Pertempuran 10 November 1945: Aktor Utama dan Figuran


(Mobil Brigadir Jenderal Mallaby terbakar di Surabaya 1945, foto Wikipedia)

Eko Darmoko
Harian Surya, 2014

Pertempuran legendaris di Surabaya yang terjadi 1945 silam selalu diidentikkan dengan nama sakral Sutomo atau yang akrab disapa Bung Tomo. Padahal, dalam catatan sejarah ‘embongan’ nama Bung Tomo tak lebih dari pemeran figuran dalam pertempuran tersebut. Bung Tomo hanya ‘modal cangkem’ ketika Arek-Arek Suroboyo berjibaku melawan Tentara Sekutu dan Belanda.

Banyak orang yang tidak tahu, bahwa aktor utama dalam pertempuran yang menyedot mata dunia itu diperankan orang-orang macam HR Mohamad Mangoendiprodjo, Soengkono, dan Moestopo. Bahkan, dalam buku Pertempuran 10 November 1945 menceritakan, Bung Karno dan Bung Hatta menjuluki Moestopo sebagai ‘pemberontak’.

“Memang, lebih baik berontak mati dalam perjuangan daripada dijajah bangsa asing lagi,” kata Moestopo kepada Bung Karno dan Bung Hatta di Surabaya sebelum perang meletus, dikutip dari buku Pertempuran 10 November 1945.

Moestopo saat itu dikenal sebagai dokter gigi yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan ad Interim. Selain itu, Moestopo juga menjabat sebagai Kepala Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jatim, sedangkan Soengkono sebagai Kepala BKR Surabaya.

Sejarahwan dan Sastrawan Surabaya, Suparto Brata, menceritakan, ketika perang meletus di Surabaya antara Oktober-November 1945, ia masih berusia 12 tahun. Saat itu ia merasai suasana Surabaya sungguh mencekam. Banyak pejuang yang menenteng senjata (hasil rampasan dari Tentara Jepang) yang mondar-mandir di jalan utama Surabaya.

“Mereka yang tidak memiliki senjata rampasan mempersenjatai diri dengan bambu runcing. Saat itu saya berada di sekitaran Karang Menjangan,” kata Suparto Brata, saat ditemui, Selasa (4/11/2014).

Suparto Brata yang juga menjadi salah satu penulis dalam buku Pertempuran 10 November 1945, menceritakan, pejuang-pejuang Surabaya pada 1945 silam memiliki modal nekat dalam melawan Tentara Sekutu dan Belanda.

“Para pejuang bondo nekat tenan (modal nekat sungguhan). Tanpa pemberontakan Pejuang Surabaya, Indonesia tidak bakal diakui kedaulatannya. Di seluruh dunia, Surabaya adalah yang pertama kalinya mematikan kolonial. Pertempuran di Surabaya menginspirasi dunia untuk melawan kolonial,” kata Suparto Brata.

Dalam suasana pertempuran tersebut, ungkap Suparto Brata, nama Bung Tomo memang kondang. Hal ini dikarenakan selain jago retorika, Bung Tomo juga memiliki radio yang digunakannya untuk berpidato.

“Bung Tomo orang sipil tapi dia punya alat komunikasi (radio). Siapa yang punya alat komunikasi maka dia akan menguasai informasi dan mudah dikenal sebagai aktor utama,” kata Suparto Brata.

Tentunya, selain Bung Tomo, ada ribuan warga sipil lainnya yang turba (turun ke bawah) melawan penjajah. Suparto Brata menceritakan, ketika ia akan menyusun buku Pertempuran 10 November 1945 pada tahun 1986, banyak warga sipil yang mengaku sebagai pembunuh Mallaby dan perobek bendera merah putih biru di Hotel Yamato.

“Banyak yang datang kepada saya dan mengaku sebagai pembunuh Mallaby dan perobek bendera,” ucapnya sambil terkekeh. “Namun hingga saat ini belum jelas siapa yang melakukannya. Tapi yang saya ketahui, peristiwa perobekan bendera di Hotel Yamato dipotret oleh jurnalis bernama Abdul Khohar,” sambungnya.

HR Mohamad Mangoendiprodjo, Moestopo, dan Soengkono adalah aktor utama dalam pertempuran ini. Bahkan menurut Suparto Brata, HR Mohamad berada di dekat Mallaby sebelum tewas tertembak oleh senjata dan granat misterius.

“HR Mohamad mengawal Mallaby di sekitaran Jembatan Merah, tujuannya agar para pejuang tidak melakukan serangan. Namun toh tiba-tiba para pejuang menyerang Mallaby dkk. Kemudian Mallaby diketahui meninggal,” ucap Suparto Brata.

Sejarahwan dan jurnalis asal Australia, Francis Palmos, memberi catatan khusus tentang Soengkono yang menjadi aktor utama dalam pertempuran legendaris ini. Dalam bukunya Surabaya 1945: Sacred Territory yang dikutip Harian Surya dari halaman jakarta45.wordpress menyebutkan, pidato Soengkono di Jl Pregolan 4, pada Jumat sore 9 November 1945 adalah cikal-bakal meletusnya pertempuran dahsyat ini.

Pria yang baru saja terpilih sebagai Panglima Angkatan Pertahanan Surabaya pada saat itu, melalui pidatonya mampu membakar semangat juang Arek-Arek Suroboyo. Francis Palmos menyandingkan pidato ini sama dahsyatnya dengan pidato Bung Karno di Pengadilan Bandung dengan tajuk Indonesia Menggugat.

Di sekitaran masa inilah, Bung Tomo juga memanfaatkan corong radio untuk membakar semangat para pejuang. Bung Tomo mendirikan ‘Radio Pemberontak’ yang mulai mengudara pada 16 Oktober 1945, yang kala itu pemancarnya masih nunut RRI Surabaya. Namun, diketahui dalam pendirian radio ini Bung Tomo tidak mendapat izin dari Menteri Penerangan, Amir Sjarifuddin.

Dalam pidatonya pada Jumat sore 9 November 1945 tersebut, Soengkono mengajak Arek-Arek Suroboyo untuk bertahan di kota dan mengusir penjajah. “Saudara-saudara, saya ingin mempertahankan Kota Surabaya… Surabaya tidak bisa kita lepaskan dari bahaya ini. Kalau saudara-saudara mau meninggalkan kota, saya juga tidak menahan; tapi saya akan mempertahankan kota sendiri… (dikutip jakarta45.wordpress).” Mendengar pidato ini, semua anak buahnya tetap tinggal di Surabaya untuk berperang.

Malam harinya, setelah Soengkono berpidato, tepatnya pukul 22.00 WIB, Gubernur Suryo juga menyampaikan pidatonya melalui radio di Surabaya. Mengetahui Sang Gubernur akan menyampaikan pidatonya, ratusan orang mulai berkumpul di sekitar stasiun radio, menunggu pidato Gubernur. Saat itu, semua radio di Surabaya bebas dari segel sensor Kempetai; dinyalakan di berbagai kampung.

Inti dari pidato Gubernur Suryo ini adalah ‘menolak’ anjuran pemerintahan pusat dari Presiden Soekarno. Pemerintah pusat takut jika Pejuang Surabaya melawan Tentara Sekutu-Belanda, maka justru akan menjadi boomerang bagi Surabaya—akan terjadi banyak kematian dan kehancuran bagi Surabaya dan warganya.

Tentu saja Arek-Arek Suroboyo tak mau tiarap dan menyerahkan senjata ala kadarnya (hasil rampasan dari Tentara Jepang) kepada Sekutu-Belanda. Mereka bersikeras untuk melawan penjajah dengan senjata minimalis yang dioplos dengan bambu runcing.

Amarah Arek-Arek Suroboyo sudah kadung terbakar. Mereka tidak rela kotanya diinjak-injak bangsa asing. Penyobekan Bendera Merah Putih Biru menjadi Merah Putih di Hotel Yamato, sebelumnya, adalah bukti ketidak-terimaan Surabaya dilecehkan martabatnya oleh penjajah. Tak hanya itu, Pejuang Surabaya juga nekad mencegat Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby dan pasukannya di sekitaran Jembatan Merah dan Gedung Internatio.

