Puisi-Puisi Aprinus Salam

MONOLOG PUISI

Sebuah puisi bertengger di sebuah ayunan.

“Jika kau menulis tentang kong guan, di mana batas diriku
atau tentang teknik menambal ban, di mana pinggiran yang kau
maksud, atau kadang kau berbicara tentang celana, gudeg, humor
humor hambar yang kau tertawakan, di mana kau sembunyikan diriku.”

Menoleh ke kiri dan ke belakang. Berayun gamang.

“Sambil bercengkrama di hutan, kau bermain dengan kata-kata,
memasang angka-angka, dari barat hingga timur, dari kardoba hingga
slemania, filsafat kau kunyah seperti kerupuk. Lidahmu tak pernah
kelu, selalu saja ada yang salah.”

“Entahlah. Kalian hanya merasa, bersanding di jalan yang terhubung
entah ke mana, berpikir ada jembatan terbuka di depan.”

“Aku lahir dari rahim yang penuh, seperti mutiara yang tak sudah,
membakar kedunguan, ke ujung fantasi yang belum terbahasakan.
Aku moksa bersama kata-katamu. Kini, aku sendirian di benak kepalamu.”

Ayunan terhenti. Sunyi menyergap.

KRONOLOGI CINTA KITA

Dari awan turun ke jalan, demikianlah moyang bersabda, hari-hari
tergugah dengan perasaan-perasaan yang tak diakui. Yang kubutuhkan hanya tatapan matamu.

Aku pun bernyanyi sambil mandi, sembari membayangkan apakah kamu juga bersenandung buatku, dengan suara riang, bergelombang hingga ufuk.

Tidurku tak nyenyak, kerinduan itu terguling lepas. “Sedang ngapain engkau di sana?” Dalam mimpi, aku melihat sebuah cincin, bercahaya, menyilau.

Gejolak itu terus bergulir, bayang-bayang yang selalu mengikuti, dan pertanyaan yang tidak pernah terjawab. “Apakah engkau bersetia?” Jarak itu pun tertutup. Keraguan telah tuntas terbuka.

Tapi baiklah, ada juga saat-saat kita bersenda-gurau, dari mana datangnya air mata, hati cemburu, cinta monyet, sambil menikmati desahan berburu. “Aku suka kenakalanmu.”

Entah jendela mana yang engkau buka, tapi sepoy angin menerpa tubuh hingga gairah itu terus membesar. Wajah kita membuncah, genangan rayuan yang tertimbun lemak membuat kita tidak lincah.

Kini, anak kita telah besar. Warna rumah pelan-pelan mengelupas. Sosok pudarnya telah menjadi saksi, ada yang selalu bersama di antara kepasrahan. Detik terus menggelinding.

MORFOLOGI KETIDAKADILAN

Di sudut kepalamu, kau sembunyikan timbangan dan jam tangan. Sudah berkarat katamu sambil mencuil potongan-potongan keju. Kopimu ikut terdiam di meja. Matahari dan pohon-pohon tak berdaya dengan akal-akalanmu itu.

“Tuhan kita berbeda. Kita tidak boleh saling membenci. Ini soal hak,” ujarmu sambil membuang ingus.

Kemudian, dengan mulut berbusa, kita berbicara tentang demokrasi, rokok, hukum, dan singkong, sambil kakimu bergoyang-goyang mengikuti irama dangdut yang terdengar dari kejauhan. Katamu kau tidak suka jazz. Sayang, seleraku terlalu buruk untuk memahami pernyataanmu.

“Aku suka beli barang-barang unik”, katamu lagi. Maka kau beli kurikulum, sepatu, cangkir, dan sejumlah lukisan. Juga rencana-rencana. Barang-barang itu bertumpuk rantak di gudang. Berharap debu dan kegelapan membantu melupakan.

Ketika kau membeli bensin, kau protes karena menurutmu terlalu mahal, sambil kau bercerita bahwa kau baru saja membeli BMW berwarna oranye. “Aku memang kolektor mobil”, katamu sambil mengeluh harga sembako terus membubung.

Di sebelah rumahmu, seorang anak sibuk mengumpulkan barang-barang bekas. Dia menemukan timbangan yang kau sembunyikan. Angka-angkanya tidak terbaca, tertutup lumut dan berbau.

Sambil berjalan goyah, si anak berpikir, apakah timbangan itu akan dikilo, atau ia kembalikan. Pelan-pelan, ia melangkah ke rumahmu.

MORFOLOGI ANAK KESAYANGAN

Dimulai dari Tuhan, yang melepas ikhlas, terbang mengarungi
sudut-sudut hati yang entah di mana batasnya. Dari kejauhan, kulihat bangunan yang tak lagi utuh, di rumah itulah aku berlabuh

Sambil membersihkan puing-puing, kutata rasa yang berlapis, dari air dan tanah, bercampur haru yang terus merindu. Foto-fotomu aku pasang di dinding

Di situlah aku menatapmu , memeluk engkau tumbuh, membesar seperti tubuhku, serta sayup-sayup wajah yang telah aku kenal ribuan tahun

Di kala sunyi, di kala matahari dan bulan merangkul, dan hari-hari yang berjalan tanpa nama, kunyanyikan lagu-lagu, berharap menjadi mantra pengasih yang meyelimuti cantikmu

Selalu saja aku ingin menambahkan, dengan pelukan-pelukan cemas, sambil mencium punggungmu yang semakin kokoh, sambil terbayang dalam ingatan, bagaimana kau mengeja kata-kata, hingga celotehmu berarak rapi, tersusun bersama angan-angan

“Mainanmu masih aku simpan.”

Kini, aku tak kuat lagi menggendongmu, kapanpun engkau siap menari, bersama awan. Bawalah diriku bersamamu.

***

Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010).

Leave a Reply

Bahasa »