Puisi, Perjalanan, dan Identitas Diri yang Terkoyak

Junaidi Khab *
Radar Surabaya, 4 Feb 2018

Di lingkungan Yogyakarta, gerakan literasi dan kultur hingga seni mendapat lahan empuk untuk terus hidup dan berkembang. Itu digawangi dari beberapa pecinta litarasi, bukan serta-merta penggerakknya secara dominan dari kalangan masyarakat Yogyakarta sendiri. Tetapi, mereka datang dari beberapa daerah yang hidup merantau di Yogyakarta untuk berjuang dan saling bertemu dengan sesama pecinta literasi. Dari peradaban satu visi dan misi ini, lahirlah Yogyakarta sebagai kota pendidikan, seni, budaya, dan literasi selain memang Yogyakarta kentara dengan ciri khas budaya dan tradisi masyarakatnya.

Terlebih setelah kehadiran kelompok penerbit Sastra Pejuangan (SP) dan Basabasi yang dinaungi oleh DIVA Press Yogyakarta, gerakan literasi dan kesusastraan semakin menyala dan diminati di Yogyakarta hingga ke beberapa daerah di Jawa. Dua lini penerbit ini – SP dan Basabasi – merupakan garda terdepan di Yogyarkarta dalam menerbitkan karya-karya sastra seperti kumpulan cerpen dan esai, novel, dan khususnya antologi puisi. Inisiatif CEO DIVA Press Yogyakarta – Edi Mulyono – perlu kiranya kita dukung guna menggerakkan literasi masyarakat di Indonesia.

Pada Senin, 22 Mei 2017 sekitar pukul 19:00 WIB, sastra Basabasi kembali me-launching antologi puisi karya Bernando J. Sujibto berjudul Rumbalara Perjalanan yang dibanding oleh Muhammad Al Fayyadl lulusan master (Prancis) di Kafe Blandongan, Sorowajan Yogyakarta. Antologi puisi tersebut lahir sebagai anak sastra Bernando yang lahir di Turki saat dia menempuh perjalanan pendidikan magister di Timur Tengah. Hal itu menjadi sesuatu yang sangat istimewa, karena puisi-puisi yang disajikan di dalamnya – tentu – memiliki aroma khas yang berbeda dengan puisi-puisi yang lahir di nusantara dari rahim imaji para penulis dalam negeri lainnya. Lebih dari itu, puisi memiliki nilai tersendiri untuk dibaca, dipahami, dan direnungkan dalam kehidupan.

Akhmad Taufiq (2016) dalam pengantar bukunya menyatakan bahwa puisi baginya merupakan suatu bentuk penghadiran peristiwa melalui proses imajinatif dengan sentuhan estetika; sehingga realitas dengan segala kompleksitasnya mampu diungkapkan menggunakan gaya dan pengucapan yang sesuai lingkungan historisnya. Oleh karena itu, melalui bahasa, puisi tidak jauh dengan realitas, sekaligus dengan sentuhan historitas itu mampu menjadi penanda sejarah tersendiri dengan segala aspek estetiknya. Bernando telah berhasil merealisasikannya saat melakukan rihlah akademik ke Turki. Dari perjalannya itu, dia bisa membawa rupa dan warna beribu makna dalam bait-bait puisinya.

Perjalanan sebagai Rumah

Seperti dikatakan oleh Muhammad Al Fayyadl bahwa perjalanan ke Istanbul yang dilakukan oleh Bernando dengan cara berbeda. Puisi Bernando lahir dari perjalanannya saat ke Istanbul. Puisi kadang mengecoh. Penyair seakan singgah di suatu tempat secara menyeluruh. Dari goresan penanya, Bernando seakan sudah mengingat seluruh lekuk tempat yang pernah dijalani atau dilewati. Secara dominan, Bernando menuliskan puisinya melalui kekuatan visual.

Revolusi perjalanan Bernando cukup kompilatif dalam meramu anak-anak puisinya. Status kelahiran puisi sangat menentukan ketika dibesarkan di kota-kota berpengaruh. Sebut saja di Turki dari kumpulan puisi Bernando ini. Kita tentu tidak dapat memungkiri kehebatan Bernando yang berdarah Madura dan menempuh perjalanan pendidikannya di Yogyakarta hingga ke Turki. Lalu, dia melahirkan anak-anak puisi yang dikandungnya selama berjalan di luar negeri. Sebuah prestise yang cukup hebat dan membanggakan. Rumbalara, nama suatu tempat, yaitu rumah khas suku Aborigin. Kata Fayyadl, bagi Bernando perjalanan merupakan rumah kehidupan seperti Rumbalara.

Bernando menyebut Rumbalara sebagai pelangi: pelangi perjalanan. Dalam perjalanan selalu menyuguhkan keindahan tersendiri bagi masing-masing individu. Perjalanan sebagai pilihan dan proses. Dia tidak bisa diam untuk tidak tahu. Penyair itu penuh dengan tipuan puisi sebagai racun-racun rasa kehidupan yang melenakan dan mengheningkan batin. Suatu tempat akan menjadi imajinasi yang mampu melahirkan bait-bait puisi.

Sebelum melakukan perjalanan untuk melahirkan puisi, Bernando melakukan beberapa hal: Pertama, dia mempelajari suatu objek tujuan yang akan ditempati kelahiran puisinya. Kedua, dia memerhatikan kehidupan sosial objeknya. Ketiga, dia melihat dan memahami artefak-artefak peninggalan yang masih ada. Jauh lebih rinci menurutnya, bahwa membaca sebuah puisi akan sia-sia kecuali memerhatikan simbol-simbol dan metafor yang disajikan di dalamnya oleh penyair sendiri.

Puisi dan Sudut Pandang

Dalam persoalan menulis puisi, sebenarnya tak ada unsur intrinsik seperti dalam menulis cerpen atau novel. Tetapi, Bernando dalam puisi-puisinya masih menggunakan sudut pandang tertentu. Misalkan sudut pandang dalam penulisan puisi Bernando: dia menjadi orang pertama atau dia menjadi objek puisi itu sendiri yang memainkan metafor dan diksi-diksi. Kata Bernando, sudut pandang sebenarnya tak begitu penting dalam puisi, tetapi hal itu juga menjadi penentu dalam memosisikan para pembaca. Sehingga, estetika puisi yang dihasilkan oleh penyair bisa dinikmati sedemikian rupa: tidak monoton.

Misalkan antologi puisi yang ditulis oleh penghuni lapas Wirogunan berjudul Suara-Suara dari Wirogunan (2016) yang menggambarkan perihal situasi monoton yang dirasakan oleh para penghuni lapas dalam penjara. Kumpulan puisi ini merupakan salah satu karya yang juga perlu diapresiasi, karena ditulis oleh para penghuni lapas dengan bimbingan penyair Iman Budhi Santosa, Jati Suryono, Budi Sarjono, dan Ons Untoro.

Berbeda dengan karya Gratiagusti Chananya Rompas dalam antologi puisinya Kota Ini Kembang Api (2016) yang menggunakan dua sudut pandang: penulis sebagai orang pertama dan orang ketiga. Antologi puisi ini kiranya tak jauh berbeda dengan cara Bernando mengilustrasikan imajinasi putiknya dalam perjalanan yang dianggap sebagai rumahnya sendiri.

Para penyair dan penulis seperti halnya Bernando akan menjadi kuli abjad demi perjalanan hidupnya dengan menganggap perjalanan itu sebagai rumahnya sendiri. Ukiran para penyair kiranya akan menggugah masyarakat pembaca jika bisa memiliki negative capability, yaitu kemampuan penyair dalam mengabadikan suatu peristiwa agar tetap utuh saat terulang kembali seperti saat pertama kali dijumpai. Segala kompleksitas perjalanan hidup akan mudah dibaca dan dijadikan sebagai cermin bening kehidupan melalui puisi yang diukir oleh penyair menggunakan kanvas diksi bahasa dan kata-katanya. Lumrahnya, puisi lahir akibat identitas diri yang merasa terkoyak oleh rasa.
***

*) Penulis adalah Akademisi asal Sumenep, lulusan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya. Sekarang Menetap di Yogyakarta.

Leave a Reply

Bahasa »