“Bukan obyek dan destinasi pariwisata!”
Seniman itu, biasanya, lebar kacamatanya. Jernih dalam membaca dan menafsir. Tajam pemikirannya, tidak majal. Kritis mengamati fenomena. Sensitif meraba perubahan. Visioner seperti motto Semen Padang. Piawai mengurai masalah, seperti dimottokan oleh Pegadaian, dan ‘nancap idenya, seperti dimaksudkan oleh motto majalah Tempo, dulu. Seniman itu, seperti yang sering saya sampaikan, meski terhimpit tapi harus di atas, meski terkurung tapi tetap di luar. Arif, bijak, dan cerdik cendekia.
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) mulai 1 April 2021, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2021 akan dikelola langsung oleh negara. Pastilah akan banyak perobahan revolusioner yang terjadi. Ia akan menjadi entry-point, sekaligus episentrum bagi semangat dan gerakan kebudayaan di negeri ini. Ia tak akan lagi biasa-biasa saja. Ia akan menjadi ‘titik api’ kebudayaan, dan tungku penghangat gairah berkebudayaan di negeri ini. Sepanjang hari, 24 jam.
Mengapa tidak? Lha, ia dikelola oleh negara, yang bertanggung jawab memaknai dan melaksanakan amanat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang diteken oleh Presiden yang kemarin meneken Perpres Nomor 19 itu. Jadi, sudah nyambung, logis, rasional, legal, faktual, kultural, moral, bahkan dari sudut politikal, dan segala yang al-al itu. Jika Pak Gubernur Jakarta punya TIM, masakke Pak Presiden Indonesia ‘nggak mau dan ‘nggak mampu membikin TMII sepuluh kali lebih hebat dari TIM?
Saat ini, para seniman dan budayawan dalam “Perhimpunan Seniman Indonesia”, tengah meracik bumbu pedas, pahit, asam, asin, kelat, manis. Tengah mengolah sajian sedap maknyus untuk dihidangkan kepada Presiden RI u.p. Menteri Sekretaris Negara, juga Komisi X DPR RI, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek, Dewan Kesenian Jakarta, dan berbagai lembaga pemerintah dan non pemerintah yang peduli terhadap kedakhsyatan TMII sebagai rumah kebudayaan, sebagai taman budaya nasional, sebagai ruang proses kreatif dan ekspresi para budayawan dan seniman.
Mereka tengah menyusun sejumlah resolusi, yang akan ditawarkan sebagai produk intelektual, dengan niat dan iktikad luhur sebagai elemen yang inheren dengan denyut nadi TMII, sebagai stake-holder yang tak ingin dipandang sebelah mata oleh keputusan dan kebijakan politik dan ekonomi, yang acap menyepelekan.
Sebagai jargon, ‘revolusi mental’ sudah dicanangkan bertahun-tahun lalu. Dan turunnya Perpres Nomor 19 Tahun 2021 patut dimaknai sebagai salah satu peristiwa budaya, atau, seorang sahabat menyebutnya sebagai ‘moment of luck’, takdir keberuntungan, yang akan mempengaruhi bergulirnya perubahan di banyak hal. Pemikiran, sikap, pandangan, dan tindakan. Tentu saja, ke arah yang lebih baik, lebih berpengharapan.
Tentu, TMII yang dimaksudkan sebagai obyek sekaligus subyek ‘moment of luck’ bagi gerakan revolusi mental budaya itu, bukanlah TMII yang dikelola sebagai destinasi wisata. Apalagi yang sekedar artifisial. Itu mah, terlalu kecil. Teramat sederhana. Seorang Siti Hartinah, sebagai penggagasnya pun tak pernah berpikiran demikian. Mosok, generasi sekarang malah mengerdilkannya hanya dianggap sebagai kawasan pariwisata. Akal sehat yang jernih tentu menolak TMII disama-sebangunkan dengan Borobudur, Mandalika, Danau Toba, Labuan Bajo, atau Raja Ampat.
TMII tak boleh membiarkan stempel ‘Kitsch’ terus menerus menempel di jidatnya, sebagaimana disebutkan oleh Goenawan Mohammad dalam kolom Catatan Pinggir-nya. Bagaimanakah caranya? Ia akan menjadi tidak ‘Kitsch’, jika namanya disegarkan menjadi, misalnya, Taman Budaya Indonesia, atau Taman Budaya Nusantara. Dengan demikian, esensinya, ruhnya, intinya, substansinya, hakekatnya adalah memuliakan manusianya. Dan kaum seniman dan budayawan adalah himpunan yang termasuk di dalamnya.
Jadi, TMII tidak lagi dipandang remeh sekedar sebagai artefak, fosil masa lalu, warisan zaman Orba, etalase, museum, show windows, gundukan bangunan hampa yang tidak bernyawa, jejeran warung pecel lele, California Fried Chicken, Snow Bay, Sky World, Taman Dinosaurus, dengan dipenuhi aktivitas klangenan yang sekedar renda-renda. Seakan-akan melestarikan, tapi malah mengkerdilkan. Seakan-akan Indonesia, tapi cuma malah sekedar Papua, atau Dayak. Seakan-akan kebudayaan, tapi malah cuma komoditas dagangan.
Perhimpunan Seniman Indonesia sedang menyusun gagasan, dan usulan. Mudah-mudahan didengar oleh birokrasi negara. Mudah-mudahan dipedulikan. Mudah-mudahan diorangkan. Mudah-mudahan. Mosok, sih, diabaikan, wong Pak Jokowi jadi Presiden juga didukung oleh banyak seniman!
*) Tatan Daniel, seniman asal Sumut yang kini menetap di Jakarta.