Tujuh Puisi Dedy Tri Riyadi

Rindu

Api itu menunggu.
Enggan padam.
Pada setiap pohon, ia
mencari jawaban —
apakah kau bagian dari dunia?

Api itu diam.
Duduk bersama angin. Membiru.
Pada pohon ke sekian, ia
mendapati harapan —
kaukah itu, yang akan membasuhku?

Pohon itu tak menjawab.
Ia berkobar dengan cinta
yang menjadikannya arang.

2020

Fragmen

Ada yang datang tapi tak mengetuk pintu.
Yang di dalam duduk tenang tapi sebentar diterjang ragu.
Siapa menjenguk aku?

2020

Panggung

Akan disunyikan segala
yang riuh tapi kosong
dengan pucat urat kayu.

Yang tadinya mengaum,
kembali berkubang. Yang
tadi mengajak, “Ayo! Ayo!”
jadi limbung & merasa
sesungguhnya ia tak punya
siapa-siapa.

Rumput teki mendapat
hijaunya dari matahari.
Tak ada yang sangsi.

2020

Gizi

Bisa berabe jika urusan gizi
dipegang oleh laki-laki;
mereka sangat pemilih
sekaligus tidaklah jeli.

Mereka rakus tapi tidaklah
fokus pada hal-hal yang bisa
menambah manfaat bagi dirinya.

Laki-laki merasa punya uang
dan kuasa, sedangkan dunia
menitipkan pada perempuan —
paling tidak, satu generasi.

2020

Ikan

Mimpi tak bakal
menenggelamkanku.
Cinta, arus itu, kadang
harus kutentang juga.

Dunia memang hanya
akan memberi busa limbah
di antara gagang. Dan
dengan bahasa aku biasa
bersiasat agar tak
terkena kelat.

Hari-hariku zikir air.
Ketabahan yang mengalir
dari ketinggian, membuat
gelembung naik ke
permukaan seperti doa.
Kadang, aku kembangkan
suara seperti sedang menelan,
agar kau tahu — aku hidup.

2020

Ayam

Gergasi yang meringkuk
ia bikin kikuk. Tak ada hari
buruk, pekiknya.

Kenangan, memang racun
sebelum kematian. Tak ada
yang sembuh begitu
meneguknya.

Meski geliat cacing di
serasah atau lenting ulat
di gerowak daun itu, akan
ia perhatikan benar. Sebab,
ada harapan tak hendak
redup.

Mari, katanya, kita pandang
hidup dengan berani. Aku
punya taji, kau punya nyali —
tak payah taklukkan satu
hari lagi!

2020

Duduk di Atas Abu

Dan menjelma ia sebagai
Ayub. Lelaki yang diberkahi
selaksa ketabahan. Dada
seluas kolam Bethsaida.
Ia duduk di atas abu.

Angan-angannya telah lama
remuk. Puluhan burung
bangkai mengerumun di
puncak gelisah. Ia merasa
tak ada guna berduka.

Cinta seolah pemanis bibir
belaka. Karena begitu banyak
nyanyi hyena dan lolong
serigala. Ia duduk di atas abu,
dan mulai membuka kitab
berdebu dan membaca —

Dunia yang tengah berduka,
akan dihakimi hanya oleh
sabda.

Ia duduk di atas abu,
membaca kitab, dan
merasa; betapa sia-sia
kata. Tak pernah cukup
sempurna untuk mencakup
seluruh rasa untuk memupus
setitik duka.

Karenanya, ia ingin bangkit
dari duduknya. Menghapus
seluruh sakit dan kecewa.
Ia akan berjalan ke pintu;
meloloskan diri dari nasib
piatu.

2020


______________
Dedy Tri Riyadi, lahir di Tegal 16 Oktober 1974. Bergiat di Komunitas Paguyuban Sastra Rabu Malam (PaSaR Malam) sejak tahun 2007, dan sebagai redaktur puisi di Majalah Litera. Karya-karyanya dimuat di surat kabar nasional dan daerah. Buku puisi tunggalnya; Gelembung (2009), Liburan Penyair (2014), Pengungsian Suara (2016), dan Berlatih Solmisasi (2017). Dedy dinobatkan menjadi Penyair Muda Berbakat Terbaik versi situs Basabasi.co tahun 2018.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *