zamannya memang demikian besar pada cerpen Kipandjikusmin. Masa itu sekaligus juga menjadi titik balik sejarah Indonesia yang menggelar karpet merah untuk kekuasaan Orde Baru.

Jassin pun tidak hanya mengurai dan membedah “Langit Makin Mendung”. Ia juga menanggapi satu per satu beberapa tanggapan dari orang lain mengenai cerpen tersebut, baik yang menentang maupun memihaknya. Tanggapannya ia tuliskan dalam satu esai panjang berjudul “Beberapa Tanggapan”.

Pembelaan Jassin terhadap Kipandjikusmin memang amat krusial, tapi juga kontradiktif. Posisinya waktu itu adalah pemimpin redaksi majalah Sastra, media yang menjelang G30S tidak terbit lagi akibat aktivitas Jassin dengan Manifes Kebudayaan.

Pasca peristiwa G30S, Sastra terbit kembali untuk bahu-membahu bersama Horison melakukan kekerasaan budaya setelah 1965—meminjam istilah Wijaya Herlambang—melalui karya sastra. Pemuatan cerpen “Langit Makin Mendung” yang panen kecaman itu sebenarnya ikut meramaikan narasi utama seputar G30S yang mendukung versi Orde Baru. Namun, sebelum para pengecam sadar, cerpen tersebut telah kadung dibredel.

Di luar kontradiksi itu, tindakan pasang badan oleh H.B. Jassin cukup menjadi catatan yang perlu digarisbawahi dalam kebebasan berkreasi. Upaya Jassin setidaknya menegaskan untuk memperlakukan karya sastra lebih apresiatif, ketimbang destruktif.

Cara yang ditunjukkan olehnya dalam buku Heboh Sastra 1968, Suatu Pertanggunganjawab menandai bentuk pengharagaannya pada ilmu pengetahuan dan kematangan Jassin yang telah bertungkus lumus di bidang kesusastraan. Cara itulah yang seharusnya diteladani oleh orang-orang seperti Runtung Sitepu agar tak kelewat naik pitam hanya perkara cerpen.

“Karya sastra adalah bahan untuk menggugah pemikiran. Karya sastra bukanlah textbook jang harus ditelan begitu saja. Ini berarti bahwa kita harus menghadapinya dengan jiwa yang dewasa.” [H.B. Jassin, “langit makin mendung”, 1970: 40]
***

Leave a Reply

Bahasa »