Mallaby tewas di sekitaran Jembatan Merah, 30 Oktober 1945. Mayat dan Mobil Buick miliknya hangus—hal ini menyebabkan mayat Mallaby sulit dikenali. Hingga sekarang, sejarah ‘gagal’ mencatat perihal nama pejuang yang berhasil menewaskan Mallaby. Ditarik benang merahnya, kematian Mallaby inilah yang memicu terjadinya pertempuran 10 November 1945.

Pengganti Mallaby, Mayor Jenderal EC Mansergh, geram dan meminta warga Surabaya untuk menyerah. Namum hal ini tak dihiraukan warga, dan meledaklah pertempuran yang menewaskan sekitar 6.000 hingga 16.000 pribumi.

Sebelum meletus pertempuran 10 November, atau setelah Soengkono dan Gubernur Suryo berpidato, Soengkono melakukan inspeksi pada malam hari; tujuannya untuk melakukan persiapan pertahanan mengenai serangan Tentara Sekutu-Belanda. Soengkono pergi menembus kegelapan malam dan mengelili kota, memeriksa semua unit. Dalam benak Soengkono mendesis slogan ‘Merdeka atau Mati’.

Gerombolan pejuang yang kala itu disebut Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di bawah komando Soengkono, tunggang langgang menghadapi gempuran Sekutu dalam Pertempuran 10 November 1945. Pertempuran ini tercacat berlangsung sekitar tiga-empat minggu. Inggris merogoh kocek tidak sedikit untuk membiayai perang melawan Arek-Arek Surabaya. Dari pertempuran inilah, Indonesia, khususnya Surabaya, menjadi perhatian dunia internasional.

“Waktu itu kami prediksi pertempuran hanya berlangsung empat hari saja, tapi nyatanya sampai empat minggu. Ribuan warga sipil meninggal,” kata Suparto Brata.

Paska perang, kemudian muncullah sosok-sosok pahlawan. Mereka yang memiliki kedekatan dengan massa, maka lebih mudah mendapatkan ‘cap’ sebagai pahlawan atau sebagai aktor utama dalam peperangan.

Pengamat sejarah Surabaya, RN Bayu Aji, mengungkapkan, Pertempuran 10 November 1945 memang banyak melibatkan massa. Namun, meskipun demikian, peran elit seperti HR Mohamad, Soengkono, Moestopo, Soemarsono, serta para kyai di masa itu juga sangat penting dalam menggerakkan massa.

“Dalam peristiwa 10 November 1945, sejarah memang tidak perlu sosok ‘hero’, sebab peristiwa ini merupakan tindakan massa yang sangat besar. Masyarakat Surabaya tergerak ingin mempertahankan kemerdekaannya,” kata RN Bayu Aji.

Pria yang bekerja sebagai pengajar di Universitas Ciputra dan Universitas Airlangga (Unair) ini tidak bisa menampik, selain peran elit, perang di Surabaya ini juga melibatkan warga sipil yang memiliki kharismatik. Bung Tomo, menurutnya, adalah warga sipil yang turut andil mengobarkan semangat warga sehingga warga tergerak untuk melakukan perlawanan terhadap Sekutu dan Belanda.

“Terlepas dari pidato-pidatonya yang membakar semangat para pejuang, banyak yang meragukan Bung Tomo ikut berperang bersama para pejuang,” ucap RN Bayu Aji.

Menurut RN Bayu Aji, di luar sosok-sosok yang terlibat dalam peperangan ini, baik itu dari kalangan elit atau sipil, tentunya masih banyak yang layak dimunculkan sebagai ‘hero’. Misalnya mereka-mereka yang bergerak dalam ranah logistik.

“Perang bukan hanya sekedar baku tembak, tapi di sana juga ada sebuah usaha untuk memenuhi kebutuhan logistik. Perang tidak bisa berjalan jika tidak ada kontribusi logistik. Nah, orang-orang yang bergerak di ranah logistik saat perang inilah yang juga layak menyandang gelar ‘hero’. Tapi dalam peristiwa ini tidak lagi butuh ‘hero’ karena ini pergerakan massa yang besar,” paparnya.

***

Leave a Reply

Bahasa »