Taufiq Wr. Hidayat *
Borges menulis fiksi yang cerdik mengelabuhi fakta, mengecoh sejarah dengan usil dan jenaka. Bagi Borges, aib sejarah bukan perbuatan tidak senonoh. Melainkan perilaku menyimpang “orang suci” dari nilai yang diperjuangkannya. Suatu pengkhianatan. Orang yang membela kesucian agama, lalu berbuat serong, maka ia telah berkhianat pada kesucian agama yang dibelanya dan menipu sejarah.
Ketika seseorang menyerukan kesucian agama, ia melakukan aksi politik. Bukan aksi (amal) ajaran agama yang personal. Aksi politis itu dilandasi primordialisme dan kepentingan praktis. Jika misalnya seorang agamawan menolak zinah atasnama kesucian agama, tapi dirinya berzinah, itu “aib pribadi”. Tak penting! Tetapi pembenaran agama atas zinahnya, mengaburkan konsepsi atau fakta dengan klaim otoritas dirinya atas agama bersangkutan, itulah “aib sejarah”. Aib dari suatu nilai yang harus dibongkar.
Mempersoalkan serong “orang suci” dari nilai yang diteguhinya dengan penilaian kritis yang dihadapkan pada nilai yang dilanggar si orang suci yang mengklaim dirinya penjaga atau pembela nilai tersebut, bukanlah membuka “aib pribadi”. Tapi mempelajari “aib sejarah”. Sebab sejarah bukan fiksi. Sejarah adalah kenyataan atau peristiwa obyektif yang tak boleh ditutupi. Ia tak bebas dari kritik, menjadi ingatan kolektif yang—jiika diperlukan demi “menjernihkan” kekinian, perlu diurai dengan lugas.
Bawah sadar—bagi Sigmund Freud, seringkali meletup tanpa sadar pada aktivitas sadar. Orang yang sering memikirkan pisang, sekali waktu lidahnya tak sadar mengucapkan kata pisang dalam suatu pembicaraan yang tak ada kaitannya dengan pisang. Hal remeh-temeh ini memang jadi perhatian Freud dalam psikoanalisanya yang mashur itu. Baginya, kekotoran seksual selalu ditutupi yang suci dalam pandangan umum. Manusia memiliki kecenderungan menutupi kebejatannya dengan yang “suci”. Sebab dan motivasi kebejatan yang ketahuan dilakukan “si suci” itu perlu dipaparkan, agar peristiwa dilihat apa adanya sebagai kenyataan obyektif. Jiwa Manusia terkadang melakukan penolakan rumit terhadap masa lalunya, sehingga mentalitasnya pun bermasalah.
Bukan bagaimana aib dilakukan seseorang, tapi kenapa aib dilakukan. Kemudian apa akibat darinya yang terkait posisi sosial-politik seseorang pada kaitannya dengan yang publik. Dapat diilustrasikan, sejatinya penyebar “aib pribadi” adalah si pelaku aib itu sendiri. Tatkala orang lain menggunjingkannya, tercipta praduga-praduga. Tapi mempelajari atau mempersoalkan “aib sejarah”, bukanlah mempergunjingkan “aib pribadi”, adalah perlu. Menelusuri terjadinya pertentangan antara nilai dan para penjaga atau pencetusnya. Dalam teks suci terdapat kata “uswatun khazanah” (teladan luhur), bukan “teladan suci”. “Uswatun khazanah” ialah perilaku luhur yang tak berkhianat, tak bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang diperjuangkan seseorang tanpa mengklaim kebenaran. Keimanan yang tak mengkafiri keharusan berbuat baik (amal saleh).
Dalam “Matinya Sang Teolog”, Borges menulis narasi perihal iman yang menjadi lazim, tak sakral, memprovokasi terjadinya perbuatan remeh yang palsu. Melancthon sang teolog, menyatakan pentingnya iman daripada perbuatan. Ia bicara surga dan ampunan yang hanya bisa diraih dengan iman, bukan perbuatan. Iman dan perbuatan bagai minyak dan air, tak bisa menyatu. Ia tak menyadari, dirinya telah mati, berada di luar surga. Pendirian Melancthon dalam teks Borges, adalah aib. Itu yang melatarbelakangi segala kejahatan dan kebejatan manusia atasnama agama yang diimaninya. Yang berteriak suci, niscaya ia tidak suci.
Memahami—atau mempersoalkan, perbuatan serong sebagai bentuk pengkhianatan seseorang terhadap “posisi suci”-nya, merupakan sikap kritis untuk menjawab keraguan pada nilai yang “dilembagakan” orang tersebut sebagai pertimbangan dan menakar akibatnya. Tapi menutupi aib dan akibat sosialnya (bukan peristiwanya) atasnama kesucian nilai (agama, ayat suci, moral) adalah biadab! Sehingga konsepsi gombal para “jagoan suci” yang penuh “aib sejarah” itu diyakini (atau diyakinkan) telah selesai. Abu Nawas menyerangnya.
“Salat tidak perlu ruku dan sujud. Dan raja adalah pemelihara fitnah terbesar!” ujar Abu Nawas.
Petugas istana menangkap Abu Nawas. Ia diadili para ulama kerajaan.
“Anda katakan salat tanpa ruku dan sujud. Anda sesat!” ujar ulama kerajaan.
“Salat mayat memang tidak perlu ruku dan sujud. Siapa yang sesat, saya atau Anda?” jawab Abu Nawas ringan.
“Anda juga mengatakan raja pemelihara fitnah terbesar!”
“Anda ulama-ulama yang tidak baca ayat suci. “Inna amwalukum wa awladukum fitnah” yang berarti “harta dan anak-anakmu adalah fitnah”. Raja memelihara harta dan anak-anaknya, bukankah ia adalah pemelihara fitnah terbesar, wahai Tuan-tuan ulama yang suci?”
Sindiran Abu Nawas itu membungkam “ulama negara”. Abu Nawas pun berlalu meninggalkan ruangan sambil bersiul-siul.
Muncar, 2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.