KALA


Taufiq Wr. Hidayat *

Sahdan, tatkala Nabi Muhammad larut dalam kesendirian dalam goa Hira, terdengarlah olehnya suara: “bacalah bagimu”. Ia mengamati sekitarnya, mencari asal suara. Tak ada siapa-siapa. Terdengar kembali suara itu entah dari mana: “bacalah bagimu”. Kata-kata tersebut berulang-ulang terdengar olehnya. Ia tak mengerti apa yang harus dibaca dan kenapa membaca? Kenapa harus membaca di tengah-tengah waktu yang tidak mau membaca, dan di tengah masyarakat yang tak karib dengan bacaan-bacaan?

Barangkali Nabi Muhammad—hingga beberapa waktu kemudian, memang tetap tak mengerti apa maksud dari suara misterius yang didengarnya dalam goa Hira. Dikisahkan misalnya dalam Karen Amstrong, sang nabi merasakan kegelisahan yang tak pernah dialami sebelumnya dalam hidupnya yang hampir setengah abad, perihal maksud dari apa yang disebut-sebut sebagai wahyu pertama itu. Kegelisahan itu ia bawa hingga ke tengah kehidupannya yang bersahaja, di tengah masyarakat Arab yang tak membaca apalagi menulis. Dia meyakini itulah wahyu, lantaran setiap tanda yang didengar atau yang disaksikannya sama sekali tak mengalami kegagalan dan kerusakan, ketika menjelma pada kata sebagai bahasa. Hingga beliau menyadari, bahwa di tengah kehidupan, dalam waktu dan ruang-ruang, membaca tak harus terikat pada obyek-obyek bacaan. Melainkan membaca sesungguhnya daya hidup dan daya pikir di dalam memandang obyek-obyek, apa pun obyek-obyek itu. Kedalaman, tetapi juga kewajaran yang terukur. Apa yang ternyata telah integral dalam kehidupan Nabi Muhammad, yang di usia hampir setengah abad adalah seorang saudagar kaya, namun yang rendah hati dan bersahaja. Ia sama sekali berbeda dari sifat-sifat lazim orang Arab kala itu. Beliau digambarkan sebagai seorang yang selalu menyenangkan siapa saja, dermawan, dan terpercaya bahkan oleh musuhnya sekalipun.

Kegagalan membaca menciptakan keributan dalam kehidupan. Orang meyakini kuningan adalah emas, mengira penjahat sebagai pahlawan, menganggap kesementaraan adalah kekekalan, menuduh bajingan sebagai agamawan. Kegagalan dan kekeliruan membaca, ternyata menjadi sebab keributan-keributan dalam kehidupan. Orang mengira kemiskinan harus bersabar, padahal kemiskinan terjadi karena kekuasaan memiskinkan. Orang menduga, kekayaan adalah rejeki. Padahal seringkali kekayaan melahirkan penyakit kikir, yang kekikiran itu mencelakai. Apakah bernama rejeki jika ia mencelakai? Orang meyakini, materi adalah rejeki, bukan kesadaran kemanusiaan di dalam mengolah dan menebarkan manfaat bagi kehidupan.

Dari dalam kesendirian itu, Nabi Muhammad menghampiri ramai. Tetapi ia senantiasa tekun (istikomah) ke dalam sunyi. Sunyi dan ramai sejatinya karib dalam kehidupan. Namun banyak yang terjebak dalam ramai, hingga tak menyadari bahwa ada yang tersembunyi di balik yang tampak, terang, dan selalu sibuk itu. Namun banyak yang terjebak dalam sunyi, sehingga mempersetankan nasib orang lain, menjadi angkuh, dan tertutup. Sunyi dan ramai—mungkin bagi Nabi Muhammad, adalah suatu keadaan di mana manusia yang beriman mengenali dirinya lantaran ketaksanggupan dan ketakjuban mengenali Tuhan yang tak pernah selesai dikenali. Mengenali diri, meniscayakan mengenali kemanusiaan. Karena diri yang dikenali adalah manusia, bukan yang lain. Tetapi manusia adalah makhluk ramai, makhluk nyata yang merasakan eksistensi lantaran ada manusia lainnya. Ketika ia terjebak dalam ramai, ia merasakan lezatnya tepuk tangan dan pujian. Mungkin juga hinaan dan kutukan. Di situlah manusia terpenjara. Dipasung status, posisi, mungkin juga mujur dan celaka. Barangkali kenyataan tersebut yang membuat Nabi yang gemar bercanda itu—satu kala, berkata pada kawan-kawannya terkasih: “dan beruntunglah mereka yang kembali ke dalam kesunyian dan keterasingan,” katanya.
***

Tembokrejo, 2021

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *