PEMBELAJARAN SASTRA: MASALAH LATEN-KLASIK (8)

Djoko Saryono

Sudah kita ketahui bersama bahwa sampai sekarang ketidakpuasan terhadap pengajaran [teaching], pembelajaran [instruction], dan pemelajaran [learning] bahasa pada umumnya masih sangat besar. Berbagai pemangku kepentingan bahasa Indonesia menganggap bahwa pengajaran dan pemelajaran bahasa Indonesia tidak memuaskan karena tidak berhasil membuat peserta didik menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar atau membuat peserta didik mahir berbahasa Indonesia untuk berbagai keperluan hidup. Bahkan pengajaran dan pemelajaran bahasa daerah dan bahasa asing dianggap lebih tidak memuaskan karena tidak berhasil memampukan peserta didik berbahasa daerah atau berbahasa asing dengan baik dan benar.

Di samping bukti-bukti kualitatif yang bersifat impresif, biasanya ditunjukkan bukti-bukti prestasi belajar bahasa peserta didik yang rendah terutama nilai rapor dan nilai Ujian Nasional (meskipun sekarang sudah dihentikan). Kendatipun sumir, secara lantang Taufik Ismail malah menunjukkan ketidakpuasan terhadap hasil pengajaran dan pemelajaran bahasa Indonesia dengan memaparkan berbagai fakta ketidakmampuan menulis dan membaca peserta didik.

Dibandingkan dengan ketidakpuasan terhadap pengajaran dan pemelajaran bahasa, ketidakpuasan terhadap pengajaran dan pemelajaran sastra Indonesia terutama sastra Indonesia juga sangat besar, bahkan lebih besar. Berbagai pemangku kepentingan sastra dan pendidikan sastra merasa tidak puas dengan proses dan hasil pengajaran dan pemelajaran sastra Indonesia karena sastra Indonesia relatif jarang diajarkan dan dibelajarkan secara sungguh-sungguh kepada peserta didik sehingga menjadi rendahlah minat baca sastra dan kemampuan apresiasi sastra peserta didik.

Menurut para pemangku kepentingan sastra dan pendidikan sastra, rendahnya minat baca dan kemampuan apresiasi sastra peserta didik juga disebabkan oleh dianaktirikan, dipinggirkan, dan atau didiskriminasikannya pengajaran dan pemelajaran sastra dalam pengajaran dan pemelajaran bahasa. Oleh karena itu, berkembang keya-kinan bahwa ketidakberhasilan pengajaran dan pemelajaran sastra akibat disatukan atau disubstitusikan dalam pengajaran dan pemelajaran bahasa di samping akibat sastra jarang dimasukkan ke dalam Ujian Nasional (sebelum dihentikan). Tidaklah mengherankan kemudian timbul berbagai tuntutan pemisahan pengajaran dan pemelajaran sastra dari pengajaran dan pemelajaran bahasa.

Di sini pemisahan pengajaran dan pemelajaran sastra diyakini sebagai panacea, obat mujarab dan manjur, perbaikan mutu pengajaran dan pemelajaran sastra di samping peningkatan minat baca dan kemampuan apresiasi sastra peserta didik. Dengan pemisahan itu juga diyakini pengajaran dan pemelajaran bahasa terutama bahasa Indonesia akan menjadi lebih baik, paling tidak akan lebih berhasil.

Itulah sebabnya, sebuah pertanyaan sederhana perlu diajukan di sini: Benarkah demikian? Benarkah pemisahan atau penceraian pengajaran dan pemelajaran sastra Indonesia dari pengajaran dan pemelajaran bahasa Indonesia serta-merta atau secara otomatis membuat keduanya menjadi lebih baik? Benarkah rendahnya minat baca dan kemampuan apresiasi sastra peserta didik disebabkan oleh dipadukan atau diintegrasikannya pengajaran dan pemelajaran sastra ke dalam pengajaran dan pemelajaran bahasa; dan demikian juga sebaliknya?

Menurut hemat saya, rendahnya minat baca dan kemampuan apresiasi sastra pada satu pihak dan pada pihak lain rendahnya penguasaan bahasa dan kemampuan berbahasa bukan disebabkan oleh pemaduan atau penyatuan pengajaran dan pemelajaran sastra dengan pengajaran dan pemelajaran bahasa. Sebab itu, pemisahan atau penceraian pengajaran dan pemelajaran bahasa dan sastra tidak diperlukan karena alasan historis, manajerial dan akademis. Pengajaran dan pemelajaran bahasa dan sastra tetap harus menjadi satu kesatuan.

Pada masa sekarang dan masa akan datang justru pengajaran dan pemelajaran bahasa harus diartikan juga sebagai pengajaran dan pemelajaran sastra; pengajaran dan pemelajaran bahasa dan sastra harus diartikan sebagai pengajaran dan pemelajaran budaya. Demikian juga belajar bahasa harus berarti belajar sastra; belajar bahasa dan sastra harus berarti belajar budaya. Di samping itu, mengajar bahasa harus berarti juga mengajar sastra; mengajar bahasa dan sastra harus berarti juga mengajar budaya. Pendek kata, harus diperkuat pertautan [linking] dan pesenyawaan [chemistry] pengajaran dan pemelajaran bahasa, sastra, dan budaya; bukan malah dipisahkan atau diceraikan di antara ketiganya.

Bersambung…

2 Replies to “PEMBELAJARAN SASTRA: MASALAH LATEN-KLASIK (8)”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *