INTERSEKSI BAHASA, SASTRA, DAN BUDAYA

Djoko Saryono *

Secara historis, apakah kemunculan kata bahasa, sastra, dan budaya bersamaan/serempak ataukah tidak? Menurut data linguistik bandingan historis, ternyata tidak: kata sastra muncul lebih dahulu, kemudian kata bahasa, dan terakhir baru kata budaya. Menurut dugaan antropologis, ketika estetisasi-moralisasi kehidupan sehari-hari masih sangat kuat, komunikasi antar-manusia diwahanai oleh tutur sastra, yaitu tuturan yang mengandung, mengutamakan, dan mengedepankan keindahan, keelokan dan keartistikan untuk membungkus atau mengemas suatu maksud dan tujuan.

Di situlah kata atau istilah bahasa berada di bawah bayang-bayang kata atau istilah sastra; kata bahasa [bhasa] selalu melekat dalam kata sastra [castra]. Sebagai contoh, seperti dikatakan Zoetmulder dalam Kalangwan, istilah bahasa kawi [bhasa kawya] mengacu pada bahasa yang digunakan oleh para kawi [pujangga Jawa Kuna]. Bhasa mengandung makna bentuk puisi dalam kakawin sehingga karya sastra Jawa Kuna yang monumental disebut candibhasa. Sebuah syair dalam metrum kakawin disebut candi bhaseng karas. Puisi-puisi Jawa Kuna dimulai dengan kata bhasa, misalnya Bhasa Sadhanayoga, Bhasa Amrtamasa, Bhasa Gumiringsing]. Lebih lanjut, memahami dan membaca puisi secara lisan disebut membahasakan [mabhasan atau mabebhasan].

Itu semua membuktikan, kata sastra bertaut-erat dan bersenyawa-lekat dengan kata bahasa. Sebaliknya, kata bahasa bertaut-erat dan bersenyawa-lekat dengan kata sastra. Keduanya berkoeksistensi atau saling mengada secara setara: tak ada sastra tanpa bahasa, tak ada bahasa tanpa sastra. Walhasil komunikasi sosial-publik begitu puitik, begitu literer. Penuh kebyar metafor. Bahkan metafor terasa mendahulu denotasi bahasa.

Pada saat segmentasi, fragmentasi, partikularisasi, dan atau praktikalisasi kehidupan sehari-hari semakin berkembang, tutur sastra lambat-laun digantikan oleh tutur bahasa [dalam arti language menurut linguistik modern]. Di sinilah mulai terjadi perpisahan makna sastra dari bahasa atau bahasa dari sastra; makna sastra menyempit, sedangkan makna bahasa meluas. Bahasa pun memerdekakan diri dari bayang-bayang sastra, lalu sastra dianggap sebagai warga seni semata, tercerabut dari bahasa. Bahkan kemudian sastra pun berada di bawah bayang-bayang bahasa.

Buktinya, pada umumnya sastra dianggap sebagai seni bahasa atau laras bahasa berseni sejajar dengan laras bahasa lain. Misalnya, dalam alam pikiran Melayu sastra dianggap seni berbahasa dan dalam alam pikiran Jawa sastra dianggap kagunan bhasa. Dalam linguistik modern, misalnya menurut Roman Jakobson, keberadaan bahasa dalam sastra hanyalah merupakan fungsi puitik bahasa semata. Oleh karena itu, dalam alam pikiran modern, bahasa membawahkan sastra, bahkan budaya simbolis. Sastra pun di bawah subordinasi bahasa.

11 Des 2020.


*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *