Aik R Hakim *
Jawa Pos, 27 Des 2020
Puisi-puisi Nanda Alifya Rahmah tidak berpretensi sebagai perlawanan terhadap maskulinitas atau hanya berbicara tentang perempuan.
Akan lebih mudah membicarakan puisi dari penyair perempuan dalam bingkai keperempuanan, bagaimana pengalaman penyair sebagai perempuan membentuk puisi.
Menjadi semakin sulit untuk menahan godaan tersebut apabila puisi juga menampakkan kecenderungan ke arah tersebut, seperti tampak dalam petikan puisi ’’Laila Bekerja’’ berikut: //…tapi kini bahasa dan laki-laki, bahasa laki-laki, wahai kegelapan, bertambah tebal seperti tembok kota yang selalu kesepian: mencakar langit// (halaman 46).
Pembaca yang bebal membaca puisi pun dapat menangkap dikotomi antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang opresif pada perempuan melalui bahasa sebagai simbol kuasa yang membungkam perempuan, napas yang sama dengan tradisi ecriture feminine.
Begitu pula motif tubuh yang merupakan bahan mentah dalam membentuk imaji dalam puisi: mengganti kulit hitamku dengan gambar malaikat yang terluka (halaman 43). Kiasan tersebut berasal dari puisi ’’Perempuan di Jari-Jari Tanganku’’. Sederhana, namun kuat. Hitam dan terluka. Kita dapat mengorelasikannya dengan realitas aktual tentang stereotipe kecantikan perempuan.
Tapi, benarkah antologi yang terdiri atas 66 puisi ini merupakan perlawanan terhadap maskulinitas atau hanya berbicara tentang perempuan?
Saya kira bukan itu yang ingin dituju. Dikotomi laki-laki dan perempuan dalam antologi ini bukan berbicara pemisahan dan relasi kuasa, bukan pula gender empowerment. Pada puisi ’’Laila Bekerja’’, Nanda menulis, ’’seorang laki-laki yang menolak tua meracik warna kabut dalam puisiku’’.
Tidak kita dapati penjelasan warna yang dimiliki kabut dalam puisi. Namun, dapat kita tangkap penerimaan terhadap sebuah kondisi tentang relasi seksualitas.
Tradisi ecriture feminine berbicara tentang perebutan phallus melalui bahasa, sebuah hal yang sebenarnya tidak kita dapati dalam puisi Nanda. Akulirik dalam puisi berbicara tentang subjek yang mengalami dan memaknai konstruksi identitas tanpa pretensi menghadirkan wacana gender.
Dalam antologi Yang Tersisa dari Amuk Api berserakan tema-tema keterasingan, luka, dan kehancuran subjek. ’’Biarkan diriku menenggelamkan diri dalam air, menjelma kertas larut- hancur’’ (’’Di Sebuah Kampung’’) atau ’’jiwaku tak berjalan, angkasa tak berlantai’’ (’’Menyelami Ruang Kosong’’) merupakan abstraksi atas tema utama puisi juga berkaitan dengan subjek dalam tradisi romantik.
Kedua penggalan puisi merupakan pola imaji berkaitan dengan kesadaran subjek dalam kumpulan puisi Yang Tersisa dari Amuk Api. Kesadaran subjek dalam puisi dibentuk melalui kesejajaran posisional dalam teks antara subjek dan benda.
Subjek dan benda dalam memiliki kesadaran. Kesadaran kertas adalah untuk larut dalam air, subjek yang merujuk pada benda mengambil alih kesadaran benda.
Strategi naratif tersebut merupakan logika teks tentang penyatuan akulirik sebagai semesta puisi untuk menghadirkan sensasi yang merujuk pada kondisi psikologis manusia, tepatnya ego akulirik.
Di sisi lain, strategi naratif macam itu membuat puisi dapat mengarah pada beberapa makna yang ingin disematkan pembaca pada puisi. Lapis makna disebabkan tanda-tanda dalam puisi eksis untuk kepentingan penanda, yakni abstraksi atas tema.
Oleh karena itu, pembacaan puisi penyair perempuan dengan menempatkan keperempuanan sebagai konteks merupakan kesia-siaan. Saya menikmati Yang Tersisa dari Amuk Api sebagai sebuah strategi subjek, manusia dalam memahami eksistensinya, salah satunya relasi subjek dengan kota sebagai sebuah ruang. Sebuah upaya ’’mengada’’ sekaligus pembebasan.
Dalam sebuah puisi berjudul ’’Dengarlah Kota, Impian Kita’’, Nanda menulis: //telingamu melingkar, bundaran taman di perempatan, merekam kesibukan, menonton keputusasaanku, turut di tubuh mesin yang terus bingung mencatat lintasan mahasuram di telapak tanganku// (halaman 24).
Personifikasi kota sebagai subjek merupakan pemaknaan tempat yang menghadirkan wacana ruang dalam puisi Nanda sekaligus keterputusan atau isolasi yang dialami akulirik.
Kota dalam antologi ini merupakan sebuah representasi kuasa atas subjek. Dalam puisi yang lain berjudul ’’Tanda-Tanda pada Kota’’, Nanda menuliskan ’’sejauh ingatanku menangkap igauan hanya ada kutukan yang menandai kota sebagai kubur’’.
Diksi “kota” mengarahkan kita pada sebuah lokasi dengan bangunan kukuh dan suasana yang ramai dengan aktivitas yang padat, menjadikan manusia sebagai mesin penggerak. Merelasikan kota dengan kubur merupakan sebuah upaya pembebasan atas reduksi subjek sebagai sebuah benda.
Pembebasan macam itu dimungkinkan sebab antologi ini pada dasarnya merupakan sebuah sensasi. Sensasi yang dihadirkan melalui imaji dalam puisi.
Puisi Nanda tidak hadir untuk menyatakan sesuatu, melainkan menampilkan sesuatu. Seperti sebuah monolog yang tak interaktif, Yang Tersisa dari Amuk Api abai pada kehadiran pembaca.
Sebab, melalui pengabaian terhadap pembaca, imaji-imaji dalam puisi juga subjek puisi menghadirkan ketidakpastian pembacaan. Bagaimanapun, sebuah antologi yang dilahirkan penyair perempuan rentan dikaji dalam bingkai feminis seperti yang saya nyatakan di awal tulisan.
***
Judul buku: Yang Tersisa dari Amuk Api
Penulis: Nanda Alifya Rahmah
Cetakan: I, Oktober 2020
Penerbit: Pelangi Sastra
Halaman: xii + 98 halaman
ISBN: 978-623-7283-90-4
*) Peresensi: Alumnus Sastra Indonesia Universitas Airlangga yang kini menempuh studi S-2 Ilmu Susastra Universitas Indonesia.