Taufiq Wr. Hidayat *
Melewati jalanmu. Menurun. Tikungan yang tajam. Pohon-pohon jati dan mahoni tumbuh dalam dadamu. Proyek jalan terus memadatkan jalanmu sampai membatu. Tapi mereka menambal jalanmu dengan bahan yang tidak kokoh. Seperti memoleskan mentega di atas sepotong roti.
Melewati jalanmu. Menanjak. Merekam suara dalam mesin penyimpanan. Tarian perempuan sintal di cakrawala televisi. Daging pipinya jatuh ke lantai. Kedua matanya menembak jantungmu, seperti kenangan samar pada rumah tua yang dihuni hantu. Hantu-hantu yang melayang membawa desah dan keluh dari masa lalu.
Tandatangan!
Negara sedang melukis wajahmu pada sebutir telur angsa. Lalu menulis nama-nama. Mencatat perbuatan-perbuatan pemberontak dalam buku saku seorang mata-mata. Negara sedang menata telur-telur angsa dalam lemari baja. Menyimpan wajah dan namamu dalam rahasia yang dijaga oleh senjata. Kemudian pesta digelar bersama orang-orang asing yang memborong pekerjaan membangun jalan. Namun jalan ke kotamu belum dirampungkan. Jalur itu akan dialihkan. Dialihkan pada waktu yang tidak pernah dapat dipastikan.
“Tandatangan!” ujar seseorang. Menyodorkan kertas yang telah dibubuhi stempel negara. Tanganmu gemetar, mencoretkan tanda yang tak gampang ditirukan.
Tandatangan!
Segala tanda memang tak lagi dikenali. Kerisauan yang menggenang di cekungan jalan. Kau mengingat sabda Borges melalui mulut tokohnya “yang bersejarah”; hanya dua hal yang dapat memperbanyak manusia, yakni cermin dan senggama. Karuan saja, cermin dan senggama marak di kotamu. Manusia berjubal, membutuhkan makan, baju, dan tempat tinggal. Jalan ke kotamu masih belum dibuka. Orang-orang asing menguburkan memori di jantung negerimu.
Tandatangan!
Hujan turun sepanjang jalan. Seperti kenangan. Seperti sepasang sepatu tergeletak bersama rindu dan debu. Mengenangkan waktu, mengenangkan peristiwa yang tak ada, mengenang nama dan wajahmu di telur-telur angsa yang dirahasiakan negara dalam almari baja. Alangkah muskilnya, mengencangkan benang-benang keadilan di bawah hujan. Bagai selokan-selokan yang menghanyutkan kitab undang-undang dalam kepedihanmu.
Ingin kurampungkan jalan hujan ini. Tapi tubuhku makin membiru. Menyimpan salju. Tulang-belulang ngilu. Mengenangkan wajahmu yang kalah, tua, dan dinista. Surat-surat pengaduan yang kau alamatkan pada negara, melapuk di gudang dingin kantor pengadilan. Kau hidup terlambat di abad yang terlalu cepat. Tetapi pikiran-pikiranmu merayapi pagi yang berjalan pelan. Kemalasan pada nasib. Kekalahan dan penghinaan. Negara mengutuk gagasanmu. Membiarkanmu lapar dan memaki para pencuri.
Jalan hujan. Dan tak ada bunga-bunga. Ini abad, tak ada babak bagi pemberontak. Pikiran-pikiran berlumut, gagasan-gagasan usang, dibusukkan di jurang pembuangan, lalu dibakar, arangnya yang hitam dihancurkan, kemudian menjadi pupuk yang sangat menyuburkan pohon-pohon kekuasaan yang buahnya dinikmati anak-anak perubahan yang tak akan pernah memakan gandum mentah dari ladang yang kerontang.
Barangkali memang nasibmu. Atau betapa sialnya memulung sisa sakit hati, sisa romantisme yang mengharukan di kandang hewan mantan jendral. Mungkin seperti perdebatan malam yang membuat gusar para pelajar dan tukang sulap, memilih mati atau pecundang, dan ideologi yang begitu mirip dengan mimpi. Menimang ideologi menimang mimpi, juga sangsi. Sambil membangun istana batu di dalam kepalamu.
Tandatangan!
Jalan hujan. Licin. Kenangan samar. Sejarah para pendosa. Dan cuaca yang tak selalu bisa diterka.
Banyuwangi, 2016-2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.