Sastra dan Dakwah Islam di Aceh

Munawar A. Djalil *
aceh.tribunnews.com, 30 Nov 2019

Meskipun kata sastra belum dapat didefinisikan secara khusus, namun secara umum sastra merupakan sebuah karya baik berupa tulisan/cetakan maupun hasil kreativitas emosional spontan para sastrawan. Dalam literatur sejarah sastra Aceh terdapat beberapa sebutan yang sering kita dengar seperti haba jamuen, tambeh dan ada juga yang disebut hikayat. Khusus hikayat biasanya para penyair membacanya dengan irama lagu.

Menariknya kandungan hikayat Aceh biasanya meliputi beragam tema, baik permasalahan yang timbul antara manusia dengan Allah Swt, antara manusia dengan lingkungannya maupun antara manusia dengan alam semesta. Tema-tema tersebut menjadi ciri khas hikayat Aceh dimana nilai-nilai Islam sangat dominan melekat dalam setiap bait syair hikayat.

Sejarah awal ketika agama Islam dibawa masuk ke Aceh melalui Persi dan Gujarat, yang penyebarannya mengandung unsur-unsur mistik yaitu suatu unsur yang cukup menyatu dalam tradisi Hindu. Kuatnya unsur itu praktis sangat menghambat perkembangan dakwah Islam, sehingga proses pemahaman sastra dengan memasukan nilai Islam menjadi sesuatu yang tidak mudah. Hal ini disebabkan pengaruh Hindu yang masih hidup dan kuat yang mewarnai kehidupan masyarakat Aceh.

Ada satu hikayat yang terkenal yaitu hikayat ‘Malem Diwa’ (tidak diketahui pengarangnya/anonim). Hikayat ini kental dengan unsur hinduisme, akibatnya nilai dakwah Islam yang dimasukan ke dalam hikayat Malem Diwa tidak begitu kokoh, karena di samping Malem Diwa masih merupakan tokoh hinduisme, juga karena pengaruhnya yang besar sehingga orang Aceh sempat “mengkeramatkannya”, maka tokoh ini tidak dapat diabaikan walau keberadaannya tidak begitu jelas dalam masyarakat.

Meski demikian, lambat laun penyisipan materi dakwah Islam telah berhasil memunculkan keraguan akan ajaran dan budaya hinduisme. Ketika unsur-unsur Islam dalam sastra tampak dominan dan kuat barulah kemudian konsep dasar agama Islam disampaikan melalui dakwah terbuka. Melalui dakwah terbuka pengaruh Hindu dalam masyarakat praktis bisa dihilangkan, maka pada perkembangan selanjutnya jalinan antara karya sastra dalam penyebaran Islam di Aceh semakin kuat, saling berhubungan satu sama lain.

Perlu diketahui bahwa jika kita mendalami benar sebuah karya sastra, akan ditemui sesuatu yang terkadang melampaui batas-batas tertentu. Ada yang kongkrit, tampak dilihat dan terkadang pula dia begitu dalam, sunyi, absurd dalam potensi manusia. Hal yang sama juga kita dapati ketika meresapi dan menghayati ajaran agama Islam. Begitulah sebenarnya setelah Islam benar-benar kuat menghujam dalam hati masyarakat dan secara kultural telah mampu melakukan perubahan, maka nilai-nilai yang dipakai sebagai ukuran dalam kehidupan sosial dan budaya adalah nilai-nilai agama Islam. Karya sastra yang muncul kemudian pun sarat dengan nilai-nilai Islam, misalnya hikayat ‘Nun Farisi’ (tidak diketahui nama pengarang/anonim).

Hikayat ini sangat kental dengan nilai-nilai Islam, karena menggambarkan tentang orang saleh yang taat kepada Allah swt dan berakhlakul karimah. Sehingga dengan demikian dapat dipastikan proses “islamisasi” pada dekade abad 16 Masehi telah berhasil menanamkan nilai-nilai agama Islam sehingga kuat dan dominan terpatri dalam jiwa masyarakat Aceh.

Dalam sejarah juga ditemukan bahwa pemanfaatan sastra ternyata tidak hanya digunakan untuk mengislamisasikan masyarakat Aceh semata, melainkan juga digunakan oleh para ulama untuk model pengajaran. Di dayah/pesantren para ulama juga menciptakan model pengajaran dalam bentuk puisi, seperti pengajaran nahwu sharaf dan hikayat tajwid sampai kepada aturan-aturan hukum membaca Alquran.

Penggunaan karya sastra untuk pengajaran agama ini tentu sangat bermanfaat untuk menimbulkan minat baca dan memudahkan penghafalan bagi murid-murid di dayah/pesantren yang belajar kitab Jawi dan bahasa Arab. Melihat literatur tersebut nampak jelas bahwa orang Aceh tempo dulu menjadikan tradisi sastra untuk kepentingan dakwah Islam.
***

Berdasarkan fakta sejarah berkenaan, maka tidak berlebihan kalau penulis katakan Aceh kaya dengan karya sastra dan Aceh pula telah melahirkan banyak sastrawan baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal (anonim). Buktinya pada fase sejarah Aceh berikutnya, terutama di abad 18 muncul ‘Hikayat Prang Sabi’, karangan monumental Teungku Syik Pante Kulu dan karya sastra ini sangat populer di Aceh.

Pada zaman penjajahan Belanda hikayat ini memegang peranan penting dalam membangkitkan semangat perlawanan rakyat Aceh menentang Belanda sekaligus memberi bukti kokoh, betapa antara karya sastra tersebut dengan Islam terdapat satu jalinan yang erat, sehingga nilai-nilai yang termaktub di dalamnya mampu menjiwai perang sabil dalam waktu yang cukup panjang hampir seratus tahun.

Setelah dua abad berlalu yaitu pada abad 20, muncul pula sastrawan Prof. Ali Hasymi. Beliau sejak dekade tahun 30-an hingga 80-an telah menerbitkan 18 karya sastra dan puluhan karya tulis lain, termasuk sajak, roman, novel, dan menariknya sampai kini karya-karya beliau sangat digemari oleh mahasiswa atau pegiat sastra di tanah air.

Pada dekade tahun 70-an pula, seorang penghikayat populer dengan lebel “seniman tutur” muncul di Aceh yaitu Teungku Adnan Pmtoh. Beliau adalah sosok penghikayat yang sangat disenangi masyarakat Aceh. Dalam hikayatnya beliau mengangkat berbagai tema syair baik menyangkut perjuangan, kepahlawanan Islam juga yang berhubungan dengan pendidikan yang terkadang tema-tema itu muncul sebagai reaksi dari emosionalnya secara spontan.

Uniknya, beliau merupakan penghikayat yang sangat kreatif, buktinya tatkala menuturkan hikayat kerap membarenginya dengan sentuhan alat musik yang sangat tradisional, seperti kayu, kaleng, bantal, dan lain-lain. Maka tidak heran dimana saja pertunjukan Adnan Pmtoh digelar dipastikan akan banyak masyarakat yang menyaksikan.

Nah, pada dataran ini di samping sastra mampu memberikan hiburan ia juga telah menjadi semacam sumber nilai bagi kehidupan religius masyarakat Aceh. Sehingga wajar kalau antropolog Belanda Snouck Hurgronje beberapa abad lalu mengatakan: “Orang-orang di Aceh baik tua maupun muda, laki-laki dan perempuan semuanya tergila-gila kepada hikayat”.

The last but not least, karya sastra dengan beragam bentuk dan seninya telah mampu memberi pengaruh signifikan dalam proses dakwah di Aceh. Kini karya sastra di Aceh nampaknya telah berkembang ke arah yang lebih modern, yaitu dengan munculnya album vcd dan dvd. Namun yang sangat penting agar misi dakwah dapat berjalan, maka konten (kandungan) syair dan lirik lagu mesti bernuansa islami di samping penyair dan penyanyi Aceh harus tetap menjaga aurat dan sebagainya.

Oleh karena yang demikian dalam rangka memperkuat pelaksanaan Syariat Islam, maka proses dakwah Islam di Aceh lewat karya sastra tidak boleh diabaikan. Allahu `Alam Bisshawab.
***

*) DR. Munawar A. Djalil, MA, PNS Pemerintah Aceh dan Peminat Sastra, tinggal di Cot Masjid, Banda Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *