Otak dan Kemungkinan-kemungkinan Mengerikan

Sasti Gotama *

“Ponsel kekasihnya tak bisa ia hubungi. Lalu, sel kelabunya giat membangun ribuan kemungkinan. Mungkin kekasihnya sedang sibuk, mungkin kekasihnya terjungkal dan ponselnya jatuh ke dalam selokan, mungkin kekasihnya sakit kanker pankreas stadium terminal, mungkin kekasihnya diserang seorang pembunuh bayaran yang telah menjadikannya potongan-potongan dan memasukkannya ke dalam empang, tentu saja beserta ponselnya.”

Itu kutipan yang saya ambil dari cerpen saya sendiri: Kelelawar, Gagak, dan Firasat-firasat. Sebagian orang menyebut kesibukan otak itu sebagai “terlalu banyak pikiran”, atau “pikiran yang kejauhan” atau paranoid yang berlebihan. Bagi saya, itu persiapan untuk kemungkinan-kemungkinan terburuk, dan sayangnya, saya sering melakukannya, terutama jika terkait orang-orang tersayang, dikarenakan sakit atau ketiadaan kabar.

Jika sudah tenggelam dalam pikiran yang membelah diri tanpa terkendali laiknya reaksi fisi plutonium yang membentuk jamur raksasa di langit Hiroshima, kadang itu membuat saya menderita. Saya tidak bisa memikirkan hal lainnya, hanya terfokus pada ketakutan-ketakutan yang beranak pinak dengan membabi buta, walaupun kenyataannya, ketakutan-ketakutan itu banyak yang tak menjadi nyata, tetapi perasaan menderita itu nyata senyata-nyatanya.

Namun, sebuah kisah yang saya baca sebulan lalu sedikit membuka pikiran saya. Suatu ketika, dikabarkan kepada Agrippinus bahwa persidangan mengenai dirinya sedang berlangsung di Roma. Kemungkinan terburuk, ia bisa diasingkan atau dihukum mati. Saat mendengar kabar itu, ia melirik jam dan berkata, “Sekarang waktunya olahraga, lalu mandi air dingin.” Dan ia pun menikmati waktu-waktu olahraganya itu, dilanjut makan malam di Aricia tanpa memikirkan keputusan pengadilan.

Ia berkata, “Aku pasti mati. Jika sekarang harus mati, aku siap. Jika sekarang aku makan, karena ini adalah jam makan malam; setelahnya aku akan mati, seperti seseorang yang menyerahkan hak orang lain.” Ia tak membiarkan ketakutan beranak-pinak membabi-buta di benaknya. Ia hanya menikmati sisa waktu yang memang tersisa dengan sebaik-baiknya. Masalah mati atau diasingkan, akan ia pikirkan jika waktu itu benar-benar tiba. Paling tidak, di sisa waktu yang ada, ia tak membiarkan pikirannya menderita.

Lalu saya sadari, bahwa yang membuat diri kita menderita adalah otak kita. Otak kita begitu cekatan membuat berbagai alternatif kemungkinan mengerikan yang membuat kita menderita sebelum penderitaan itu benar-benar datang. Sedangkan Agrippinus, ia akan menikmati penderitaan hanya ketika penderitaan itu benar-benar datang. Sebelum itu tiba, ia bebas menikmati makan malam.

Tidak mudah memang mendamaikan otak. Tetapi kedamaian bukanlah apel Newton yang serta merta jatuh ke tanah karena gaya gravitasi. Saya yang harus memetiknya dengan tangan saya sendiri. Untuk itu saya harus bangkit dari duduk, menegakkan punggung, mengulurkan tangan, dan memetik kedamaian. Tidak mudah, tetapi akan diusahakan. Karena hidup bukanlah semata-mata tentang esok hari, tetapi bagaimana menikmati hari ini, saat ini, detik ini.

12 Maret 2021

*) Sasti Gotama, kelahiran Malang yang tinggal di Cilacap. Beberapa cerpennya dimuat di media Kompas, Tempo, Minggu Pagi, Fajar Makassar, Detik, Ideide, dll. Karya terjemahannya; “Bagaimana Berdebat dengan Kucing”, “Narsisme”, dan “Etika Ambiguitas” (Circa). Buku antologi bersama; “Mimpi-mimpi Erina” (Cerpen dan Puisi Nomine Anugerah Sastra Ideide.id 2020), “Pandemi” (ProsaDiRumahAja, Indonesia Kaya, 2020), “Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya” (2020), “Gagak, Kelelawar, dan Firasat-firasat” (2020). Buku antologi tunggalnya; “Penafsir Mimpi” (2019). “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?” (2020) menjadi salah satu buku Karya Sastra Rekomendasi Tempo 2020.

Leave a Reply

Bahasa »