SEPUTAR KANTONG BUDAYA INDEPENDEN, SISTEM SANGGAR, DAN KOMUNITAS KEKINIAN

MANGAYUBAGYA PAMERAN LUKISAN KOMUNITAS SANGGAR SUWUNG YOGYAKARTA

Iman Budhi Santosa

Meskipun, mungkin, tidak perlu disanjung (karena puji sanjung, kadang malah meluluhlantakkan kreativitas), namun tetap harus dicatat sebagai fakta yang tak terbantah. Bahwa dalam sejarahnya, denyut kehidupan kesenian di Yogyakarta sangat ditopang oleh eksistensi “sanggar seni” yang senantiasa berkecambah dari masa ke masa. Seperti sanggar seni rupa, sanggar teater, sanggar musik, sanggar tari, sanggar sastra, dan lain-lain. Dan salah satu sanggar yang pernah eksis di kota ini adalah Sanggar Suwung yang terletak di kampung Surokarsan, berseberangan dengan Pendapa Tamansiswa. Sanggar Suwung aktif di bidang seni rupa, seni musik, dan teater, pada dekade 90-an. Di mana sebagian besar anggotanya adalah mahasiswa Fakultas Senirupa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, mahasiswa ISI Yogyakarta, dan pemuda-pemuda setempat.

Melalui visi dan kerja kesenian, serta kemandirian para seniman yang tumbuh besar dalam sanggar inilah sesungguhnya prestasi kesenian Yogyakarta berhasil mencapai strata “nasional dan internasional”. Sekadar untuk mengingatkan, bahwa prestasi berkesenian seniman Yogya bukan seperti yang tampak pada hingar-bingar Festival Malioboro maupun Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) selama ini. Meskipun dalam even seperti itu banyak seniman terlibat, namun prestasi berkeseniannya bukan dipicu dan dipacu oleh donasi-donasi eksternal, oleh tuntutan pasar, pariwisata, pilkada, proyek pemerintah, festival, dan faktor-faktor lain yang bersifat duniawi. Melainkan murni lantaran dorongan mencipta dan kreativitas pribadi masing-masing melalui pergulatan yang intens dalam ranah yang sangat spiritual, dari kesabaran dan ketekunannya di rumah atau sanggar mereka yang sunyi, dari kesendiriannya yang menyakitkan, sekaligus menakjubkan.

Manakala ditelisik, Yogyakarta sangatlah beruntung bahwa dari rahimnya telah lahir ratusan sanggar menghiasi zaman demi zaman yang berbeda. Dan menariknya, meskipun kebudayaan dan kehidupan terus berubah, globalisasi, kapitalisasi, dan sekularisasi telah mencengkeram hingga ke pelosok Nusantara, namun ternyata ciri khas berkesenian ala sanggar tetap konsisten dipertahankan oleh pelakunya hingga kini. Di mana pun sanggar tersebut berada akan selalu dilandasi oleh adanya patembayatan yang kental, diamalkannya semangat asah-asih-asuh yang intens dalam paguyuban atau komunitas mereka, serta dikedepankannya independensi yang tinggi dalam menentukan jalur berkesenian yang menjadi pilihan masing-masing. Kendati berkomunitas dalam home base yang sama, tetapi setiap anggota sanggar bebas mencari dan menemukan ekspresi kepribadiannya sendiri-sendiri dalam berkarya.

Sungguh, fenomena sanggar tak bisa diremehkan dalam kehidupan kesenian di Yogyakarta. Kendati telah berdiri perguruan tinggi seni, namun sanggar sesungguhnya memiliki potensi khusus dalam mengembangkan minat dan bakat berkesenian. Antara lain dikarenakan kultur berkesenian di sanggar berbeda dengan prosesi menempuh pembelajaran formal di bangku perguruan tinggi. Jika perguruan tinggi bertujuan mencetak intelektual seni, dunia sanggar memberikan ruang sepenuhnya kepada siapa pun (tanpa tes dan uji kelayakan) untuk belajar hidup dan berkarya sebagai seniman (kreator). Jika lembaga pendidikan formal menyediakan berbagai macam teori untuk menjadi pandai (cerdas), sanggar justru menggelar kesempatan belajar dua puluh empat jam dengan semangat “komunalisme kreatif” (belajar bersama) untuk terampil menjadi seniman.

Jadi, dunia sanggar tak ubahnya “areas of the culture encounter”. Di mana semua orang bebas dan boleh belajar sesuai keinginan dan kemampuan masing-masing. Sanggar juga bukan sekadar ruang sekolah, panggung pergelaran, maupun work shop (bengkel kerja). Karena pada hakikatnya sanggar adalah home bagi para seniman yang berkomunitas di dalamnya. Di sana mereka membangun persaudaraan, belajar dan berkarya lewat kebersamaan, serta menjunjung tinggi asas pluralisme dan demokrasi ala Nusantara. Artinya, bukan sekadar berpijak pada semangat persamaan hak dan kewajiban, melainkan masing-masing rela mengamalkan tata-krama atau unggah-ungguh saling menghormati antar pribadi dengan dilandasi kesadaran batin (spiritualitas) yang tinggi.

Memang, dalam sejarahnya, sanggar adalah semacam inkarnasi tempat pemujaan yang terletak di pekarangan rumah pada masa lalu (dalam adat budaya Hindu). Maka, tidak mengherankan jika dalam perkembangannya tetap masih menyajikan cita-rasa maupun nilai-nilai khas Nusantara, yaitu: kolektivisme – spiritualisme – rasa kemanusiaan, ditambah adaptasi nilai-nilai modern dari Barat: intelektualisme. Kapan dan di mana pun, dunia sanggar selalu mempertontonkan realitas pemerian “duduk sama rendah berdiri sama tinggi”. Di sana juga terjadi adanya penghormatan terhadap kepercayaan yang dianut oleh setiap anggota. Dan di sana pula termanifestasikan dengan indah keseimbangan perlakuan antar sesama yang dilandasi rasa kebersamaan hidup dan sepenanggungan. Sebagai kantong budaya, sanggar juga merupakan medan laga bagi silang-pendapat individual, lahirnya tesa – sintesa – anti tesa, meleburnya sekian banyak teori dan membuminya segala bentuk abstraksi menjadi “garu-luku” yang dapat dibujurlintangkan mengolah tanah sawah sebelum benih padi ditebarkan.

Maka, manakala pada suatu masa eksistensi sanggar di Jawa (dan Nusantara) pelan mencair, menguap dan hilang tak tentu rimbanya, para seniman alumnus sanggar tentu harus berbuat, dan aib hukumnya jika hanya berpangku tangan. Ditelisik dari sudut pandang mana pun, sanggar minim cacat-cela. Apalagi para seniman sanggar juga banyak yang menjadi fenomena. Bagi mereka, tentulah sanggar ibarat rumah masa kecil, kampung halaman tercinta yang telah melahirkan dirinya ke dunia, dan sampai kapan pun harus dibela, diuri-uri bersama. Sebab, sanggar tak ubahnya lubuk yang diam-diam (tanpa bantuan dan sumbangan dari mana pun) telah melahirkan berbagai macam jenis ikan, lumut, ganggang, yang akan memberi makna pada kehidupan sungai dan kemanusiaan.

Memang, saat ini rumah tua di kampung Surokarsan yang dulu dijadikan Sanggar Suwung telah berubah fungsi dan manfaatnya. Halaman dengan pohon sawo, mangga, serta pagar teh-tehan diselingi bunga Hibiscus sabdarifa, bukan lagi tempat berdiskusi atau menggelar karya seni yang lahir dari para seniman muda. Artinya, zaman memang terus berubah dan akan senantiasa berubah. Namun, hari ini dengan semangat yang nyaris sama, para seniman alumni Sanggar Suwung berniat kembali menyapa masyarakat Yogya lewat karya-karyanya. Sebab, sesungguhnya mereka tidak pernah pergi. Tidak pernah mencair, apalagi menguap. Mereka tetap menyusuri lekuk-labirin dunia seni, merangkai warna-garis-bidang pada kanvas, pada berbagai karya nyata, pada sepanjang ruang kehidupan yang dihayatinya.

Kini, para seniman Sanggar Suwung bukan lagi anak muda, seniman muda, atau benih kacang-kedelai yang baru disemaikan di tegal sawah Yogyakarta. Setelah sekian lama mencari, sekian lama berkutat dengan kreasi masing-masing pribadi, mereka kembali bergandengan tangan dengan mesra mempersembahkan karya-karya andalannya kepada publik Yogya. Disamping itu, melalui pameran lukisan mereka, Juli 2011 ini, telah membuktikan bahwa sanggar benar-benar sakti. Sanggar bukan hanya “sekali berarti sudah itu mati” (seperti ungkapan Cairil Anwar). Namun, sanggar seni justru layak menyandang pengejawantahan dari ungkapan luhur R.M. Sosrokartono (alm): “sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”.


Demikian, selamat dan salam erat.

Leave a Reply

Bahasa »