DAYA JELAJAH MAUT

Dua Sosok Legenda: Penjual Kerupuk Upil dan Doktor Linguistik

Mashuri *

1/
Dulu, sewaktu saya kecil dan masih hobi ngaji di langgar desa, kiai sepuh sering bercerita Nabi-Nabi. Tibalah episode Nabi Sulaiman. Namun, yang dipilih oleh kiai bukan cerita tentang Nabi Sulaiman sendiri, tetapi tabiat salah satu umatnya.

Sahdan, ada seorang umat Nabi Sulaiman yang takut mati. Suatu ketika, dari Nabi Sulaiman, si umat tahu bahwa malaikat Izroil menguntitnya. Ia pun ingin kabur dari kepastian takdir. Ia lalu minta pada Nabi Sulaiman untuk menerbangkannya dengan kekuatan angin ke sudut dunia, agar Izroil tak dapat menemukannya.

Begitu si umat itu dapat diterbangkan oleh salah satu mujizat Nabi Sulaiman, yakni memerintahkan angin berhembus, si umat pun mendarat dengan selamat di sudut dunia asing. Namun, belum sampai, kakinya melangkah untuk menikmati suasana baru dalam hidupnya, ia melihat ada sosok yang juga sedang kongkow di sana.

“Siapa, Kisanak?” tanya umat Sulaiman, yang hingga detik ini, saya belum terkonfirmasi nama lengkapnya.
“Aku Izroil!” kata sosok itu.

Stop! Terus terang, saya tidak dapat membayangkan mimik wajah si umat itu.

Kali lain, kiai sepuh itu berkisah sesuatu yang berbeda yang berbalik 180 derajat dengan kisah tersebut. Tentu saja, kisah ini adalah guyonan khas kampung. Hal ini terkait dengan salah satu manfaat bersilaturrahmi itu dapat memanjangkan usia.

Sahdan, tersebutlah seorang umat akhir zaman bernama Parno. Ia sangat hobi mendatangi sanak saudara dan handai taulan untuk menjalin silaturrahmi. Ia pun dikaruniai usia yang panjang. Suatu hari, ia ditanya soal resep umur panjangnya oleh seorang anak muda.

“Mudah saja, Anak Muda!” seru Mbah Parno. “Saya sering mengunjungi rumah handai taulan dan kawan-kawan untuk menyambung silaturrahmi. Setiap kali Izroil mendatangi rumah saya, kebetulan saya sedang berada di rumah orang. Jadi salipan,” serunya, dengan tertawa.

Ah, dua sisi berbeda dari Izroil itu mengisi alam imajinasi masa kecil saya. Ia sebagai lambang tragis, sekaligus humoris.

2/
Sebagaimana status yang sudah-sudah, entah kenapa berita belasungkawa seperti tukang pos yang mengirimkan warkat dari alam sana kepada kita. Dua hari yang lalu, Rabu, viral di beranda FB saya tentang kepergian seorang legenda bagi yang pernah cangkruk di Kampus B Unair, yaitu Darman, penjual krupuk dan rokok eceran dengan cara dipikul, ke alam kelanggengan.

Saya mengenal ‘pahlawan’ bagi mahasiswa Unair Kampus B angkatan 90-an dan 2000-an itu sekitar tahun 1994–1995-an. Ia mengaku pada saya asli Nganjuk. Tinggal di kawasan Surabaya Timur. Ia menikah dua kali, karena pernikahan pertamanya gagal. Soal ini saya tidak mau mengoreknya lebih dalam karena saya khawatir menyinggung sentimentalismenya.

Pada saat Reformasi 1998, ia termasuk salah satu ‘pahlawan’ karena pada saat apel besar Reformasi menjelang 21 Mei 1998, di depan Perpustakaan Kampus, dia membagi-bagikan kerupuknya pada civitas akademik yang sedang demo besar-besaran. Saat itu, saya terkenang sebuah sajak Taufik Ismail, “Seorang Tukang Rambutan Kepada Isterinya” yang ditera tahun 1966.

SEORANG TUKANG RAMBUTAN PADA ISTRINYA

“Tadi siang ada yang mati,
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan datam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka

Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil
“Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutani”
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saya
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju karni, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.

1966

Entah kenapa sajak itu demikian sentimental saat itu. Mungkin terkait Darman dan dagangan asongannya berupa kerupuk upil. Mungkin karena ada nada yang hampir sama. Bedanya, dalam sajak Taufik Ismail itu yang dibagikan kepada angkatan 66 adalah rambutan, yang dibagikan Darman adalah kerupuk upil.

Saya bersua dengan Darman yang terakhir pada 2019, sebelum Covid, ketika bersama Ribut Wijoto dan Dimas Nurgraha didapuk menjadi juri lomba musikalisasi puisi di FIB. Saya tidak tahu bagaimana daya rekam otaknya, tetapi saya mencatat ia masih mengenali saya.

“Gak beli rokok Samsu?” sapa Darman, dengan agak cedal.

Ternyata, dia masih mengingat saya dan merk rokok kesukaan saya, meskipun saya lulusan jadul dan jarang bersua dengannya. Yup, meski jarang bersua dan garis edar kami berbeda, tentu kepulangannya tetap menyisakan sesak di dada. Entah kenapa saya teringat sajak Chairil Anwar, berjudul “Nisan” ditera 1942.

NISAN

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.

Oktober 1942

Belum usai rasa belasungkawa kepergian Darman menyesak dada, di WAG dan beranda FB kembali muncul berita kepergian seseorang yang saya kenal baik: Dr Sugiyono. Dua minggu lalu, di sebuah WAG beredar kondisi mutakhir pak Gik, demikianlah saya dan kawan-kawan biasa menyapanya. Beliau yang doktor linguistik dan pakar fonetik akustik yang langka di Indonesia itu memang terserang stroke dalam beberata tahun belakangan. Dua minggu lalu, penyakitnya semakin parah, ginjalnya hanya 20% yang berfungsi.

Ketika beliau masih menjabat sebagai kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan, Badan Bahasa, saya sudah mengenalnya secara personal meskipun tidak akrab. Namun, kami berteman sangat akrab di Facebook. Kami sering berbalas komentar dalam kapasitas bukan sebagai bapak buah dan anak buah, tetapi sebagai sesama laki-laki. Beliau menyukai tokoh dalam status FB saya: Dul Koplo.

Saya bertemu beliau terakhir kali beberapa bulan menjelang akhir tahun 2019 lalu, di parkiran kantor Badan Bahasa di Rawamangun, Jakarta. Saya ke sana ketika saya dilantik menjadi peneliti dan beliau menjadi staf lagi karena sudah tidak lagi menduduki jabatan sebagai kepala pusat. Waktu itu, beliau sudah sakit. Berjalan pun butuh bantuan orang lain.

Adapun, beliau ke Rawamangun untuk terapi pengobatan pada penyakitnya. Alhamdulillah, dalam kesempatan sekejap itu, saya sempat menyalaminya. Yang membekas di ingatan saya adalah ketika beliau tersenyum begitu melihat saya, yang sering jahil, usil, dan bercandaria di Facebook. Dari sorot matanya, beliau seakan-akan mau berkata, “akhirnya, Dul Koplo menjadi peneliti juga”.

Kemarin, ketika saya mendengar Pak Gik yang selama ini menggeluti dunia bahasa dan memiliki kepedulian pada persoalan kebahasaan, berpulang ke alam keabadian, entah kenapa saya teringat sajak “Mawar Hitam” karya Iwan Simatupang, yang ditera pada 1967.

MAWAR HITAM

Kalau kita berjumpa lagi, Contance
Jangan coba meyakinkan aku kembali
bahwa puisi bagiku adalah juga
tubuh telanjangmu berwarna gading itu

Telah kuputuskan untuk membongkar kembali
hutan-hutan kembang kertas yang kita awasi bersama
Karena suatu kutuk warna merah jambu
Telah hinggap di jantungku, membuatnya segitiga.

Bayang-bayang kuning yang selama ini suka datang
menyembul dari lorong-lorong ingatan 1/4 jadi
Telah datang menjulurkan tangan-tangan berjari tiga
Ingin meremas mawar hitam yang kusuntingkan di rambutmu.

Kita tidak akan berjumpa lagi, Constance
Hutan-hutan itu telah menjadi danau air asin
Tengkorak-tengkorak dari kenangan tak lengkap
Menarikan suatu pesan, mantap bagai gada

Sebaiknya kau tetap di pantai sana, Constance
Aku di sini.

mungkin puisi yang kita sama-sama cari itu
adalah justru kengangaan ini.
Bertarung, bercakar, siap menelan kita.

RS Cikini, 25 Juni 1967

Demikianlah. Semoga Darman dan Pak Gik mendapat tempat yang layak di sisi-Nya.

3/
Daya jelajah maut memang luar biasa.

MA, On Siwalanpanji, 2021


*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.

Leave a Reply

Bahasa »