Djoko Saryono
Tidak ada seorang pun yang meragukan keberadaan dan kedudukan Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang demikian jelas, tegas, dan terang dalam sistem pendidikan nasional Indonesia khususnya kurikulum pendidikan nasional di Indonesia sejak pendidikan anak usia dini sampai dengan pendidikan tinggi. Selama ada dan berdiri negara-bangsa Indonesia, Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia niscaya mustahil hilang atau ditiadakan dari kurikulum pendidikan Indonesia mengingat keberadaan, kedudukan, dan perannya yang fundamental, strategis, dan vital – baik secara legal-yuridis, (sosio)politis, sosiokultural, dan religiokultural maupun secara edukatif dan pedagogis-andragogis.
Sudah terbukti, semenjak sesudah kemerdekaan Indonesia sampai sekarang tidak pernah ada keraguan, perdebatan atau apalagi usulan menghapus atau meniadakan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dalam pendidikan dan pembelajaran PAUD sampai dengan pendidikan menengah di Indonesia. Tidak mengherankan, sampai sekarang praksis pembelajaran (instruction), pengajaran (teaching), dan atau pemelajaran (learning) bahasa dan sastra Indonesia terus berlangsung secara berkelanjutan. Oleh karena itu, menggunakan analogi pepatah Melayu, dapat dikatakan, “tak’kan hilang Mata Pelajaran Bahasa Indonesia (termasuk sastra Indonesia)ndari kurikulum pendidikan Indonesia”.
Harus diakui dengan jujur, sejak dulu sampai sekarang dapat dikatakan bahwa Mata Pelajaran Bahasa (dan Sastra) Indonesia sudah beroleh tempat dan ruang terhormat dan leluasa dalam struktur kurikulum pendidikan PAUD, dasar, dan menengah di Indonesia. Hal tersebut setidak-tidaknya terbukti dari tiga hal.
Pertama, sejak diberlakukan Kurikulum 68, Kurikulum 75, Kurikulum 84, Kurikulum 1994 (1997), Kurikulum Berbasis Kompetensi 2001/2002(KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sampai dengan Kurikulum 2013, Mata Pelajaran Bahasa Indonesia diberi status sebagai mata pelajaran wajib yang harus diajarkan di semua lembaga pendidikan yang ada pada satu pihak dan pada pihak lain diberi porsi jam belajar terbanyak dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya. Bahkan dalam struktur Kurikulum 2013 jenjang SD/MI, Mata Pelajaran Bahasa Indonesia beroleh kedudukan dan peran sangat penting sehingga memperoleh jumlah jam belajar sangat banyak dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Dengan kata lain, struktur kurikulum pendidikan PAUD, dasar, dan menengah di Indonesia sudah menempatkan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia demikian fundamental, strategis, dan vital.
Seturut dengan itu, kedua, sumber daya baik sumber daya manusia maupun sumber daya non-manusia sedemikian besar sudah dikerahkan untuk mendukung pelaksanaan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Pendidik khususnya guru-guru bahasa dan sastra Indonesia terus-menerus “dicetak”, dibina, dan dikembangkan sedemikian rupa melalui berbagai siasat, cara, dan media. Di samping itu, sumber belajar, media, dan alat-alat peraga bahasa dan sastra Indonesia diupayakan dan disediakan sedemikian rupa oleh berbagai pihak baik pemerintah maupun non-pemerintah.
Selanjutnya, ketiga, dukungan sarana-prasarana (infrastruktur fisikal, edukatif, dan sosial-budaya) untuk praksis pembelajaran, pengajaran, dan pemelajaran bahasa dan sastra Indonesia sudah diusahakan dan disediakan sedemikian rupa oleh pihak pemerintah dan non-pemerintah. Sebagai contoh, buku-buku, media-media, dan peraga-peraga pendidikan bahasa dan sastra Indonesia (prasarana fisikal); pelbagai metodologi (atau strategi) pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, kegiatan pendukung kemampuan berbahasa Indonesia seperti festival dan lomba terkait kemampuan berbahasa Indonesia (prasarana edukatif); dan penciptaan budaya berbahasa terutama membaca dan menulis bahasa Indonesia (prasarana sosial-budaya).
Sekalipun demikian, sejak dulu sampai sekarang, pelbagai ketidakpuasan, keluhan, bahkan kecaman senantiasa bermunculan dan berlayangan sepanjang praksis pembelajaran, pengajaran, dan pemelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Suara-suara kemasgulan, kerisauan, dan kritik, bahkan cemooh dan kutuk terhadap Mata Pelajaran Bahasa (dan Sastra) Indonesia terus-menerus dihembuskan oleh pelbagai pihak. Misalnya, sudah terbilang lama Taufik Ismail menyuarakan keprihatinan rendahnya budaya baca-tulis siswa-siswa Indonesia sebagai akibat kegagalan pembelajaran, pengajaran, dan pemelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Pihak lain menyatakan rendahnya minat baca dan kebiasaan menulis siswa Indonesia.
Demikian juga jika disimak secara lebih luas dan seksama melalui media massa cetak, media elektronis, dan media sosial akan ditemukan pelbagai suara yang menyatakan karut-marut, silang sengkarut, dan malah kegagalan pembelajaran, pengajaran, dan pemelajaran bahasa dan sastra Indonesia di jenjang PAUD, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah di Indonesia. Pendek kata, secara terus-menerus pelbagai pihak “meratapi nasib nahas atau nelangsa” Mata Pelajaran Bahasa Indonesia sehingga seolah-olah selalu terdengar “senandung ratapan nasib nahas” Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di dunia pendidikan dasar dan menengah Indonesia.
“Senandung ratapan nasib nahas atau nelangsa” Mata Pelajaran Bahasa Indonesia tersebut pada dasarnya menggambarkan kesenjangan horison harapan dan cita-cita parapihak (stakeholders) terhadap Mata Pelajaran Bahasa Indonesia (baca: termasuk sastra Indonesia) dengan hasil, capaian, dan dampak pembelajaran, pengajaran, dan pemelajaran bahasa dan sastra Indonesia selama ini. Kesenjangan itu terjadi karena boleh jadi horison harapan dan cita-cita parapihak terlampau tinggi atau muluk terhadap Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, tetapi mungkin juga hasil, capaian, dan dampak pembelajaran, pengajaran, dan pemelajaran bahasa dan sastra Indonesia memang terlalu rendah.
Berdasarkan data nilai Ujian Nasional (atau nama-nama setara), bukankah nilai rata-rata Ujian Nasional Mata Pelajaran Bahasa Indonesia selalu rendah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah – yang diyakini berbagai pihak menggambarkan rendahnya mutu berbahasa dan berastra Indonesia? Indeks Alibaca menyodorkan potret yang tak membahagiakan. Bukankah kemampuan membaca siswa-siswa Indonesia sebagaimana diukur dalam PISA juga sangat rendah? Bukankah siswa-siswa Indonesia tidak memiliki kebiasaan membaca dan menulis yang baik sehingga bacaan mereka tidak berkembang dan tulisan mereka rata-rata buruk? Bukankah kemampuan beretorika siswa-siswa Indonesia juga kurang menggembirakan?
Data atau informasi lain mengenai mutu kemampuan berbahasa Indonesia siswa Indonesia masih dapat ditambahkan lagi oleh berbagai pihak guna mendukung sinyalemen kegagalan pembelajaran, pengajaran, dan pemelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang melahirkan nasib nelangsa Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Tak pelak, kemudian parapihak menyatakan bahwa telah terjadi kegagalan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia pada jenjang PAUD, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah di Indonesia meskipun mereka juga selalu berharap pelaksanaan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia bisa lebih baik.
Bilamana sinyalemen tersebut mengandung kebenaran, sekalipun tidak seratus persen atau delapan puluh persen, pertanyaannya kemudian: mengapa demikian? Mengapa pelaksanaan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia tidak mampu memenuhi horison harapan dan cita-cita parapihak bahasa dan sastra Indonesia? Mengapa praksis pembelajaran, pengajaran, dan pemelajaran bahasa dan sastra Indonesia kurang atau tidak berhasil memampukan siswa-siswa berbahasa dan bersastra Indonesia yang baik, tidak sekadar mendapat nilai rapor dan nilai Ujian Nasional (meski sekarang sudah dihentikan) yang baik?
Selain bersangkutan dengan berbagai hal lain, pertanyaan tersebut tentu beririsan atau bersangkutan juga dengan Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Indonesia karena kurikulum-lah kendaraan utama untuk mengantarkan pembelajaran, pengajaran, dan pemelajaran bahasa dan sastra Indonesia mencapai tujuannya. Dengan kata lain, secara mikro setidak-tidaknya kerisauan dan ketidakpuasan terhadap Mata Pelajaran Bahasa dapat disangkutkan dengan kurikulum. Oleh karena itu, pertanyaannya lebih lebih lanjut: mengapa kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Indonesia kurang atau tidak mampu memenuhi horison harapan dan cita-cita parapihak terhadap Mata Pelajaran Bahasa Indonesia? Mengapa kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Indonesia malah menjadi salah satu “batu sandung” Mata Pelajaran Bahasa (termasuk sastra) Indonesia yang mengakibatkan praksis pembelajaran, pengajaran, dan pemelajaran bahasa dan sastra Indonesia tidak dapat berlangsung secara optimal? Hal tersebut membawa kita pada persoalan kebijakan kurikulum dan desain kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Indonesia khususnya kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Indonesia.
2 Replies to “PEMBELAJARAN SASTRA: TEMPAT ISTIMEWA NASIB NELANGSA (9)”