“Jadi kaulah yang bernama Arok,” kata Dedes suaranya agak gemetar.
“Inilah sahaya, Yang Mulia.”
“Berapa umurmu?”
“Duapuluh. Yang Mulia Paramesywari.”
“Pernah kau belajar pada Yang Suci Dang Hyang.”
“Sampai tamat, Yang Mulia Paramesywari.”
“Semuda itu sudah tamat? Ampuni aku, berapa banyak syair dalam karya Mpu Panuluh Hariwangsa?”
“Enam belas ribu bait, Yang Mulia.”
“Bisakah kau mengucapkan barang sepuluh bait?”
Arok membacakan bagian awal dalam Sansekerta.
“Sansekerta!” Paramesywari mendesis, “Jagad dewa.” Matanya membeliak dan ditebarkan membikin lingkaran, berdiri pada alam semesta. Berbisik pada Tunggung Ametung: “Dalam Sansekerta seindah itu. Bukan manusia, dewa itu sendiri.” Ia berdiri, tak tahu apa harus diperbuatnya, matanya sebak. Berbisik lagi pada suaminya. “Tidak patut dia duduk di tanah begitu rupa.”
“Arok,” Akuwu memulai, “ketahuilah, Yang Mulia Paramesywari Tumapel telah berkenan untuk mengenal dirimu.”
Arok mengangkat sembah terima kasih. (Toer, “Arok Dedes”, 1999)
***
Fragmen jumpa pertama Dedes dan Arok tersebut merupakan nukilan dari roman pengarang legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, berjudul “Arok Dedes” (diterbitkan pertama kali oleh Hasta Mitra tahun 1999; diterbitkan De Geus Breda dalam bahasa Belanda tahun 2001, dan Horizon Books Singapura dalam bahasa Inggris tahun 2007). Pram, sapaan karib Pramoedya memiliki pandangan demikian positif pada sosok Ken Arok, sehingga tokoh ini tidak hanya terkenal sebagai brandal, tetapi begitu insaf dan menjadi murid utama Dah Hyang Lohgawe, ia memiliki kefasihan dalam penguasaan bidang bahasa, sastra dan agama yang mumpuni. Bahkan Ken Dedes yang dikenal tidak gampang memuji laki-laki, tersihir dan salah tingkah menghadapi kehandalan Ken Arok dalam olah-sastra.
Memang, kisah Arok-Dedes telah menjadi inspirasi sastrawan Indonesia untuk menuliskan karyanya dengan sudut pandang berbeda-beda. Selain Pram, di antaranya adalah Saini KM, dramawan dari Bandung. Saini menulis sebuah sandiwara dalam 14 babak dengan judul Ken Arok (diterbitkan Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1990). Arok digambarkan sebagai bromocorah, yang haus kekuasaan dan haus darah. Bila Pram menunjukkan terpesonanya Ken Dedes pada Ken Arok karena penguasaan kawisastranya, Saini KM menunjukkan bagaimana tersihirnya Ken Arok karena melihat betis Ken Dedes yang bersinar seperti senter atawa sentolop. Nyentrong!
Jangan khawatir, soal sentolop ini akan dikisahkan lebih luas dan dalam, di lain kesempatan, karena dalam kitab kuno “Pararaton”, juga dikisahkan demikian. Bahkan, dalam kitab para raja Jawa kuno tersebut dikisahkan, yang nyentrong itu bukan betis Ken Dedes, tetapi… Ah, cerita detailnya nanti saja. Biar para pembaca yang budiman, tambah mumet. Ups!
Yeah, Pram juga melihat Dedes sebagai ‘perempuan ajaib’. Adapun karya Pram yang memandang tinggi pada perempuan tidak hanya Arok Dedes. Seabrek! Dalam karya legendaris Pram, “Bumi Manusia”, yang sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia, juga terdapat penggambaran perempuan ‘ajaib’. Yup, saya kira banyak orang yang sudah kenal, yaitu Nyai Ontosoroh. Dalam sebuah tulisan jadul saya terkait dengan “Bumi Manusia”, betapa Nyai Ontosoroh terkait dengan konstruksi ruang/identitas Eropa dan pribumi (dalam “Bumi Manusia” ditulis Pribumi dengan P kapital) antara Nyai dan Tuan Mellema (Nyai Ontosoroh dan Herman Mellema).
Salah satunya, terkait dengan bahasa. Nyai Ontosoroh, sebagai pribumi, memiliki pandangan tersendiri terhadap kuasa-bahasa, karena Nyai ini digambarkan memiliki penguasaan bahasa Belanda yang bagus, sehingga ia pun punya ruang liminal antara kediriannya sebagai pribumi dan bagian dari orang Belanda, meskipun tidak sah. Bahkan, dengan tegas, Nyai Ontosoroh dapat dengan tegas menyatakannya dalam novel tersebut.
“Eropa gila sama dengan Pribumi gila,” sembur Nyai tetap dalam Belanda (Toer, “Bumi Manusia”, 2006: 65).
Demikianlah. Gituh sajah!
On Siwalanpanji, 2021
*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.