REMBULAN BERGARIS DAHAN, DI BAWAH LANGIT MALAM


A. Syauqi Sumbawi *

Rembulan bergaris dahan. Abdun melihatnya pada amben bambu di bawah pohon kersen depan rumah. Wujudnya yang purnama bersama benderang cahaya, menciptakan bayang-bayang segala yang dikenainya di permukaan tanah.

Memperhatikan bayang dedaunan digoyangkan angin, Abdun teringat pada rekaman pagelaran wayang kulit yang biasa ditontonnya melalui siaran televisi lokal. Dan tadi, “Jimat Kalimasada” adalah lakon yang baru saja ditontonnya. Kini, entah lakon apa yang dimainkan oleh bayang-bayang di pelataran rumahnya itu. Tak ada suara manusia—ki dalang—memainkan cerita. Hanya suara berulang jangkrik yang meng-krik di sunyi malam, serta desir angin menebar dingin.

Menyudahi imajinasinya mencari lakon dari bayang-bayang itu, Abdun pun tersenyum. Seperti menertawakan diri sendiri.

“Menungso… menungso…” katanya di sela dengus tawa. “Ah, ada-ada saja…”

Akan tetapi, agaknya memang demikianlah manusia. Makhluk yang suka mengada-adakan. Suka aneh-aneh. Suka dan selalu berusaha menafsirkan segala suatu yang disaksikan dalam hidupnya. Laiknya Abdun yang berusaha memaknai bayang-bayang dedaunan yang bergoyang.

Kalau saja apa yang dilakukan ini diketahui istrinya, pasti dia akan menertawakan Abdun. Mungkin juga akan berkata: “Kok aneh-aneh panjenengan. Yang pasti, bayang-bayang itu ada karena ada cahaya purnama, ada hembusan angin, ada daun-daun, dan ada permukaan tanah.”

Kemudian, barangkali Abdun akan menanggapinya, “Yah, kalau itu sudah tahu saya…”

“Lha, terus… apa?!”

“Itu membuktikan bahwa suamimu ini kreatip…”

“Kreatif apa mengada-ada?!” Istrinya tertawa. Menggodanya dengan canda.

“Lho, malah ngajak pringisan.” Abdun sebal dalam pura-pura.

“Nggih, sampun. Tapi, empun jeruh-jeruh… —Ya, sudah. Tapi, jangan terlalu dalam…—

“Enak jeruh. Lebih terasa.”

“Maksudnya…. biar nggak kesambet,” jelas istrinya tertawa nyekikik. Lantas ngelonyor masuk rumah.

“Wee…, ngajak gulat ini…”

Akan tetapi, tidak. Istri dan kedua anaknya telah tidur ketika Abdun memindah channel televisi untuk menonton wayang. Tadi, sekitar pukul sembilan malam. Dan kini, waktu telah jatuh dari tengah malam.

Usai mengamati kondisi sekitar, Abdun mengarahkan matanya ke langit. Kertap-kertip bintang di kegelapan tampak menjadi latar bagi rembulan yang sedang terang-terangnya. Dalam diam, tiba-tiba Abdun teringat apa yang pernah dikatakan Mbah Mad. Bahwa yang termasuk dzikir, yaitu ketika melihat dan memikirkan makhluk, seseorang tidak berhenti di situ, tetapi juga sambung kepada Dzat yang menjadikannya.

Angen-angen atau tafakkur, barangkali itulah yang dilakukan Abdun pada pertengahan malam purnama tersebut. Kondisi yang juga menjadi gambaran dari puisi “Di Bawah Langit Malam” karya Ahmadun Yosi Herfanda. Dalam buku Sembahyang Rumputan (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1996) hlm. 59, diungkapkan sebagai berikut:

DI BAWAH LANGIT MALAM

kucium kening bulan
dalam sentuhan dingin angin malam
ayat-ayat tuhan pun tak pernah bosan
memutar planet-planet dalam keseimbangan

langit yang membentang
menenggelamkanku ke jagat dalam
kutemukan lagi ayat-ayat tuhan
inti segala kekuatan putaran

jagat yang menghampar
membawaku ke singgasana rahasia
pusat segala energi dan cahaya
membebaskan jiwa
dari penjara kefanaannya

kucium lagi kening bulan
engkau pun tersenyum
dalam penyerahan

1983

Langit dan bumi, serta segala yang ada di antaranya, di bawah langit malam adalah ayat-ayat Tuhan. Itulah yang agaknya dipahami oleh aku lirik atau seseorang ketika memandang langit dengan penuh hikmat, serta kedamaian yang terasa dalam ungkapan … kucium kening bulan/. Dari semuanya, yakni perjalanan bulan yang menjadi tanggal, angin yang mendingin di malam hari, peredaran planet-planet yang menghadirkan rahasia waktu dalam kehidupan manusia, dan sebagainya, tidak lain adalah menjadi petunjuk tentang keberadaan Dzat yang Maha.

Segala yang di langit, tidak dipungkiri, adalah keberadaan universal yang selalu hadir dan menyapa manusia. Kitab suci pun mengkonfirmasi hal tersebut dengan menyebut matahari, bintang-bintang, rembulan, dan lainnya bersama segala rahasianya. Juga, kisah “pencarian” Tuhan oleh Nabi Ibrahim, dimana prosesnya tidak bisa dilepaskan dari langit.

Langit dan bumi adalah ruang hidup di dunia. Tidak sekadarnya, melainkan hidup yang termaknai. Dari keberadaannya, matahari di waktu siang yang menghadirkan kesibukan di muka bumi, memiliki perbedaan kondisi yang tegas dengan keheningan malam bersama bulan dan bintang yang mengajak manusia dalam permenungan. Di sinilah, kehidupan beragama terlihat pekat sebagai ruang pribadi antara manusia dengan Tuhan. Hal yang juga diperlihatkan oleh perintah qiyamul lail kepada Nabi Saw di tahun-tahun pertama kenabian.

Kemudian ungkapan … langit yang membentang/menenggelamkanku ke jagat dalam/, menunjukkan bahwa langit adalah halaman pertama, yang pada gilirannya mengarahkan untuk membaca halaman berikutnya, yakni diri sendiri—mikrokosmos—dimana… kutemukan lagi ayat-ayat tuhan/ yang merupakan… inti segala kekuatan putaran//.

Bacalah!, demikian perintah pertama dari wahyu pertama. Tidak sekadarnya, melainkan erat dengan proses intelektual dan transendensi-spiritual, sebagaimana ungkapan bismirabbika lladzi khalaq—dengan menyebut nama Tuhanmu yang menjadikan—. Membaca segala kejadian, disambung dengan kejadian manusia dari segumpal darah, yang tak lain adalah membaca diri sendiri. Hingga menemukan wa rabbuka al-akram.

Pada hamparan mikrokosmos, seseorang akan menemukan …pusat segala energi dan cahaya/, yang …membebaskan jiwa/ dari penjara kefanaannya//. Jasad yang tumbuh dan merapuh, serta meminta segala kebutuhan dan kesenangan dunia adalah penjara bagi ruh. Hal yang umum sebagai pandangan para sufi dan kalangan spiritualis. Dari semuanya, kondisi atau maqam seseorang yang digambarkan dalam tafakkur, dalam dzikir, yaitu.. tersenyum/ dalam penyerahan//.

Kondisi yang menampilkan adanya pemahaman dan kesadaran untuk menerima segala ketentuan-Nya, bersama senyum yang lahir dari rasa syukur. Barangkali, inilah potret jiwa manusia yang bebas dari segala belenggu dunia.
***

Di bawah rembulan bergaris dahan, Abdun tampak mengiya-iyakan kepalanya sejenak. Teringat pujen “tombo ati” yang kerap ditembangkan tetangganya, Pakde Banjir, usai mengumandang adzan maghrib di mushala yang baru dibangun di pelataran rumahnya. Teringat suara pensiunan pegawai kecamatan yang ngelik-ngelik penuh perasaan, Abdun pun tersenyum. Kemudian menembangkan sebagiannya.

“Kaping lima, dzikir wengi ingkang suwe…”

Dan angin malam pun menangkap suaranya. Entah, tersimpan di mana.
[]

*) Ahmad Syauqi Sumbawi, sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, kritik, dll. Sebagian karyanya dipublikasikan di media massa. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi: Dian Sastro For President; End of Trilogy (Insist, 2005), Malam Sastra Surabaya; MALSASA 2005 (FSB, 2005), Absurditas Rindu (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Laki-Laki Tanpa Nama (DKL, 2007), Gemuruh Ruh (2007), Kabar Debu (DKL, 2008), Tabir Hujan (DKL, 2010), Darah di Bumi Syuhada (2013), Pesan Damai di Hari Jumat (2019), Menenun Rinai Hujan (2019). Dan beberapa cerpennya dapat dibaca pada kumpulan: Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela, 2006), Bukit Kalam (DKL, 2015), Di Bawah Naungan Cahaya (Kemenag RI, 2016).
Sementara antologi tunggalnya: Tanpa Syahwat (Cerpen, 2006), Interlude di Remang Malam (Puisi, 2006), dan #2 (SastraNesia, Cerpen 2007). Novel-novelnya yang telah terbit: Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (2007), Waktu; Di Pesisir Utara (2008), dan “9” (2020). Sedangkan bukunya dalam proses cetak ulang “#2,” dan Limapuluh (kumpulan puisi) segera hadir. Selain menulis, juga berkebun, dan mengelola Rumah Semesta Hikmah, dengan kajian dibidang sastra, agama dan budaya, di dusun Juwet, Doyomulyo, Kembangbahu, Lamongan.

Leave a Reply

Bahasa »