Memperingati Haul Sultan Hasanuddin ke 351 (III)

Sultan Hasanuddin (12 Januari 1631 – 12 Juni 1670)


Husni Hamisi

Tahun 1650 Masehi, Yang Mulia Baginda Sultan Hasanuddin berusia 19 Tahun. Di ujung timur pulau rempah-rempah, tepatnya kerajaan Islam Ternate, Sultan Mandar Syah diturunkan paksa oleh adik dan sebagian bangsawan Ternate. Ini disebabkan kebijakan Sultan Mandar Syah yang memberi kewenangan dan manopoli absolut dagang rempah-rempah kepada VOC. Efek kebijakan itulah, semua hasil rempah-rempah dari kerajaan Ternate hanya bisa dibeli VOC. Bilamana kebutuhan pala dan cengkeh berlebihan di pasar Eropa, Sultan Mandar menebang pepohonan untuk mengontrol stok produksi yang melimpah.

Di masa inilah muncul Kaicil Kalumata, seorang pangeran pemberani mewarisi semangat kakeknya Sultan Babullah rahimallahu alaihi dari Ternate, memimpin mengobarkan perang melawan kebijakan kakaknya atas hegemoni VOC di daerah Kesultanan Ternate. Beliau memiliki pengikut dan pasukan yang kuat dari kepulauan Sula dan sebagian Maluku Tenggara. Kaicil Kalumata dan pasukannya ini, berperang melawan VOC sampai daratan Sulawesi Selatan. Menjadi sahabat Sultan Hasanuddin dan menjadi menantu Karaeng Karunrung. Kelak, ketika beliau wafat di tahun 1679 M., menurut kawan Kaicil Reyhan, beliau dimakamkan di pemakaman raja-raja Gowa, seareal Makam Sultan Hasanuddin.

Gayung pun bersambut, Sultan Malikussaid Somba ri Gowa beberapa kali mengirimkan armada kapal perang dari Gowa untuk mengbackup, karena kerajan Gowa juga punya perwakilan dagang di Banda. Dikisahkan, Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin turut terlibat dalam peperang laut, beliau ditunjuk sebagai Panglima Perang Gowa.

Di masa itu, kesultanan Buton mengalami gejolak sama, Barata Kulisusu di Ereke Buton Utara dan beberapa daerah lain yang merupakan bagian kerajaan Buton juga angkat senjata melawan hegemoni dagang VOC yang sewenang-wenang. Ini memusingkan Yang Mulia Sultan Buton La Awu, dikarena baginda mewariskan sejarah panjang perjanjian sultan-sultan Buton sebelumnya dengan pihak VOC.

Luasnya medan tempur, antara beberapa daerah dengan pangerannya masing-masing yang dibackup armada perang laut yang kuat dari Kerajaan Gowa melawan VOC -mewarnai masa-masa, sehingga Baginda Muhammad Baqir Sultan Hasanuddin diangkat menjadi Somba Ri Gowa, setelah wafatnya ayah beliau.

Sultan Malikussaid sebelum wafat berwasiat, yang menjadi pengganti beliau sebagai Somba ri Gowa adalah anaknya bernama Muhammad Baqir, tersebab anak ini telah terasah sebagai panglima perang, memiliki kecakapan memerintah, bijaksana dengan bekal ilmu agama yang ta’at. Sekalipun di antara anak baginda yang lain, Sultan Hasanuddin berderajat darah kebangsawanan lebih rendah, oleh bukan terlahir dari rahim seorang ibu yang berdarah bangsawan tinggi Gowa maupun Tallo.
***

Tahun 1651-1655, perang antara kerajaan Gowa dengan VOC Belanda semakin memuncak. Banyak lokasi armada VOC di Buton maupun Maluku porak poranda. Sementara diwaktu kurang lebih sama, Syekh Yusuf memperoleh gelar dari gurunya yakni Maulana Syekh wali kutub Abul Ayub Barakat Alkhalwaty di Damaskus. Syekh Yusuf mendapatkan titel Abul Mahasin Yusuf Tajul khalwatiyah.

Di Kesultanan Banten, Yang Mulia Sultan Ageng Tirtayasa yang masih cucu cicit dari Sunan Gunung Jati rahimallahu alaihi juga bertahta, sultan ahlul ilmi ini sahabat baik Syekh Yusuf, baginda menjalin persahabatan dan relasi dagang yang erat dengan Karaeng Karunrung selaku Mangkubumi Kerajaan Gowa. Hubungan ini terlaksana, lantaran pedoman politik Kesultanan Banten juga anti monopoli dagang VOC. Sementara pada kesultanan Mataram Islam masa ini, Sunan Amangkurat I bertahta dengan pola tangan besi, tercatat ribuan ulama wafat terbunuh, disebabkan pola politik beliau. Ini memaksa para ulama bermigrasi ke wilayah lain di Nusantara, termasuk ke Kerajaan Gowa – Tallo.
***

Awal tahun 1660 M., masa cukup pelik di Kerajaan Gowa – Tallo, paska salah satu benteng kerajaan direbut VOC. Atas hasil rapat di belairung istana, Baginda meminta kepada Karaeng Sumanna untuk memohon kepada Tobala Arung Tanete (salah satu arung pitue hadat Bone) yang menjadi penanggung jawab rakyat Bone, memobilisasikan 10.000 lebih rakyat Bone ke Gowa untuk mempekerjakan proyek pembuatan parit mengelilingi benteng kerajaan demi persiapan melawan Belanda.

Awalnya hal ini berjalan baik, tetapi di lapangan berbeda dengan yang direncanakan. Para mandor yang dipercaya mengawal pekerjaan bertangan besi, menyebabkan banyak pekerja wafat dan ada yang selalu berusaha melarikan diri, karena beratnya pekerjaan. Dan petaka pun menimpa, ayahanda dari La Tenri Tata Daeng Serang, wafat setelah mengamuk membela para pekerja yang disiksa akibat melarikan diri.

Andai proyek pekerjaan parit dilakukan seperti yang dicontohkan Rasulullah Saw, dimana semua orang termasuk Nabi Saw., turut bekerja seperti dalam persiapan perang Khandaq (5 Hijriah atau 627 Masehi). Andaikan saat itu rakyat Gowa bergotong-royong dengan rakyat Bone menggali parit demi tujuan lebih besar, menghadapi serangan musuh bersama -VOC Belanda, maka alur sejarahnya akan lain. Namun telah terjadilah apa yang terjadi, semua sesuai Iradat-Nya, “pelajaran berharga, janganlah pernah kita menciptakan peluang untuk musuh mendapat momentum mengadu-domba kita, sebab manusia apapun sukunya, sejatinya di hadapan-Nya sama, yang membedakan hanyalah taqwa dan amal sholeh,” begitu pesan almarhum Karaeng Baso Lewa, tatkala menceritakan ulang persoalan ini pada kami. Alfatihah…
***

Sejak ayahandanya La Potobune arung Tana Tenga wafat, La Tenri Tatta Daeng Serang Datu Mario ri Wawo Arung Palakka mengambil inisiatif membebaskan rakyat Bone yang tertindas dengan jalan balik melawan hegemoni kekuasaan Gowa. Sebagai pemerhati budaya dan sejarah, kita harus melihat segala persoalan secara bijaksana. Sebab yang telah terjadi tak mungkin terlaksana kalau bukan atas ijin-Nya. Boleh jadi, kita anggap sesuatu itu buruk, tapi sebenarnya itulah yang terbaik bagi kita dari Karaengta Marajae Allah Swt. Pemahaman ini ditulis begitu indah di dalam kitab karangan Syekh Yusuf Tajul Khalwatiyah Tuanta Salama, yang judul Zubdatul Asror fi Tahqikil Ba’d Masyorib Al Akhyar.

Dapat diceritakan di sini, saat pasukan kerajaan Gowa dan sekutunya tiba di Kerajaan Soppeng dengan tujuan menghukum Datu Soppeng, lantaran membantu akomodasi pelarian Arung Palakka. Seperti yang tercatat pada lontara Raja Bone berikut ini:

“Na pulo wenni laona arung bila, arung appanang, datue ricitta, nawelai wi soppeng, nangkana karaenge ri gowa teriwi soppeng. Makkaduppang to wajoe sappai temmewa na to soppenge, nanganro to soppenge. /Belasan malam setelah arung bila, arung appanang dan datu citta menginggalkan wilayah soppeng. Maka tibalah pasukan karaeng gowa di soppeng, bergabung dengan pasukan dari wajo untuk menyerang soppeng. Maka rakyat soppeng pun mengaku kalah.”

“Naia pettari soppeng maddepungangi maranak, mallaibini ri la manggile, kua e lisek na ri lamangile. / Adapun datu soppeng telah berkumpul bersama istri dan anak-anaknya serta segenap warga lamangile (untuk siap menerima hukuman).”

“Nappaisenna arung beru ri laue, ada ugi mapperi-perri arung beru ri laue, laotuddang ri ponna sapanae, engka eppa datu betta nasitinroseng. / Setelah arung beru ri laue mengetahui keadaan genting ini, arung beru segera berjalan pergi, lantas duduk di anak tangga rumah datu soppeng yang ditemani empat orang datu pemberani, (tujuannya berjaga-jaga sekaligus siap mati membela datu soppeng).”

“Makeddani karaenge ri gowa, taroi tawetta datue ri soppeng, makeddani karaeng ri gowa karunrung, purani tattarima tanrona datue ri soppeng nangkatona arung beru ri ponna addenenan tudang. / Berkatalah karaeng ri gowa (dalam hal ini karaeng Sumanna diberi tanggung jawab mengontrol Bone, karena Tobala arung Tanete yang menjadi regent Bone bertanggungjawab atas segala hal pada karaeng Sumanna). Biarlah kita bunuh saja datu soppeng! Karaeng karunrung pun angkat suara, bukankah paduka telah menerima sumpah setia dan mengaku kalah dari datu soppeng? Apalagi saat ini, arung beru bersama pasukannya telah ada di anak tangga.”

“Makeddani karaenge ri kapitang mammusu tanna kadoipi ri langinge. / (setelah mempertimbangkan perkataan karaeng karunrung) maka berkatalah karaeng gowa kepada panglima perangnya. Apakah datu soppeng terima, kalau diasingkan?”

“Riewanna ada soppeng, nakudoini riwae su. / datu soppeng diberitahukan soal ini, dan beliau menerima diasingkan ke Siang Pangkep.”
***

Apa artinya ini? Andai Karaeng Karunrung yang bijaksana ini yang sekian tahun mengenal Arung Palakka, diasuh ayahandanya sendiri Karaeng Patingalloang, tidak mengusulkan seperti tercatat di dalam lontara. Maka Satu Soppeng bakal dihukum bunuh beserta Arung Beru dan para pasukan yang membelanya. Ini menambah dendam lebih membara, mencipta musuh baru bagi Kerajaan Gowa yang sedang bersiap berperang dengan VOC Belanda. Karena saat itu, Soppeng masih sekutu Gowa. Hanya Bone yang dihukum menjadi negara jajahan, dan sebagian bangsawan Soppeng yang ikut berperang membela Bone, diakhir kisahnya tertawan dijaman Sultan Malikusaid ayahanda Sultan Hasanuddin.
***

Bersambung…

One Reply to “Memperingati Haul Sultan Hasanuddin ke 351 (III)”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *