RUMAH SEBAGAI AREA PENGUCAPAN SASTRAWI


Djoko Saryono

Pagi yang tiba mengajakku duduk di meja, berhadapan dengan air putih, teh, dan kopi — dan sudah ditunggu dua buku. Buku kumcer Sebuah Rumah di Bawah Menara karya Tjak S Parlan dan antologi puisi Perginya Seekor Burung karya Lailatul Kiptiyah. Dua buku ini gambaran sepasang kekasih yang saling mengisi dalam perbedaan — kumcer ibarat suami dan antologi puisi ibarat istri yang saling melengkapi. Dalam kehidupan nyata, Parlan Tjak dan Lailatul Kiptiyah memang sepasang suami istri yang — tentu telah — saling mengisi dan melengkapi dalam perbedaan. Maka, dua buah karya sastra ini boleh dipandang sebagai maklumat literer (sastrawi) kesepasangan suami-istri.

Di samping perbedaan-perbedaan lahiriah dan batinah yang dapat dengan mudah diketahui, sebagai maklumat kesepasangan sastrawi, karya Tjak S Parlan dan Lailatul Kiptiyah ini memiliki kesenyawaan dan kesejajaran atau malah kemiripan/kesamaan sastrawi baik lahiriah maupun batiniah sastra. Kemiripan utama karya Tjak S Parlan dan Lailatul Kiptiyah adalah sama-sama menjadikan rumah sebagai pusat atau area pengucapan sastrawi (literer) dan optimisme yang terbuka di dalam arung perjalanan kehidupan yang aneka warna.

Secara gegabah dan umum, dapat dibilang cerpen-cerpen Tjak S Parlan dan puisi-puisi Lailatul Kiptiyah menjadikan rumah sebagai pusat pengucapan sastrawi/literer — rumah dan sekitar rumah (halaman, misalnya) sebagai area permainan sastrawi — sehingga rumah membentuk dunia-kehidupan yang dibangun oleh keduanya. Luar rumah adalah kawasan asing yang tak pernah dilepaskan dari rumah.

Hal tersebut dapat diketahui dengan mudah dari diksi rumah yang tinggi frekuensinya dalam cerpen dan puisi. Cerpen-cerpen Tjak S Parlan bahkan banyak menggunakan judul rumah, misalnya Sebuah Rumah di Bawah Menara, Rumah yang Gembira, Rumah Kecil dengan Pintu Pagar Terbuka, dan Peristiwa di Rumah Gadai. Puisi-puisi Lailatul Kiptiyah nyaris semua bermain soal rumah dan berangkat dari persoalan rumah, misalnya keluarga, anak, dan tanaman rumah. Pendek kata, rumah tak hanya menjadi latar, suasana, dan sekadar ornamen literer, tapi menjadi dunia-kehidupan yang dieksplorasi tandas dalam cerpen-cerpen dan puisi-puisi sepasang suami istri ini.

Dalam karya Tjak S Parlan dan Lailatul Kiptiyah, rumah yang menjadi area pengucapan sastrawi tak berada di lanskap wilayah urban dan metropolis, tapi di lanskap lingkungan agraris atau minimal ekologis. Tak heran, diksi flora-fauna banyak sekali mewarnai cerpen dan puisi keduanya. Puisi-puisi Kiptiyah malah bertaburan diksi flora sekitar rumah selain unggas, alam primer, dan sejenisnya. Demikian juga cerpen-cerpen Tjak S Parlan banyak memakai diksi lingkungan alamiah, tanaman, dan binatang seputar rumah sebagai latar cerpennya. Bahkan keduanya banyak menggunakan diksi “burung terbang”. Keduanya banyak menggunakan simbolisme “burung terbang”.

Selain rumah, optimisme yang terbuka telah menyenyawakan cerpen Tjak S Parlan dan puisi Lailatul Kiptiyah. Optimisme ini terasa menjadi arus kesadaran hidup yang lantas dijadikan nadi cerpen dan puisi. Ambil contoh puisi pertama Kiptiyah yang berjudul Perginya Seekor Burung yang justru bernada kebahagiaan dan keikhlasan sekalipun melepas kepergian atau kehilangan: //aku adalah seekor burung/berangkat dari palung/sebuah pagi//…//maka di puncak kembara ini/kulepas seluruh milikku; telur-telur bahagia/bakal sayap yang kelak mengitari/pucuk-pucuk padi//. Puisi terakhir berjudul Menjalani Tua juga bernada bahagia dan riang, tak ada beban berat perlu dipendam://kita menjalani tua/takjub pada hidup//…//kita menjalani tua/menjalani sisa tamasya/memasuki kebun diri//. Senada dengan puisi Kiptiyah, optimisme juga dipantulkan cerpen Tjak S Parlan, misal terlihat pada judul Rumah yang Gembira.

Sebab itu, membaca puisi Kiptiyah dan cerpen Tjak S Parlan kita serasa diajak pulang ke rumah dengan segala isinya. Menikmati simbolisme rumah sebagai tenda kegembiraan dan kedamaian hidup. Luar rumah bukanlah pusat hidup manusia — ia hanyalah perluasan rumah yang dijadikan tempat orang berkiprah. Di tengah pandemi COVID-19, yang telah mengharuskan kita berada di rumah, membaca puisi dan cerpen ini kita mendapat peneguhan bahwa rumah bukan tempat yang membosankan, minimal tak selalu menjemukan. Rumah juga bisa menjadi tempat yang mendamaikan.
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *