MORA’ATANA MORA’ABINANGGA

MATRA KOMPLEKSITAS PADA NERACA KEHIDUPAN ORANG KAILI

Hudan Nur *

Sulawesi Tengah khususnya Palu memiliki ragam tersendiri untuk menjaga keseimbangan alam seiring perjalanan bumi yang semakin menua. Diakui atau tidak, Palu (masih) beranjak remaja ke arah Megapolitan. Terlepas dari adat dan keseharian orang kaili, Kota Teluk Palu memiliki eksotitas yang khas dibandingkan daerah lain di Indonesia (umumnya) sebab Palu terlahir dari alam yang membentangkan pantai, lembah, dan gunung. Kecantikan Palu yang adanya mau (tidak mau) lambat laun tercemar oleh peradaban manusia yang semakin berkembang, kini Palu mulai mengenal lipstik dan beberapa jenis kosmetik luar. Kota ini terhunus kemajuan, ditambah lagi manusia yang makin egois dalam memanfaatkan alam.

Kehidupan terus bergulir seiring perputaran zaman, ada kalanya manusia berada di puncak tertinggi dan ada kalanya terluncur ke jurang nista. Orang kaili sebagai penduduk asli di Palu percaya harus ada ritual yang dilaksanakan untuk membumikan bala yang sengaja (tidak) dilakukan manusia di muka bumi. Dikenal, matra peringatan bagi manusia untuk tanah dan air sebagai sumber terpenting dalam berkehidupan.

Ritual orang kaili berlaku apabila ada ombu nungata yakni sebuah pemberlakuan ketika ada hal-hal yang merusak alam yang dilakukan manusia, ini merupakan hukum desa dalam melaksanakan nuada atau hukum adat. Ritual ini dipimpin oleh tetua nuada (ketua adat) dengan cera atau mencecerkan darah hewan sembelihan ke mora atana (tanah) dan mora abinangga (sungai) diikuti dengan pembacaan mogane (mantra-mantra) serta benda-benda adat termasuk sesajen agar rotasi kehidupan terus berputar seiring keseimbangan antara sisi minus dan sisi plus. Ada proses dialogis antara tertua nuada dan penjaga tanah pun air selama mogane dibacakan.

Di sisi lain, proses rotasi kehidupan dalam artian ladang berpindah juga terus dilakukan orang kaili dalam rangka menjaga keseimbangan alam agar tetap harmonis. Agar dinamika kehidupan tetap berkesinambungan dan masih bisa bertahan hingga anak-cucu kelak hadir di bumi kaili. Sistem berpindah ini kerap disebut moraha. Penduduk asli sering melakukan hal demikian dalam mempertahankan dan menyeimbangkan alam hingga kini.

Ada yang lebih kompleks dalam memaknai paham keseimbangan oleh penduduk setempat, khusunya yang menetap di tepi pantai dan laut yakni mompaura. Ritual kompleks untuk penyembuhan segala macam bala yang diturunkan ke muka bumi untuk dihanyutkan ke laut lepas tepat dini hari setiap tahunnya. Sebelum ke ritual mompaura ada beberapa tahapan yang harus dilaksanakan, bahkan berbulan-bulan sebelumnya dalam rangka penerimaan mompaura oleh alam. Pensucian lewat do’a-do’a (notoba) dilakukan setiap jum’at dalam peringatan oleh manusia dengan kesadarannya bahwa setiap diri (kita) memiliki kesalahan baik segaja ataupun tidak. Upacara demikian lebih ditekankan untuk pengobatan dan tolak bala.

Dirasa atau tidak kehadiran budaya dalam mewarnai kehidupan menjadi sangat penting untuk memaknai dan mengingatkan manusia agar tidak berlaku sewenang-wenang terhadap alam. Di beberapa tempat di Indonesia juga mempunyai ragam yang hampir mirip dengan ritual (upacara) adat setempat oleh orang Kaili. Betapa tidak, budaya dan adat demikian meskipun bagi kalangan tertentu tidak penting tetapi dari budaya dan adat yang beraneka ragam inilah kita dapat klasifikasi kekhasan dalam menunjukkan ciri suku bangsa dalam euforia kehidupan. Sebab sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan sekaligus kelebihan, manusia seyogianya membumikan bumi dengan keseimbangan yang semakin tidak seimbang ini dengan akalnya, karena tidak ada diantara kita yang tahu kapan bumi ini akan habis masanya. Sedangkan dimana-mana kebengisan dan keserakahan manusia semakin menggila. Tanpa sedikitpun mempertimbangkan kehidupan sebelah (alam sesungguhnya) sebagai pemilik sah perjalanan bumi. Sesungguhnya, orang kaili yang bermukim di gunung dengan mempertahankan hidupnya dengan moraha penting eksistensinya dalam pembermaknaan ekosistem lingkungan agar terus berlangsung.

Namun tidak ada jaminan sampai kapan moraha bisa bertahan di tanah kaili sebab roda peradaban manusia semakin laju berputar dan menggerus pemikiran manusia untuk berpaham ekonomis dengan mendayagunakan alam sebagai pemuas sekaligus pemerkayaan diri. Entah!
***

*) Hudan Nur, lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan 23 Nopember 1985. Karya-karyanya disiarkan pada; Untaian Mutiara RRI Nusantara, Banjarbaru Post, Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Buletin Rumah Sastra Bandung, Tabloid Realitas, Buletin Sloka Tepian, waTas Media, Rakat Media (Sekolah Tinggi Teologia Gereja Kalimantan Evangelis) bekerjasama dengan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Bulletin Alliance BenKilTra, Lampung Post, Majalah Gong, Sinar Harapan, Republika, Suara Karya, Sinar Kalimantan, Radar Sulteng, Media Kalimantan, Media Alkhairaat, Mercusuar, Majalah Sastra Horison.

Leave a Reply

Bahasa »