KEHIDUPAN PADA SEBUAH NISAN


A. Syauqi Sumbawi *

Puisi “Nisan” karya Chairil Anwar dalam buku kumpulan Aku Ini Binatang Jalang: Koleksi sajak 1942-1949” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1986), secara lengkap dituliskan sebagai berikut:

NISAN

– untuk Nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta

Oktober 1942
***

Istilah nisan menunjuk pada tonggak pendek, baik kayu maupun batu, yang ditanam di atas kubur sebagai penanda. Biasanya pada tanah pekuburan, nisan-nisan ditulisi dengan identitas singkat, yakni nama, kelahiran dan kematian si ahli kubur, untuk membedakan antara satu dengan yang lain.

Berbeda sedikit dengan arti nisan tersebut, puisi berjudul “Nisan” yang juga puisi persembahan penyair kepada neneknya (untuk Nenekanda), agaknya lebih mengarah pada keberadaan sebagai penanda hidup seseorang. Kisah perjalanan hidup seorang yang sangat berarti pada diri penyair.

Memang, ada rekaman tentang kematian di sana. Ada kesedihan dan duka yang mendalam. Dan lumrahnya, kesedihan dan duka itu meleleh bersama isak tangis keluarga dan kerabat dekat yang ditinggalkan. Benar-benar merasa kehilangan. Namun, sebenarnya bukan lantaran kematian yang niscaya bagi manusia, melainkan ada sesuatu yang lain, yang menusuk bagian diri paling dalam. Hal ini diungkapkan, yaitu… Bukan kematian benar menusuk kalbu/.

Yah, bukan kematian. Dan itu adalah jarak yang terbentang. Ada semacam sikap dan pandangan hidup yang berbeda, yang ditemukan penyair, antara dirinya (cucu) dengan neneknya. Antara kalangan muda usia dengan kalangan yang lanjut usia. Mungkin juga, antara yang tengah dalam pengembaraan dan proses menerjemahkan diri dengan seseorang yang sarat pengalaman dan telah sampai di fase terakhir hidupnya.

Konon, ada guyonan yang mengatakan, jika anak muda pikirannya tidak radikal, namanya tidak cerdas. Jika orang lanjut usia pikirannya tidak bijak, namanya tidak pantas. Terkait hal itu, mungkin Upin dan Ipin akan berkomentar, “tak patut, tak patut!” Entahlah. Akan tetapi, barangkali itulah perbedaan sikap dan pandangan hidup yang berjarak itu.

Pada larik kedua diungkapkan, yaitu… Keridlaanmu menerima segala tiba/. Tentang sikap batin si nenek terhadap takdir, yang menyiratkan iman dan ridla kepada-Nya. Sikap dan kesadaran untuk menerima segala ketentuan-Nya, yang menciptakan jarak dengan (aku) lirik atau seseorang yang tengah “menguak takdir”. Mungkin juga dalam kecenderungan filsafat eksistensialisme yang mengusung tema pokok, yaitu ada adalah subjektivitas, dan subjektivitas adalah kebebasan.

Dan jarak itu tidak hampa. Ada kedekatan dan ikatan emosional mengisi bentangan. Begitu pula, kenangan tentang hidup seseorang nenek, yang pada gilirannya membuka pemahaman tentang hidup, seperti diungkapkan pada larik ketiga, yaitu… Tak kutahu setinggi itu atas debu/.

Keridlaan manusia (debu) kepada Tuhan, yang agaknya juga dipahami sebagai keberadaan seseorang yang telah menjadi seperti apa dirinya. Kesadaran hidup, yang menjadi nilai dan yang melahirkan rasa hormat orang lain kepadanya. Kesadaran hidup yang mengarah pada keberadaan Dzat yang Maha, dimana pada pada larik terakhir dituliskan, yaitu… Dan duka maha tuan bertakhta//. Seperti menjelaskan hidup manusia yang tidak bisa lepas dari takdir-Nya.

Barangkali juga, tentang keberadaan-Nya yang selalu diuji oleh akal pikiran manusia. Sebelum menyerah. [*]

28 Mei 2021

*) Ahmad Syauqi Sumbawi, sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, kritik, dll. Sebagian karyanya dipublikasikan di media massa. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi: Dian Sastro For President; End of Trilogy (Insist, 2005), Malam Sastra Surabaya; MALSASA 2005 (FSB, 2005), Absurditas Rindu (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Laki-Laki Tanpa Nama (DKL, 2007), Gemuruh Ruh (2007), Kabar Debu (DKL, 2008), Tabir Hujan (DKL, 2010), Darah di Bumi Syuhada (2013), Pesan Damai di Hari Jumat (2019), Menenun Rinai Hujan (2019). Dan beberapa cerpennya dapat dibaca pada kumpulan: Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela, 2006), Bukit Kalam (DKL, 2015), Di Bawah Naungan Cahaya (Kemenag RI, 2016).
Sementara antologi tunggalnya: Tanpa Syahwat (Cerpen, 2006), Interlude di Remang Malam (Puisi, 2006), dan #2 (SastraNesia, Cerpen 2007). Novel-novelnya yang telah terbit: Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (2007), Waktu; Di Pesisir Utara (2008), dan “9” (2020). Sedangkan bukunya dalam proses cetak ulang “#2,” dan Limapuluh (kumpulan puisi) segera hadir. Selain menulis, juga berkebun, dan mengelola Rumah Semesta Hikmah, dengan kajian dibidang sastra, agama dan budaya, di dusun Juwet, Doyomulyo, Kembangbahu, Lamongan. Blog pribadinya https://syauqisumbawi.blogspot.com/

Leave a Reply

Bahasa »