Tito Sianipar
korantempo.com, 10 Des 2007
Romo Mudji meluncurkan kumpulan puisi dan album musikalisasi puisi karyanya.
Mudji Sutrisno duduk di sebuah bangku di atas panggung setinggi kurang dari satu meter. Mengenakan sandal dan pakaian serba hitam, ia membacakan puisinya berjudul Surat. Puisi tentang bencana gempa Yogyakarta itu terasa semakin dramatis dengan diiringi petikan gitar oleh Ahmad Mudjid serta nada dan tempo dari keyboard yang dimainkan Ai Soedjadi.
Sudahkan kau seberangkan wewangi semboja heharum kuncup bunga talok ke rerintihan jasad
Setelah itu, Romo Mudji membawakan puisinya yang berjudul Andai Bencana Ada Peduli dengan iringan gitar akustik dan keyboard. “Puisi ini saya buat untuk mengenang korban bencana gempa Yogya,” ujar rohaniwan berusia 53 tahun itu.
Puisi itu dibacakan Kamis malam lalu di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Perayaan sederhana itu digelar sekaligus untuk menandai diluncurkannya buku kumpulan puisi terbaru sang Romo yang berjudul Rekah Lembah produksi Hujan Kabisat dan cakram padat album musikalisasi puisinya.
Sebanyak 36 puisi dan 52 sketsa mengisi lembaran-lembaran putih buku setebal 120 halaman itu dan 12 musikalisasi puisi termaktub dalam cakram. Puisi dan sketsa itu dibuat Romo Mudji pada periode 1984 hingga 2007, yang menggambarkan perjalanan hidupnya. “Ini sekaligus menandakan perjalanan 25 tahun karya imamat saya,” kata Mudji, yang ditahbiskan sebagai imam pada 30 Desember 1982.
Berbagai tema diangkat dalam puisi-puisinya. Selain soal gempa Yogya, Romo Mudji memuisikan kisah ibunya, kisahnya selama berada di Roma (Italia), refleksi hidup, kematian, hingga tragedi rusaknya alam.
Tengok saja puisi Gerhana, yang dibuatnya untuk mengkritik seniman yang semakin kurang peka terhadap penderitaan sekitar. Atau puisi su-Nya, yang merupakan refleksi hidup Romo. “Kita lahir sendiri, mati sendiri. Supaya bermakna, hidup ini harus diberi arti,” katanya mengurai pesan dalam puisi tersebut.
Selain Romo Mudji, tampil beberapa nama beken lain membacakan puisinya malam itu, di antaranya Sita Nursanti, Syaharani, Andi Lesmana, dan Castanet. Mereka membawakan musikalisasi puisi Romo Mudji dalam berbagai cara. Sita, misalnya, membawakan puisi Sunyi dengan gaya kidung balada, sedangkan Syaharani membawakan Tragedi Bumi dengan gaya jazz diiringi keyboard oleh Sonny Hudisaksono.
Salah seorang penonton yang hadir malam itu, Sandy Harun, mengungkapkan kekagumannya terhadap karya Romo Mudji. “Bikin saya terenyuh dan mau menangis,” ujar Sandy. Penonton lain yang juga sesama seniman, Arswendo Atmowiloto, memuji konsistensi Romo Mudji yang selalu menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. “Beliau bagaikan lilin di tengah kegelapan,” ujarnya.
Pesan-pesan kemanusiaan sudah tidak asing dalam karya-karya Romo Mudji. “Musik ini sebagai jembatan agar anak-anak muda mau mencintai puisi,” ujarnya. Ia menyoroti minimnya apresiasi anak muda sekarang terhadap puisi. Padahal, dia melanjutkan, “Dengan puisi, hidup orang menjadi lebih baik.”
Kepada Tempo, di halaman depan buku kumpulan puisinya, Romo Mudji berpesan, “Selamat berjuang dengan kata.” Rasanya perjuangan dengan kata itulah yang dilakoni Mudji saat ini. “Saya bosan dengan politik karena memecah belah. (Adapun) seni menyatukan orang,” ujarnya.
Tengoklah kata-kata yang ia susun dalam puisi Tragedi Bumi (2): kenapa mata hari kehilangan mata dan mata air jadi air mata di tanah air tanah air? di kita.
***