KONKRETISASI CERITA, SEJARAH, DAN KEBENARAN

DALAM NOVEL MATA PENAKLUK KARYA ABDULLAH WONG


Anton Wahyudi *

ROMAN INGARDEN, filusuf terkemuka asal Polandia pernah berkata, “Setiap karya pada dasarnya selalu berisi ruang kosong”. Sebuah ruang yang tersedia bagi para pembacanya. Sebuah karya seolah-olah belum dianggap selesai, akan diselesaikan dan dilengkapi sendiri oleh pembacanya. Setiap karya pada dasarnya juga disebut sebagai struktur yang terbuka, bukan struktur tertutup. Dan, oleh karena disebut sebagai struktur yang terbuka itulah setiap karya yang memiliki ruang kosong di dalamnya dapat diisi, ditafsirkan, dan ditelaah sepanjang masa. Proses pengisian ruang kosong inilah yang disebut dengan istilah konkretisasi!
***

Berbicara sekilas tentang karya, utamanya sastra, khasanah kesusastraan Indonesia telah diwarnai dengan munculnya penulis-penulis novel biografi. Disebut novel biografi lantaran di dalam novel-novel tersebut berkisah tentang tokoh-tokoh terkemuka di Indonesia, mulai dari penulis biografi Soekarno dan Soeharto oleh Ramadhan KH (Kuantar ke Gerbang, 1981; Soeharto, 1988), novel biografi BJ Habibie (Habibi & Ainun, 2010), novel biografi KH Ahmad Dahlan Akmal Nasery Basral (Sang Pencerah, 2010), novel biografi Jokowi oleh Gatotkoco Suroso (Jokowi Si Tukang Kayu, 2012), novel biografi Chairul Tanjung oleh Tjahja Gunawan (Chairul Tanjung Si Anak Singkong, 2012), novel biografi KH Hasyim Asyari oleh Aguk Irawan Mn (Penakluk Badai, 2012), novel biografi Jusuf Kalla oleh Alberthiene Endah (Athirah, 2013), dan lain sebagainya.

Tentang biografi sendiri, biografi merupakan genre tulisan yang sudah kuno, yang secara kronologis dan logis menjadi bagian dari historiografi. Biografi adalah biografi, tidak membedakan ia yang ditulis seorang negarawan, jenderal, ahli hukum, maupun pengangguran.

Coleridge, salah seorang penyair, kritikus, sekaligus filusuf asal Inggris, pernah menyatakan secara tegas bahwa setiap kehidupan walaupun tak ada artinya jika diceritakan secara jujur pasti akan tetap menarik. Baginya, di mata penulis biografi, seorang penulis adalah orang biasa yang dalam perkembangan moral, intelektual, karier, dan emosinya bisa direkonstruksi dan dinilai berdasarkan standar tertentu. Oleh karena itulah, umumnya karya biografi bisa berbentuk fakta biasa, seperti fakta tentang kehidupan siapa saja. Yang menjadi permasalahan, penulis biografi umumnya akan selalu berhadapan dengan persoalan sejarah.

Si penulis dihadapkan pada interpretasi berbagai sumber yang sudah ditelaah atau ditemui; baik berupa dokumen, surat-surat, laporan saksi mata, pernyataan-pernyataan otobiografis, dan lain sebagainya. Setelah itu, penulis memutuskan bahan yang asli dan kesaksian sumber mana yang bisa dipercayai sepenuhnya. Dengan demikian, dalam historiografi, masalah penyajian kronologis, masalah proses seleksi, dan masalah untuk jujur atau menutupi sejumlah rahasia isi dipertaruhkan. Hal semacam inilah yang menjadi teror mental bagi para penulis dan pembaca (utamanya yang menaruh hati pada sosok pribadi yang ditulis).
***

Mata Penakluk adalah salah satu novel biografi yang ditulis oleh Abdullah Wong dan terbit pada awal tahun 2015. Novel ini bercerita tentang sisi tokoh pribadi bernama Abdurrahman Ad-Dakhil, sosok yang terbiasa akrab dipanggil Gus Dur. Di dalamnya, terurai dengan jelas beragam cerita tentang masa kecil Gus Dur. Mulai dari cerita Gus Dur yang mengharukan saat ditinggal ayahnya pada usia tiga belas tahun, impian menjadi Sang Penakluk, dan perjalanan panjang mencetak menjadi sosok pribadi yang tangguh. Sosok yang selalu tegar setegar batu karang serta sosok yang kokoh, meski badai kerap menerjang sekuat garuda.

Membaca dan memahami gaya penulisan atau teknik bercerita dalam novel ini, terlihat dengan jelas bahwa dalam novel ini pengarang yang bercerita. Oleh karena dalam teknik narasi penulis menggunakan sudut pandang tokoh aku sebagai tokoh Gus Dur yang bercerita. Menariknya, dalam novel ini penulis menciptakan struktur jalinan cerita yang utuh melalui teknik sketsa (cerita per bab). Hal ini bisa dilihat dari daftar isi novel, yang tersusun secara runtut, yang seketika itu juga bisa langsung menyalakan saklar imajinasi pembaca tatkala sebelum membaca keseluruhan isi novel. Cerita-cerita Gus Dur yang tersusun dalam sketsa itu diberi judul Mata Istana, Mata Saksi, Mata Ayah, Mata Garuda, hingga Mata Sepi. Terhitung ada sembilan belas potongan cerita atau sketsa di dalamnya.

Alur cerita disusun dengan teknik campuran dan dimulai dengan babak komplikasi (munculnya konflik dalam cerita). Mata Istana (tentang cerita demo penurunan Gus Dur dari jabatan kepresidenan), Mata Saksi (tentang mata yang lumpuh atau kebutaan Gus Dur, yang sarat dengan arti pentingnya kesadaran sebagai manusia: wujud syukur), Mata Ayah (tentang peristiwa kecelakaan mobil dan meninggalnya ayah), dan Mata Garuda (tentang acara pemakaman ayah di Tebuireng dan sosok ayah di mata orang-orang Indonesia), yang seketika, langsung menghipnotis dan membuka mata batin para pembaca.

Pembaca seolah-olah diseret atau diajak menyaksikan dan merasakan secara langsung setiap peristiwa-peristiwa di dalamnya. Layaknya hidangan siap saji, dari sembilan belas sketsa yang ditulis itulah Abdullah Wong piawai dalam memilih dan memilah bahan-bahan yang hendak dimasak, piawai dalam meracik bumbu-bumbu, sehingga menjadi hidangan yang sedap bagi para pembacanya.

Saya katakan proses memasak, oleh karena dalam proses kreatif penulisan novel ini Abdullah Wong berhasil menyeimbangkan antara bahan-bahan yang dijadikan sebagai cerita dan bumbu-bumbu yang seimbang sebagai penyedap isi di dalam novel. Artinya, bahan-bahan atau sumber yang dipilih dan diolah menjadi imajinasi sangat kompleks, mulai dari cerita sejarah nama Abdurrahman Ad-Dakhil, tentang menariknya kepribadian Abdurrahman Ad-Dakhil dari masa kanak-kanak hingga dewasa, dan peristiwa-peristiwa menarik lainnya. Peristiwa yang membuat pembaca menjadi lebih peka, berpikir, terenyuh, hingga meneteskan air mata. Menariknya, setiap peristiwa yang hadir dan mengalir di dalam novel ini mampu menjadi motivasional efek bagi para pembacanya.

Abdullah Wong juga piawai dalam memberikan bumbu-bumbu penyedap isi novel yang ditulisnya. Bumbu-bumbu yang secara gamblang di dalam konteks penulisan sastra biasa digunakan penulis dengan beragam pilihan bervariasi. Dalam novel Mata Penakluk ini bumbu-bumbu yang dihadirkan Abdullah Wong adalah mengenai sisipan-sisipan cerita atau dialog yang mengarah pada konteks humor dan cinta. Humor tentang copot sarung sebelum menemui pendemo di depan Istana, humor tentang pujian cantik kepada istrinya, humor tentang cerita asal-muasal air hujan dan petir, dan lain sebagainya. Di sisi lain, bumbu-bumbu cinta nan romantis juga muncul dalam jalinan cerita, mulai dari kisah tentang secarik kertas (sajak) romantis yang ditulis ayah untuk ibunya, kisah Gus Dur yang jatuh cinta pada Nurriyah, dan lain sebagainya.
***

Novel ini di samping berisi biografi juga banyak memuat pengetahuan tentang peristiwa sejarah. Mulai dari sejarah Panglima Perang Tariq Bin Ziyad (tentang Penaklukan Andalusia; sejarah Mitologi Yunani (tentang Homer yang hebat, Odysseus yang dikutuk Poseidon, dan Polifemos); sejarah tokoh-tokoh pewayangan (tentang Kumbakarno Pembela Negeri Alengka, tentang Semar, dan cerita Punakawan); sejarah tanaman tebu (tentang Van Den Boshdan politik tanam paksanya); tentang Kerajaan-kerajaan di Nusantara; tentang Heidegger sang pencipta Arloji (waktu); dan lain sebagainya.

Oleh karena yang membedakan antara sejarah dan fiksi adalah isinya, sejarah yang dihadirkan dalam novel ini lebih mementingkan isi daripada bentuk. Isi cerita sejarah yang saya maksud dalam hal ini adalah peristiwa dan tokoh-tokoh yang dibangun secara nyata, sedangkan isi cerita sastra adalah peristiwa dan tokoh-tokoh yang diciptakan. Dengan kalimat lain, isi sejarah dalam novel ini adalah cerita itu sendiri, sedangkan isi sastranya adalah sebuah hasil dari ekspresisi penulis, yakni penceritaan, plot, dan wacana yang disajikan untuk pembacanya.

Perdebatan mengenai kebenaran teks cerita sastra dan sejarah sesungguhnya sudah ada sejak zaman Aristoteles dengan pokok pembahasan sastra menceritakan peristiwa yang mungkin terjadi, sedang sejarah menceritakan peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi. Dalam artian sederhana, sejarah hanya menceritakan masa lampau, sedangkan sastra dapat menceritakan hal-hal yang akan datang, yang belum terjadi. Dengan demikian, sastra bersifat menjadi lebih filosofis, sebab sastra dihasilkan dari imajinasi penulis, melalui sebuah proses kontemplasi. Dan, lagi-lagi, pembaca akan disibukkan merangkai kata-kata; mengonkretisasi isi cerita yang sudah dibaca.
***

*) Anton Wahyudi, bermukim di Dusun Jambu RT/RW: 2/2, Desa Jabon, Jombang. Mengelola Jombang Institute, sebuah Lembaga Riset Sejarah, Sosial, dan Kebudayaan di Jombang, Jawa Timur. Di samping aktif dalam kegiatan menulis, dan sebagai editor lepas, menjadi Dosen Sastra Indonesia di Kampus STKIP PGRI, Jombang. Buku terbarunya “Guruku, Ayahku, Kakakku Kwat Prayitno” (2020).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *