BERLIPAT TUJUH PULUH

Rakai Lukman *

Bulan sabit bertengger sehabis adzan. Satu persatu gemintang saut-menyaut dendangkan dzikir. Kerlipnya memberi isyarat. Lengkungan langit teduh. Meski gelap. Kerlipnya masih seperti kemarin. Indah. Senandung suara menjerambab ulu hati. Bintang-bintang menari dengan ritus dan ritual ilahiah. Bintang sendiri tidak ragu berpetualang di negeri dzikir. Tarikan demi tarikan nafasnya dinamis. Dengan kodrat alamiyahnya. Sedang insan satu ini sangsi. Buta. Mengacak-ngacak wataknya. Sebutir demi sebutir. Ditenggaknya arak petaka. Tidak seperti langit teduh sore itu nafsu membabi. Lupa asal-muasal. Angkuh tak kunjung reda. Hati bimbang meradang, Tabir kemelut bersila tegap. terbahak-bahak. Kepiawiannya rapuh. Sejak menjadi korban sesembahnya. Materi. Di sana, persisnya di sebuah perkampungan pinggiran kota.
***

“Duwe’, duwe’ku ilangg!” suara lantang membedah riuh-lantangnya do’a. Si miskin yang pelit, marah. Memaki-maki. Seolah kecurian sholat maghrib. Biadab. Sudah susah malah dipikir. Linglung. Munafik. Dasar Islam KTP. Insan-insan bertaqwa berduyung-duyung jamaah. Menyemai dzikir. Beda dengan orang satu ini. Pengemis. Tak tahu diri. Tidak pernah bisa menghargai. Suka mengeluh. Kerjanya meminta. Kehilangan seratus rupiah, pusing tujuh keliling. Gara-gara lupa. Rona mukanya bacin. Keringatnya mencicir. Pori-porinya mengeluarkan bau pengap. Tak sedap. Sudah sejam lebih dia mencari. Mana, mana…tidak sampai di situ. Saking melonjaknya lava darah di tubuh. Ingin mucrat. Keluar bersama caciannya. Sampai-sampai Tuhan kebawa-bawa. Diolok-olok. Dasar Tuhan tak tahu diri. Tidak pengertian. Katanya di sore itu. Merah jingga senja seolah kelabu oleh makiannya. Menerjang. Ngamuk. Tidak terarah. Terjerat catur nasib. wus, suaranya mirip kentut bersahut.

“Sial..!” Muak. Dengki. Putus asa. Nyengir bersama tetek-bengeknya. Komplit. Mirip jamu paling manjur. Pahit. Tapi bukan penyembuh, melainkan penyakit. Sakit miskin dan sekutunya gitu. Bertambah dengan lonjakan nafsu. Membabi buta. Durjana. Buang-buang energi dan…

“Tyar..” cangkir yang tidak bersalah. Pecah. Amuknya sudah tidak terduga. Lupa bahwa harga satu cangkir lebih dari seratus rupiah. Tidak cukup sampai di situ. Tubuhnya meradang. Bergolak. Kursi yang sedari tadi ia duduki dilempar “Pyak”. Remuk juga akhirnya. Tapi ia belum juga sadar dari permainan rasa. Ya rasa kehilangan. Pedih. Perih. Seratus rupiah tak bisa ditemukan. Mungkin perasaan dirinya lebih dari kehilangan. Betapa berharganya seratus rupiah baginya. Serupa seorang yang ditinggal sesuatu yang dicintai. Mirip orang kehilangan Tuhan. Mencari batu nisan simbol kematian Tuhan. Dengan otak-atik logika. Salah paham, bukan Tuhannya yang mati melainkan rasa dirinya mandul.

Ngomel tak juga berhenti. Berhamburan, bagai abu mayat di sapu badai. Dasar pengemis pikun. Lama sekali. Hampir pukul delapan malam. Belum sembuh. Gendengi duit. Tidak seperti Siang tadi, ketika sengat matahari begitu tajam, ia duduk di depan masjid. Seperti biasanya, mengatur jadwal dan tempat aksi. Di mana dia mengatur siasat dan strategi jitu. Sesuaikan moment. Untuk dapat untung. Bukan modal kecil banyak untung, tapi tanpa modal. Hebat sekali teori pengemis, lebih ampuh dari pada teori Adam Smith lo.

Pada dentang waktu. Matahari tergelincir sesenti ke barat. Masuk waktu dhuhur. Semula persiapan dari rumah. Watak pengemis harus dibangun, dijiwai. Katarsis. Poles sejelek-jeleknya. Penumbuh simpatik orang. Biar dapat untung. Modal merengek-rengek, wajah dan pakaian lusuh. Jangan berdoa, katanya suatu kali saat dia nyangkruk bersama teman-temannya di sebuah warung kopi. Malahan rugi buang air mata. Menghafal do’a. Pakai bahasa arab, yang tidak jelas maksudnya. Sia-sia dong. Kuno. Kerja ayo kerja, biar mengemis asal kerja. Tidak usah pakai sekolah, apalagi kuliah. Habis-habisin uang. Ujung-ujungnya pengangguran. Wuh..Imbuhnya ketika membual.

Pak khotib naik mimbar. Para ma’mum hikmat mendengar. Pengemis siap siaga pasang tak-tik. “Mbual tok, aku yo iso, apa bedane” letup kecil dalam hati. Pengemis protes. Siapa mau dengar. Sia-sia. Begitu, dilakukan tiap sepekan sekali. Alunan suara khutbah tetap mengaum. Pakai bahasa Arab “dong po ora?” Bagaimana bisa paham. Lalu secuil khotbah tiba-tiba tersangkut di telinga si pengemis. Ketika sang khotib membacakan potongan hadits. Kalimat toyibah yang diambil berdasarkan sabda Nabi SAW “Barangsiapa yang sedekahkan hartanya akan lipat gandakan menjadi tujuh puluh kali” kira-kira segitu kalimat yang ditangkap telinga Sulem si pengemis tulen.

“Nah iki seng tak enteni” rasa bahagia memburat wajahnya. Bunga-bunga bangga mekar. Bersemi. Meski baru berangan. Tukang hayal. Tersetak seketika. Laju sepeda membangunkan. Angan palsu. Surga kemunafikan “Asu..” kelepasan. Terpleset. Suaranya lantang. Moga saja ketika naza’ tidak keseleo lidah. Naudhubillah. Para ma’mum menoleh “Sst..”. si pengemis terpaku. Pura-pura malu. Menunduk. Bukan apa-apa, cuma takut tidak ada yang kasih.

Khotbah usai. Disusul sholat dua rokaat. Si pengemis miris hati. Ketelodorannya masih ngiang di hati. “Jangan, jangaan”. Saat orang-orang selesaikan kewajibannya. Mereka bergegas kembali ke tempat masing-masing. Kembali beraktivitas. Ada yang berleha-leha, tentu bagi para penganggur. Ada yang kembali kerja. Sedang saat orang-orang melewati Sulem, kebanyakan mereka tergugah dengan apa yang khotib sampaikan. Yang kasih Sulem tidak sedikit. di atas rata-rata. Baru kali ini kayaknya Sulem dapat penghasilan banyak. Sejak dia memutuskan diri untuk berprofesi sebagai pengemis. “Lumayan, dino iki, aku oleh duwe’ ukeh”.

Hati Sulem senang, tergambar jelas di guratan wajahnya. Sambil menghitung uang yang ada di kaleng sprit. Entah angin apa yang menelusup. Sulem memasukan uang seratus rupiah di kotak amal. Dengan picik, cara politis, reka-reka biar dapat belas kasih Tuhan. Ternyata dia juga tergugah dengan apa yang khotib sampaikan ketika itu. Dengan berharap untuk dilipat gandakan.

Masih belum sadar. Sedari tadi sore hingga jarum pendek jam menunjukan angka sepuluh. Sulem masih maki-maki. “Bajingan, ono opo iki?, ono opo iki?!” berkali-kali dia mengucapkannya. Malam makin menua. Usianya mulai menginjak dewasa. Di sepertiga yang kedua. Orang-orang beranjak ke tempat tidur. Sedang Sulem masih bengong. Tak habis pikir uang seratus rupiah saja menyita sekian waktu. Dia memeras ingatan. Belum juga ketemu. Malahan sampai terlempar jauh. Ketika pertama kali Sulem diceritakan oleh temannya. Tentang enaknya hidup di kota, cari uang gampang, apapun yang diinginkan pasti terpenuhi dan yang lebih menyenangkan, kita bebas semau-maunya. Apalagi tidak ada yang melarang. Segala fasilitas ada. Lengkap, kap-kap. Tak ada halal, haram tak ada. Adanya semua boleh. Tapi ingat tidak ada gratisan.

Teman Sulem, yang namanya Ahmad ini, orangnya keren. Pakai jas ples dasi dan celana necis. Bawa koper. Ceritanya melambung-lambung sampai melangit. Bahkan katanya dia punya mobil mercedes model terbaru. Profesi yang di gembor-gemborkannya manager bank BI dan anehnya ketika pas ditanya mana istrimu. Eh malahan dijawab “Buat apa isteri, wong kalau butuh tinggal boking dan langsung tancap. Tak ada beban nafkah apalagi anak..huh” Ketika dia pulang sok kayanya bukan main. Meski profesinya di kota Mardiluhung, hanya sebagai pengais sampah. Dulunya Ahmad pernah mengejek pemulung, Sampah kok cari sampah, katanya kala itu. Eh..eh malahan dia jadi pemulung sekarang, karma apa ya?

Ahmadlah yang membawa Sulem ke kota. Bayangan Sulem bukan main asoinya. Bahkan angan-angan yang tertuang dibenaknya membuai perjalanannya ketika naik kereta, awalnya dia sedikit sangsi. Orang kaya kok naik kereta ekonomi. Dalam pikir, dia akan menjadi seorang yang sukses dan disegani di Desanya. Kalau pulang nanti. Jauh bercita dengan susah-payah merakit angan. Tanpa tahu ada petaka menunggu di muka. Hal ini yang menjadi tabir baginya. Sebab yang Sulem tahu di desa bukan berpatok pada kepandaian, melainkan kaya harta. Bahkan orang yang pandai ilmu agama pun kalah dengan konglomerat. Yang mana bisa menaikan status sosial bahkan harkat dan martabat diri seseorang. Bahkan pemuka agama bertekuk lutut dihadapnya. Hanya harta, bukan keilmuan yang menjadi tolak ukur. Apalagi ijazah, tidak punya nilai. Bisa beli, asal ada uang.

Dirinya yang rentan mengorek-orek ingatan secara runtut. Sampai ia terbuai dengan ucapan “Hai Su, nglamun!”. Pundak sulem ditepuk Ahmad. Saat itu ia terperanjat dari kedalaman angan. Seketika itu pula tabir penutup makin menebal. Tuhan seolah ikut terpental dari hati Sulem. Kereta melaju. Kepulan asap mengapung ke udara. Bersenda gurau dengan awan. Irama religi tak lagi terdengar. Terbang jauh bersama asap. Doktrin yang diajarkan selama 19 tahun. Lenyap. Hilang dari ingatan. Seolah tersia bimbingan orang tua dan guru-gurunya.

Empat jam berlalu begitu saja. Kereta berhenti di stasiun Sengit. Satu persatu penumpang turun.

