Ribel

N. Syamsuddin CH. Haesy
jurnalnasional.com

LANTARAN menyebarluaskan pemikiran dan menggerakkan perubahan yang dianggap tidak biasa oleh kebanyakan kalangan, Mustafa Kemal yang dikenal sebagai Kemal Attaturk, dianggap ribel. Seorang ribellion. Pemberontak. Bahkan, founding father bangsa Turki yang memimpin revolusi kemerdekaan Turki (1919-1922) itu disandangkan julukan ribel kepadanya lantaran dianggap penjahat oleh para musuh-musuhnya. Terutama para penjajah.

Tragisnya, Kemal bahkan harus menerima hukuman mati di Konstantinopel. Tapi, dasar seorang ribellion, pemberontak yang mengusung nilai-nilai kebajikan dan kebenaran, Kemal cuek saja. Keberaniannya berhasil mengikis jejak penguasa Yunani dari Anatolia, dan membebaskan Tanah Air Turki dari kungkungan penghinaan dan penjajahan. Sultan yang sudah menjatuhkan vonis hukuman mati, memujanya dengan retorika parabolik dan hiperbolik, dan menyebutnya pahlawan nasional Turki. Dan para pengutuknya, balik menghamburkannya dengan gumpalan sanjung puji. Bahkan, terkesan berlebihan.

Ribel adalah pemberontakan kreatif yang berorientasi kepada perubahan dari satu kondisi kepada kondisi lebih baik lagi. Ribel adalah paduan pikiran, jiwa, semangat, rasa, cita-cita, dan aksi melakukan perubahan keadaan, yang harus melahirkan keberanian menjadi benar dan bagian tak terpisahkan dari kebenaran.

Semua insan pilihan Tuhan, oleh masyarakatnya, bahkan dituduh sebagai ribellion. Pemberontak, penjahat, dan bahkan dianggap tidak waras. Demikianlah memang risiko seorang ribellion, yang memelopori dan meneladani perubahan. Karenanya, tak usah heran, bila kepada para ribellion selalu dilontarkan aneka fitnah, cacian, dan bahkan penistaan. Termasuk pemenjaraan fisikal maupun psikologis.

Sejarah perjalanan bangsa ini juga menunjukkan betapa para pahlawan bangsa, perintis kemerdekaan, dan para founding fathers dianggap berperilaku ribel, dan dijuluki ribellion oleh penjajah dan para anteknya. Mohammad Hatta bilang, para pemimpin yang benar dan pembaru dipandang sebagai jahat dan penjahat, berontak dan pemberontak, selama apa yang diperjuangkannya masih dicermati secara subyektif.

Karena itu, nasihat Hatta, para pemimpin yang semacam ini tak perlu berkecil hati. Sepanjang selalu konsisten dan konsekuen berpijak kepada kebenaran dan berpihak kepada rakyat, jalan saja terus. Karena, medan pengabdian tersebar di mana-mana, di seluruh penjuru Tanah Air, di berbagai fungsi.

“Kita tahu, nasib dan derajat seorang pemimpin bergantung kepada waktu dan tempat. Waktu dan tempat itulah yang menentukan apakah ia penjahat atau pahlawan, pembela dan penganjur kemanusiaan,” ujar Hatta (1933). Karena, segala penistaan sesungguhnya merupakan ekspresi dan refleksi dari kepandiran mereka yang mencerca.

Kaum ribellion melakukan aksi ribel, dan terbukti mampu membawa kemaslahatan. Mereka menjadi sedemikian penting dan bermakna, ketika arus pemikiran hanya menuju ke satu arah. Ketika seluruh pemikiran kreatif yang melompat jauh lebih cepat dengan apa yang dipikirkan kebanyakan orang dipandang sebagai sesuatu yang keliru.

Ribel dan ribellion tak akan pernah henti. Tak akan pernah tertambat di suatu masa dan di suatu tempat tertentu, karena ribel dan ribellion selalu mempunyai ruang dan waktunya sendiri untuk berkiprah. Menunjukkan jalan terang pembaruan dan perubahan untuk kebajikan. Karenanya, para ribellion tak pernah mati dan terkuburkan oleh zaman.

Eksistensi para ribellion melintasi dimensi ruang dan waktu. Tersimpan abadi di dalam catatan peradaban manusia. Karena, para ribellion bukanlah mereka yang berpikir liar dan tak dapat dipertanggung jawabkan.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *