BUKU YANG MENYENANGKAN DIRIKU


Djoko Saryono

Bersyukurlah aku diberi kemampuan dan mampu melewati tahun 2020 — yang penuh tikungan dan tantangan kebudayaan yang berbahaya — dengan ditemani buku-buku yang menyenangkan dan mencerahkan. Selama tahun 2020 banyak buku baik terjemahan maupun asli karya anak negeri yang sudah memberikan kesenangan dan ketercerahan kepadaku. Buku-buku itu meliputi buku sastra dan buku non-sastra berbahasa Indonesia.

Di antara banyak buku non-sastra yang terbit selama tahun 2020, sepuluh buku non-sastra yang menyenangkan dan mencerahkan aku sebagai berikut:

1. Pendidikan yang Berkebudayaan karya Yudi Latif.
2. Gerak Kuasa: Politik Wacana, Identitas, dan Ruang/Waktu dalam Bingkai Kajian Budaya dan Media karya Wening Udasmoro dkk.
3. Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri dan Pujangga Jawa karya Nancy K. Florida.
4. Komitmen Sosial dalam Sastra dan Seni: Sejarah Lekra 1950–1965.
5. Kisah dari Kebun Terakhir: Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat karya Tania Murray Li.
6. Political Tribes: Insting Kelompok dan Nasib Bangsa karya Amy Chua.
7. Mengapa Perempuan Bercinta Lebih Baik di Bawah Sosialisme karya Kristen R. Ghodsee.
8. Gen: Perjalanan Menuju Pusat Kehidupan karya Siddhartha Mukherjee.
9. Misbehaving: Terbentuknya Ekonomi Perilaku karya Richard H. Thaler.
10. Kuasa Eksklusi: Dilema Pertanahan di Asia Tenggara karya Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li.

Kesepuluh buku tersebut merupakan pilihan subjektifku saja. Subjektivitasku menjadi tolok ukur kesenangan dan ketercerahanku. Aku memilihnya di antara ratusan buku bagus yang telah terbit selama tahun 2020 dengan empat pertimbangan. Pertama, buku-buku tersebut ditulis dengan baik, disajikan dengan menarik dan tak membosankan, ditata-kemas dan dicetak bagus sehingga punya keterbacaan tinggi, dan dibaca tak menyiksa mata. Ibarat melewati jalan, membaca 10 buku tersebut aku seperti sedang melaju di jalan tol.

Kedua, buku-buku tersebut menyuguhkan pemikiran, gagasan, wawasan, dan temuan relatif baru, menyegarkan, memperkaya, mendalam. Otentisitas dan relevansi hal tersebut juga kuat selain argumentasi dan fakta adekuat. Di samping itu, daya kritis dan kebaruan temuan buku-buku tersebut begitu memikat. Ibarat melancong, aku bagaikan disuguhi panorama indah dan seperti baru terlihat.

Ketiga, isi buku-buku tersebut kurasakan punya nilai kebaruan dan nilai-guna yang besar dan jernih. Tidak mengulang-ulang atau sekadar “memulung dan menjahit” pemikiran, gagasan, dan wawasan yang sudah ada. Pengolahan dan perhitungan atas pemikiran yang sudah dilakukan secara kreatif-inventif sehingga membuahkan pemikiran dan gagasan baru dan bening. Ibarat kata, membaca buku tersebut aku bagaikan melancong ke tempat baru dengan jalan baru beserta objek terasa baru yang menyegarkan diri.

Keempat, kesepuluh buku tersebut berpotensi menyumbangkan wacana alternatif atau memperbaharui wacana keilmuan, akademis atau edukatif, dan intelektual di bidang tertentu. Misalnya, buku Yudi Latif memperbaharui wacana edukatif dan intelektual di Indonesia. Buku Siddartha menyumban pemikiran ilmiah-populer yang baru di bidang susur-galur kehidupan di alam semesta. Buku Kristen mencerahkan aku karena mampu menghantam kapitalisme dan mendiskusikan kapitalisme versus sosialisme dari perspektif unik, yaitu cinta perempuan. Demikianlah, ibarat berada di hutan, buku-buku tersebut memberi angin segar dan sejuk bagi pikiranku.

Itulah empat pertimbangan sepuluh buku yang menyenangkan dan mencerahkanku. Menurut subjektivitasku, sepuluh buku itu bagus. Buku bagus menjadi bisa pupuk yang menyuburkan perkembangan diri kita dan tatkala kita coba membacanya serasa sedang dipupuk sebegitu rupa. Sebab itu, mari kita terus membaca buku bagus, yang menyenangkan dan mencerahkan diri kita. Niscaya pola pikir dan pikiran kita menjadi sehat, segar, dan berharga. Hidup pun akan lebih bermakna dan berguna.
***

Leave a Reply

Bahasa ยป