“Su, wes teko, ayo mudun”
“wes teko toh, rame yo mat”
“Jenenge wae stasiun, yo pestine rame, opo meneh kota, Su”

Bahagia tak terkatakan menggoyang habis-habisan Sulem. Lantas Keduanya naik bajai. Kepulan asap kendaraan yang satu ini bukan main. Salah satu penyebab kota pengap. Polusi. Apalagi suaranya. Membualkan. Bising. Laju bajai mirip kura-kura. Bedanya benda satu ini buatan manusia. Sedang kura-kura ciptaan Tuhan, lebih indah dan tak buat kerusakan pada alam. Maklum saja tiap buatan manusia selalu banyak madharatnya dari pada manfaatnya. Itu sudah resiko. Bajai melintasi gedung-gedung pencakar langit. Si kerdil bajai berpapasan dengan mobil-mobil mahal-cantik. Punya pribadi, ah belum tentu, paling-paling pinjam. Demi gengsi. Kendaraan yang satu ini seolah tidak laku, bajai. Sepi penumpang. Kalah saing dengan busway. Sedang cerita-cerita Ahmad tentang kota, mendekati real. Adapun dirinya berbalik seratus tujuh puluh sembilan koma sembilan derajat.

“Wao, asyik yo Mat”
“Mestine, Su”
“Mobilmu endi Mat?”
“Nyantai wae, aku gudu nyamar, ce’e ra ono sing ngerti”

Kecurigaan Sulem bertambah. Makin mendekati kebenaran. Aib dan bualan Ahmad baunya menyeruak keluar. Tercium oleh sulem. Lebih-lebih sekarang, ketika bajai berhenti di sebuah perkampungan kumuh.

“Su, nyampe’”
“Berapa pak”
“Tujuh ribu”
“Kemarin baru tiga ribu lima ratus, sekarang naik”
“Wah kuno, dasar orang udik, tak tahu perkembangan. BBM naik goblok. Bensin saja tidak cukup. Anak dan isteriku makan apa?”
“Ini! banyak bacot, mengeluh lagi. Sana ke Presiden, jangan ke saya, dasar sopir sialan!”

Langsung saja tangan Ahmad dilerai Sulem. Saat genggaman tangannya akan menghantam tubuh sopir “Mat, sudah!”

Satu persatu barang bawaan keduanya dikeluarkan sopir. Dengan wajah sinis dan semerah bara. Dua koper dilempar ke dada Ahmad. Darah mendidih Ahmad kambuh lagi. Tak sampai dua menit. Redaman Sulem menghambat lonjakan emosi Ahmad.

“Bangsat, mau ngajak padu”
“wes Mat, wes, ini ora wilayah kita, iki kota Mat, ne’ neng deso ayo diajar sa’ kampung” Ahmad kembali redam.
***

Dikenangnya. Air mata leleh tak sengaja. Begitu saja. Sekutu ingatan dia pada asal mula motif berangkat ke kota. Ahmad saat ini hilang entah kemana. Tak jelas bayang raganya. Sejak itulah dia bingung. Linglung. Penuh gelisah. Berteduh di gubuk reok. Bertamankan sampah. Bau amis dan busuk sudah biasa baginya. Awalnya risih, dua sampai tiga minggu bau-bau tak sedap itu pun seolah menyamai harumnya bunga. Kadang taman surga, kadang neraka yang didihkan jasad dan nyawa. Segala sesuatu memang butuh namanya kebiasaan. Pola hidup sehat tidak jadi masalah, seperti yang diidealkan ilmuwan kesehatan. Lingkungan bersih, rapi, indah dan..ah omong kosong. Nyatanya banyak juga yang hidup di lingkungan bersih dan berAC, sakit-sakitan. Malahan sakitnya tak tanggung-tanggung. Bisa habiskan ratusan juta rupiah. Itu kalau sembuh, paling-paling Izroil datang. Tuhan Maha Bijak.

Lulusan S2 saja sulit. Apalagi SD. Mustahil. Amit-amit. Pikir demi pikir, meneruskan jejak Ahmad, ah tak mungkin, letupnya. Sudah banyak. Tak terhitung nominal. Mungkin saja temannya lenyap. Lantaran rebutan order. Segede proyek membangun mal kali’. PHK alami, ya paling juga Ahmad dibunuh sesama pemulung, lalu mayatnya membusuk menjadi tumbal tol. Simpul Sulem kerapkali. Otak-atik otak berkali, berhari. Sampai dia yakin ketika mimpi ketemu temannya. Nampak temannya di sebuah alam lain. Posisi gelap. Ruangan sempit. Udaranya pengap. Bau, lebih dari kuburan masal. Samar-samar terlihat. Hanya terdengar suara rintihan lirih. Dan tawa buas orang yang bangga menyiksanya.

“Sulem, tolong aku!” selang beberapa menit suara Ahmad baru terdengar kembali “Se..purane seng a..keh, Su” sayup-sayup suara Ahmad terdengar. Tergagap namun lirih sekali. Sulem bukan kepalang bingung. Peluh dan merinding hinggap di sekujur tubuh. Sekehenyak dia terbangun. Roh Sulem seolah ikut tunggang-langgang meninggalkan tubuhnya. Ranjang dari kain-kain lusuh yang dulunya dikais Ahmad dan dijadikan mirip kasur. Basah kuyup. Keringat mengucur deras. Nafasnya terpenggal-penggal. Tubuh mengejang. Ringsek Terbata-bata, seolah ia tercekik dengan apa yang dilihatnya.

“Ha..ha..ha” nafas Sulem berpacu bersama deras keringat. Meronta. Termama suasana. Betul-betul tersentak batin. Disayat-sayat belati. Sekujur tubuh terburai. Ketika memorinya tertuang penuh pada perjalanan hidup yang dilaluinya itu. Bersamaan dengan hembusan keras nafas ia terbangun dari cengang yang panjang. Hati bringasnya terketuk. Begitu keras, disambar petir. Lemas, tanpa daya mati upaya. Tanpa sengaja pula, bibir yang setahun lebih, berhenti menyebut namaNya. Berucap “Astaghfirullah”. Lengang sejenak, sunyi. Suara jangkrik kembali terdengar. Malam yang berharga. Sesal menusuk-nusuk diri. Tobat. Terlahir kembali. Lembaran baru. Kain rombeng masa silam memberi wejangan.

Sekian waktu tenggelam di dasar laut kekhilafan. Percik cahaya loncat dari balik jendela. Gaung-gaung nurani kembali bersua. Lantas Sulem bergegas teringat uang yang dia masukan kotak amal masjid. Dia tersentak, betul-betul sadar bahwa Tuhan bukan melipat gandakan tujuh puluh, uang seratus rupiah menjadi tujuh ribu. Melainkan tujuh ribu petunjuk dan kebahagiaan baginya, bahkan tak terhingga. Lebih dari tujuh samudera.

Yogyakarta, 2007


*) Rakai Lukman ialah nama pena Lukmanul Hakim, kelahiran Gresik 1983. Ikut berkecimpung di dunia kesenian semenjak SMA, berlanjut di Yogyakarta, lantas pulang ke kampung halaman. Di tanah kelahiran, masih ikut nimbrung di perhelatan alam estetika. Sempat nongkrong di Sanggar Jepit, Teater Eska, Roemah Poetika, Teater Havara, KOTASEGER (Komunitas Teater Sekolah Gresik), Gresik Teater, DKG (Dewan Kesenian Gresik), Lesbumi PCNU Gresik, dan Sanggar Pasir. Menjadi Guru SB di SMK Ihyaul Ulum, dan Guru BI di SMK al-Ihlas. Antalogi tunggal “Banjir Bantaran Bengawan.” Antalogi bersama, Kitab Puisi I Sanggar Jepit (2007), Burung Gagak dan Kupu-kupu (2012), dan Seratus Penyair Nusantara, Festival Puisi Bangkalan II, 2017. Juga terlibat riset dalam program pendampingan teater DKJT 2018, dan pengkajian sejarah lokal Desa Canga’an, Ujung Pangkah, Gresik 2019. Kini sedang mempersiapkan antalogi kedua, “Curhatan Bengawan” 2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *