Memperingati Haul Sultan Hasanuddin ke 351 (IV)

Sultan Hasanuddin (12 Januari 1631 – 12 Juni 1670)


Husni Hamisi

Valentijn mengatakan, bahwa untuk merebut kekuasaan di Kepulauan kaya rempah-rempah, orang-orang Belanda harus berperang melawan Portugis, Inggris, Makassar dan sebagainya. Kami mengadu domba raja satu dengan raja lainnya; mereka harus berkelahi, dan berperang”, I.D. Calvin, Romance of Empire, South Africa.
***

1661 M., Baginda Somba ri Gowa Sultan Hasanuddin berusia 30 tahun, pasca lolosnya Arung Palakka dalam pelariannya. Yang mana diketahui bahwa Datu Soppeng La Tenribali hanya dihukum dengan diasingkan, padahal beberapa bangsawan muda Soppeng juga turut menemani pelarian Arung Palakka.

Tibalah telik sandi membawa berita ke belaiurung istana Gowa; Sultan Mandarsyah yang telah merebut kembali tahtanya oleh dukungan VOC Belanda di kesultanan Ternate – ingin menghukum Kaicil Kalumata bersama pasukannya yang dilindungi Gowa, -bakal bekerja sama dengan Sultan Buton, tersebab Bharata Kaledupa dan Pancana berpihak ke Gowa, padahal wilayahnya masuk kesultanan Buton – didukung armada VOC Belanda untuk menyerang Gowa, dengan memanfaatkan kejadian ini.

Maka terjadilah friksi tajam di tingkat elit kerajaan Gowa – Tallo, Karaeng Summana didukung empat Bate Salapang (Gallarang Mangasa, Gallarang Samata, Gallarang Tombong, dan Gallarang Bontomannang) mengancam mengundurkan diri dari jabatan mereka masing-masing, dikarena berbeda pendapat perihal cara menghadapi persoalan. Mereka tidak sejalan atas pemikiran Karaeng Karunrung yang mengusulkan agar baiknya memilih bergerak cepat menyerang terlebih dahulu ke posisi Belanda, sebelum persekutuan mereka kuat lantas tiba-tiba menyerang kerajaan.

Baginda Sultan Hasanuddin yang cendrung pada pendapat Karaeng Karunrung, dengan kebijaksanaannya berhasil menenangkan pokok perpecahan yang terjadi. Beliau mengikuti suara terbanyak, dengan memutuskan menambah armada serta pasukan perang di Gowa lewat meminta tambahan pasukan dari Kerajaan Bima, Kerajaan Sumbawa, Mandar, dan dari Kepulauan Muna, Kepulauan Sula untuk berjaga-jaga.

Tahun 1663 M., mata-mata Belanda tiba di Batavia membawa berita gembira, bahwa dua sosok berpengaruh kuat di kerajaan Gowa yang selama ini menjadi andalannya Baginda, yakni Karaeng Tallo Sultan Harun Ar Rasyid bersengketa dengan sepupunya Karaeng Karunrung Abdul Hamid, menurut catatan Belanda [KA 1137:957-8] “Karaeng Summana yang tidak menyukai Karaeng Karunrung mendukung dan berpihak pada Karaeng Tallo”.

Baginda Sultan Hasanuddin yang secara pribadi cenderung kepada Karaeng Karunrung -tak bisa berbuat banyak, sebab sebagian besar para bangsawan elit kerajaan berpihak kepada Karaeng Tallo. Lantas keputusan pun diambil, Karaeng Karunrung diasingkan, seluruh harta bendanya disita, dan rumahnya dijaga ketat oleh pasukan dari Sultan Tallo sendiri.

Karaeng Karunrung diasingkan selama 2 tahun. Ini kabar gembira bagi pihak Belanda, yang sangat menginginkan kematian Karaeng Karunrung. Pertengkaran di tingkat elit kerajaan Gowa dikemudian hari menjadi titik lemah yang vatal, disaat sekutu VOC menyerang Gowa – Tallo di tahun 1666 M.

Pada suatu hari, Karaeng Karunrung menghilang dari tempatnya dia diasingkan, meskipun beliau dijaga ketat oleh para prajurit elit Tallo atas perintah Raja Tallo sepupunya sendiri. Sehingga para elit Gowa yang bersebrangan dengannya jadi khawatir, jangan-jangan Karaeng Karunrung pergi ke Batavia demi bergabung dengan Arung Palakka dan pasukan bugisnya untuk kelak balik menyerang Gowa.

Hingga akhir tahun 1664, Gubernur Belanda di Batavia menuliskan surat balasan kepada Gowa yang menjelaskan bahwasanya “Karaeng Karunrung tidak pernah sampai di Batavia.” [Stapel:1922-80). Terus Beliau menghilang ke mana? Apakah ke Banten, ataukah ke puncak Gunung Bawa Karaeng untuk bertapa?

Di sini kami hanya ingin mengutip sebagian kesaksian Syekh Yusuf Tuanta Salamaka, dalam suratnya mengenai pribadi luhur Karaeng Karunrung. “Seorang pribadi yang alim, yang arif, yang sempurna, wali akhlak, contoh yang diridhai, yang berakhlak dengan pekerti yang baik, memegang teguh syariat yang didukung bathin hakekat.” [vol. naskah syekh yusuf. NJ A 108.Voorhoeve].

Akhir tahun 1665 M., Karaeng Karunrung tiba kembali bergabung dengan baginda Sultan Hasanuddin, bersama para elit serta sekutu Gowa lainnya -menggalang daya kekuatannya, untuk menyambut Armada Sekutu VOC Belanda, yang telah bersiap-siap memulai peperangan dengan kesultanan Gowa.
***

Tahun 1666-1669 M., kejadiannya sudah umum kita ketahui. Kerajaan Gowa Tallo akhirnya kalah perang, setelah jatuhnya Benteng Sombaopu oleh kekuatan VOC dengan sekutunya yang lebih sigap secara strategi dalam menghadapi peperangan besar.

Baginda Yang Mulia Sultan Hasanuddin lalu memilih turun tahta, dan setahun kemudian berpulang ke rahmatullah. Namun pasukan Gowa terus berperang melawan VOC Belanda, membuka perang baru di Jawa Timur, Karaeng Galesong anak Sultan Hasanuddin bersama Pangeran Madura Trunojoyo membumihanguskan Plered Ibukota Mataram, -Rajanya Sultan Amangkurat I yang didukung VOC Belanda, di ujung barat Jawa, di kesultanan Banten, Syekh Yusuf bersama mertuanya Sultan Ageng Tirtayasa dengan pasukan balira pimpinan anak perempuan Sultan Hasanudin, juga berperang dengan VOC Belanda yang membackup Sultan Haji.

Bagaimana dengan jazirah Sulawesi? Adalah Daeng Serang Arung Palakka, yang diangkat sebagai Arumpone menggantikan Puatta Lamederemmeng yang wafat di tahun 1673, menjalankan politik “menyatukan darah”, demi seluruh para bangsawan kerajaan di Sulawesi Selatan -menghapus dendam darah yang telah terjadi.

Semangat warisan perjuangan Sultan Hasanuddin Somba ri Gowa demi melawan hegemoni penjajahan Belanda ini, dengan harapan Raja Bone Arung Palakka di abad 17 itu, akhirnya bertemu muara dalam darah-semangat anak cucu mereka. Hingga tibalah diawal abad 20 M., La Pawawoy Karaeng Segeri Sultan Bone, I Makulau Daeng Serang Sultan Husain Somba Ri Gowa, serta segenap para bangsawan kerajaan di zajirah Sulawesi, yang telah dipersatukan di dalam darah leluhurnya. Mereka bersama-sama serentak mengangkat senjata melawan hegemoni penjajahan Belanda.

Alfatiha, terima kasih yang mulia.


Tamat ~ 2021

One Reply to “Memperingati Haul Sultan Hasanuddin ke 351 (IV)”

Leave a Reply

Bahasa »