SEKEPING HIKAYAT DARI BANDA ACEH

Thayeb Loh Angen *
Harian Aceh, 3 Jan 2009

Hikayat ini berjudul ‘Tambeh Tujoh Blah” jilid 3, ditulis oleh T.A. Sakti. Tebalnya 236 halaman. Aku dulunya penyuka hikayat. Namun, kini tak pernah membacanya lagi. Bukan karena sudah tak suka, namun karena tak ada hikayat yang ditulis serius–ini menurutku. Bapakku seorang penyuka hikayat, sama sepertiku. Aku suka hikayat karena kalimatnya bersajak, baik sajak tengah, awal maupun akhir. Persajakan dalam hikayat membuat ia merdu saat diucapkan.

Dulu, saat siaran radio menghadirkan ruang pembacaan hikayat bersambung, ayahku suka mendengarnya tiap malam. tentulah aku ikut mendengarnya karena suara radio tersebut, ia bunyikan keras. Terdengar sampai ke kaki bukit. Nah, karenanya aku suka mendengar orang membaca hikayat. Di rumahku dulu, juga ada beberapa naskah hikayat, namun kini tak ada lagi. Aku suka membacanya di sela jam belajarku di ujung selatan kampung terpencil. Aku membaca hikayat sesukaku, karena aku tak tahu bagaimana menbaca hikayat dengan tepat. Kini aku juga tak tahu bagaimana membaca hikayat dengan tepat.

Dua bulan lalu aku ke Meseum Aceh. Di sana aku minta Hikayat Indra Budiman. Penjaganya, yang saat itu bertugas, seorang perempuan berumur. Ia mencari sendiri hikayat tersebut. Setelah beberapa menit, ia keluar dengan tiga jilid tipis hikayat Indra Budiman. Kuperhatikan hikayat yang telah kudengar judulnya bertahun lalu. Bapakku dulu sering menceritakan isi hikayat Indra Budiman. Aku suka mendengar dongeng berbentuk puisi itu. Aku memang suka puisi, kendati aku tak pernah menjadi penyair. Dulu, aku menerka, bagaimana, ya, orang bisa mengarang hikayat yang begitu panjang dan sentiasa setia pada persajakannya? Kini aku tahu, mengarang hikayat itu mudah. Namun, jangan tanya padaku apa yang disebut hikayat. Aku tak tahu. Yang kutahu, hikayat adalah puisi panjang bersajak tetap dalam bahasa Aceh. Bentuknya boleh lirik atau epic. Biasanya epic.

Aku menyebut hikayat sebagai ‘novelnya’ orang Aceh tempo dulu. Novel itu ditulis oleh pujangga masa silam. Mereka sanggup menulisnya dalam bentuk puisi yang begitu panjang sampai berjilid-jilid. Kalau ditanya padaku, hebat mana para novelis dulu dengan kini, pasti aku jawab hebat novelis dulu. Orang zaman itu menulis novel berbentuk puisi. Adakah orang sekarang yang bisa? Jangan tipu aku dengan sebutan ‘sastra zaman modern dan sastra melayu lama’ aku tak akan percaya, kendati aku tak mau berdebat. Kau tahu kan, sastra kita orang Melayu telah dijajah habis oleh kebodohan kita sendiri yang bekiblat pada barat. Ini bukan berarti aku menolak kemajuan yang dimitoskan itu. Bukan sama sekali!

Aku hanya menyayangkan, orang kita latah membuang budaya tulisnya dan memuja habis seperti memuja gaya tulis negeri orang. Sebelum zaman ini, barat berkiblat ke timur. Namun, di zaman ini, timur telah berhasil sepenuhnya dikuasai barat, baik ekonomi maupun budayanya, termasuk budaya tulis-menulis. Apa yang bisa dibanggakan? Mungkin tak ada kebanggaan lagi di Aceh selain kebanggaan itu sendiri.
***


*) Thayeb Loh Angen (Thayeb Sulaiman) lahir tanggal 1 Februari 1979 di Paloh Dayah, Lhokseumawe. Anak dari pasangan Teungku Sulaiman bin Utoh Dadeh dan Cut Zubaidah binti Teuku Juhan bin Teuku Musa bin Teungku Lam Paseh Al Asyi. Memulai karir setelah menjadi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tahun 2006 menulis naskah roman, tahun 2008 menjadi Redaktur di Harian Aceh, tahun 2009 menulis novel pertamanya “Teuntra Atom”. Tahun 2012 ikut mendirikan lembaga kebudayaan antar bangsa “Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki” (PuKAT). Tahun 2013 ikut membentuk Institut Sastra Hamzah Fansuri (Ma’had Baitul Maqdis), sebuah pendidikan dalam bidang hubungann antar manusia yang meliputi perkabaran, sastra, seni berbicara, falsafah sejarah, dan kepemimpinan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *