SASTRA KONTEKSTUAL: WARISAN ARIEF BUDIMAN

Djoko Saryono *

Pada April lalu (23 April 2021) genaplah satu tahun Arief Budiman meninggalkan kita semua, pulang ke rumah sejati setiap makhluk. Saya ingin mengenangnya saat itu. Namun, ada saja kesempitan yang datang. Baru sekarang saya bisa mengenangnya dalam satu tulisan — itu pun tulisan lama yang saya “semir ala kadarnya”. Semoga tulisan ini bisa menjadi doa bagi mendiang Arief Budiman, yang membuatnya semakin damai di rumah keabadian. Pembaca budiman, nikmatilah seraya menghikmati puasa Ramadan pada hari libur ini.


***

Pada paruh pertama dasawarsa 1980-an justru mencuat sebuah gerakan estetika tandingan yang lantang dan agresif karena disokong dan melibatkan nama-nama besar dan mapan dalam dunia sastra Indonesia. Gerakan yang dimaksud adalah gerakan sastra kontekstual. Gerakan ini pertama kali dicetuskan di Surakarta pada tahun 1984 pada acara Sarasehan Kesenian 1984. Pencetus sekaligus “panglima” gerakan ini adalah dua serangkai dari kampus Universitas Satya Wacana (waktu itu, sekarang mereka sudah keluar), Salatiga, yaitu Arief Budiman dan Ariel Heryanto. Termasuk ke dalam pengilham gerakan ini adalah Yudhistira ANM Massardi yang mengusulkan sastra dangdut dan Y.B. Mangunwijaya serta Emha Ainun Najib yang mengusulkan agar sastra lebih terlibat dengan kehidupan nyata.

Gerakan sastra kontekstual berusaha memerangi nilai-nilai sastra (yang dianggap) universal yang tak lain dan tak bukan adalah estetika pertentangan yang menguasai dan menghegemoni dunia sastra Indonesia. Gerakan ini berkeyakinan bahwa pengetahuan berhubungan dengan eksistensi pemiliknya sehingga nilai-nilai sastra atau estetika selalu berhubungan dengan eksistensi publiknya. Berdasar pada keyakinan itu, gerakan sastra kontekstual berusaha mempertanyakan dan menolak nilai-nilai sastra yang dianut oleh sastra universal. Dalam pelbagai tulisannya, Arief Budiman dan Ariel Heryanto menyatakan menolak nilai-nilai sastra yang dianggap universal. Bagi mereka, nilai-nilai sastra terikat ruang dan waktu, tumbuh dan berubah sepanjang sejarah. Tidak ada nilai sastra yang tetap di dalam berbagai tempat dan waktu. Kalau di dalam sastra universal diyakini ada nilai universal (yang tidak terikat oleh ruang dan waktu), itu sebenarya hanya merupakan dalih untuk mengesahkan adanya sastra dunia dan adanya sastra yang pantas memperoleh Hadiah Nobel Kesastraan.

Sejalan dengan itu, sebenarnya tidak ada nilai-nilai estetika yang universal, sebagaimana dikandung oleh estetika pertentangan. Keindahan bagi orang Jawa tentu lain bagi orang Minang, lain pula dengan orang Sunda, dan sebagainya. Keindahan bagi kelas atas tentu lain dengan kelas menengah, dan lain pula dengan kelas bawah. Bagi Arief dan Ariel, bahkan nilai estetika ini tidak harus ada dalam sastra. Sesuatu itu termasuk sastra atau tidak, bermutu sastra atau tidak, bukan berdasarkan nilai-nilai keindahan, melainkan berdasarkan keberartian sastra . Dikatakan oleh Arief Budiman dalam Mencari Sastra yang Berpijak di Bumi: Sastra Kontekstual sebagai berikut. “Sastra yang baik adalah sastra yang berarti bagi seseorang. Apakah arti sastra tersebut didasarkan pada rasa keindahan atau rasa pengalaman religius atau rasa rangsangan untuk lebih bersemangat dalam menghadapi hidup yang gombal ini, semua ini terpulang kembali pada si penikmat sastra.”Dari sinilah terkesan bahwa Arief dan Ariel meyakini bahwa estetika tidak harus menjadi kriteria utama adanya sastra (yang bagus), buka conditio sine qua non bagi eksistensi sastra.

Menurut Arief dan Ariel, dalam Mencari Kaidah Sastra Kontekstual (Basis, Januari-Maret 1986), estetika pertentangan yang dijadikan faktor primer sastra oleh kaum universalis hanya merupakan estetika phallus. Estetika phallus ini sengaja diadakan oleh kaum universalis untuk menjaga berbagai pengertian sastra yang sekarang diikuti oleh beratus-ratus ribu orang, mulai pelajar sampai dengan intelektual. Pengertian-pengertian sastra yang sekarang ada perlu dipertahankan agar sastra tidak menjadi rakyat banyak dan harga bandrol sastra tidak berantakan. Keyakinan kaum universalis ini, menurut Arief, bisa menumbuhkan tirani sastra. Tirani ini sangat berbahaya bagi kehidupan sastra karena sastra dianggap monolitis, bukan pluralistis. Oleh karena itu, keyakinan ini perlu dijungkirbalikkan melalui sastra kontekstual agar ahli dan kritikus sastra tidak menjadi tirani sastra di Indonesia. Dengan kata lain, gerakan sastra kontekstual dimaksudkan untuk merobohkan atau mengikis kekuatan hegemonik estetika pertentangan.

Saya tidak berkeinginan melanjutkan konsep-konsep dasar dan serangan-serangan sastra kontekstual terhadap sastra universal yang mengukuhi atau menopang estetika pertentangan sebagai faktor primer sastra. Yang pasti, beberan beberapa konsep dasar dan serangan sastra kontekstual terhadap sastra universal segera mendapat sambutan sangat luas. Bahkan hal ini kemudian menimbulkan perdebatan taraf nasional dalam rentang waktu relatif cukup lama. Perdebatan ini melibatkan media massa, pengamat sastra (dalam dan luar negeri), ahli dan kritikus sastra, pendukung sastra universal, dan pendukung sastra kontekstual. Perdebatan ini kemudian dikenal dengan nama: perdebatan sastra kontekstual. Hasil-hasil perdebatan kemudian dikumpulkan oleh Ariel Heryanto dalam buku bertajuk Perdebatan Sastra Kontekstual yang diterbitkan oleh Penerbit Rajawali.

Perdebatan sastra kontekstual dapat dikatakan berjalan seru. Di dalam perdebatan ini, agaknya, kubu yang meragukan keterandalan sastra kontekstual lebih banyak daripada yang menyetujui, mendukung, dan mengembangkannya. Mereka khawatir konsep sastra kontekstual masih membingungkan dan terasa mentah. Agaknya pencetusan gerakan sastra ini terlalu tergesa-gesa dan tanpa disertai konsep yang matang. Terhadap semua keraguan ini, Arief dan Ariel memberikan penjelasan secara panjang lebar. Tetapi, tetap saja penjelasan ini tidak bisa menuntaskan masalah atau menjadi suluh penerang yang cahayanya membuat para penentang melihat dengan jelas sastra kontekstual. Karena itu, perdebatan ini tidak membuahkan suatu kepastian dan ketangguhan pemikiran sastra terutama pemikiran estetika alternatif. Semua ini mengisyaratkan bahwa sastra universal yang berpilar estetika peretentangan sebagai faktor primernya tetaplah dominan, mapan, dan tentu kuasa. Kaum universalis pada akhirnya juga tetap dominan, mapan, dan tentu saja menjadi elite sastra sehingga tak salah jika Arief menyebut sastra kontekstual sebagai “sastra kiri yang kere”.

Gerakan kontekstual yang dimaksudkan oleh Arief dan Ariel sebagai gerakan pembaharuan konsep dan estetika sastra justru surut dan tenggelam – tidak berlangsung panjang, misalnya sepanjang Polemik Kebudayaan. Surut dan tenggelamnya gerakan sastra kontekstual ini setidak-tidaknya disebabkan oleh empat hak pokok sebagai berikut.

Pertama, kubu pendukung gerakan sastra kontekstual rupanya hanya mampu merumuskan konsep-konsep saja tanpa melanjutkan ke tingkat kongkretisasi dan implementasi. Arief Budiman dan Ariel Heryanto lebih banyak mengemukakan pemikiran sastra secara diskursif, tidak memberikan contoh karya sastra yang kontekstual. Umar kayam malah berusaha membantu keduanya menunjukkan karya sastra kontekstual meski tidak secara khusus. Akibatnya, banyak orang tidak mengetahui sosok sastra kontekstual atau metodologi sastra kontekstual secara jelas.

Kedua, kaum universalis yang mendukung sastra universal dan estetika pertetangan tidak merestui atau keberatan dengan gerakan sastra ini. mereka justru meragukan dan melancarkan berbagai kritik tajam terhadap gerakan sastra kontekstual. Dengan kata lain, penganut estetika pertentangan tidak memberikan ruang gerak pada sastra kontekstual. Meskipun demikian, patut dicatat bahwa sastra kontekstual tetap dibicarakan di media massa dan jurnal serius.

Ketiga, pendukung gerakan sastra kontekstual agaknya terbatas pada sekelompok sastrawan, intelektual, dan aktivis kebudayaan yang antikemapanan pada masanya yang berpangkalan di Jawa tengah. Hal ini menandakan bahwa gerakan ini tidak mendapatkan dukungan yang mengakar luas dalam masyarakat Indonesia atau paling tidak kurang memperoleh dukungan secara luas. Ini terjadi karena dua hal. Pertama, pada masa Orde Baru sangat riskan dan berisiko besar mendukung gerakan antikemapanan, apalagi masuk ke dalamnya. Yang kedua, banyak kalangan memang masih kebingungan dengan konsep sastra kontekstual sehingga mereka tidak memberikan dukungan secara eksplisit.

Keempat, stamina intelektual para penggagas dan pendukung gerakan sastra kontekstual ternyata tidak panjang – tidak sepanjang Polemik Kebudayaan yang ditokohi oleh St. Takdir Alisjahbana pada dasawarsa 1930-an. Ini terjadi karena motor penggerak utamanya, yaitu Arief dan Ariel memiliki perhatian dan minat yang sangat luas, bukan hanya sastra atau kesenian. Akibatnya, keduanya tidak melakukan eksplorasi dan eksplanasi secara suntuk, total, dan “all out” mengenai sastra kontekstual. Dapat dipahami kalau kemudian Arief dan Ariel segera beralih kepada bidang-bidang lain yang nonsastra atau nonkesenian, utamanya ekonomi, politik, dan sosial. Karena itu, tidak mengherankan, gerakan sastra kontekstual kehilangan sumber ilham yang paling utama.

Meskipun segera surut dan tenggelam akibat empat faktor di atas, setidak-tidaknya gerakan sastra konstektual telah menjadi suatu diskursus penting dalam sejarah sastra Indonesia atau suatu peristiwa kesastraan yang memiliki gaung relatif kuat secara intelektual dan sosial-publik. Bisa dikatakan sampai sekarang, sesudah 36 tahun lebih, belum ada perdebatan baru yang melampaui kualitas perdebatan sastra kontekstual. Memang, sesudah perdebatan sastra kontekstual, sastra Indonesia juga disemaraki oleh berbagai perdebatan, misalnya perdebatan sastra dan perubahan sosial, sastra pedalaman, sastra wangi, dan juga puisi esai (yang berlarat-larat dan berlarut-larut tak tentu ujung pangkal). Namun, semua perdebatan itu terbilang perdebatan minor, bagaikan perang kembang kecil-kecilan di dalam pertunjukan wayang, yang kurang ditunjang oleh kapasitas intelektual dan isu utama yang tangguh dan kokoh. Sastra kontekstual dapat dikatakan sebagai salah satu lakon pertunjukan wayang dalam jagat sastra Indonesia.

Itulah warisan penting Arief Budiman bagi sastra Indonesia selain kritik sastra Ganzheit. Kalau warisan kritik sastra Ganzheit lebih berpangkal pada psikologi (saat-saat Arief Budiman menekuni secara suntuk psikologi), sastra kontekstual berpangkal pada sosiologi (saat-saat Arief Budiman bertungkus lumus dengan sosiologi dan dikenal sebagai ahli sosiologi yang membawa corak baru sosiologi). Terima kasih, Arief Budiman. Seperti kata pepatah “budi baik akan dikenang juga”, warisan pentingmu juga dikenang oleh pencinta sastra Indonesia. Istirahatlah kau dalam keabadian yang damai.

9 Mei 2021 Malang

*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Bahasa »