Taufiq Wr. Hidayat *
Suatu ketika, sebuah kendi di dalam dadamu meneteskan air. Tepat ketika dengan dahaga menyambut duka yang tiba. Tapi pada gerimis kecil dalam puisi ini, tiada henti yang dinanti.
Suatu ketika, lampu-lampu dalam mimpi kotamu dipadamkan. Tepat ketika matahari mengirimkan debu waktu. Ada selembar surat yang melayang tanpa alamat, tergeletak di tepi jalan itu. Entah berapa saat sudah, musim-musim menghuni abad, dan gemuruh selalu berderu terus berderu dalam dadamu.
Suatu ketika, segala kehilangan hanya sebuah kemungkinan. Dan segala kemungkinan menjelma pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah meminta jawaban. Tepat ketika malam membawakan sebuntal mimpi, lelah dan gelisah istirah dalam desah yang entah hingga pukul berapa.
Dan segala yang telah kau persembahkan, suatu ketika menjelma sekuntum bunga. Padang-padang kerinduan. Mata air-mata air pencerahan.
Tepat ketika kita bercerita perihal sejarah, kenangan berhujan, dan mata yang selalu menyimpan awan. Bagai kembali ke dalam waktu: meja-meja kerja, jendela berdebu, dan yang membiru di dalam rindu.
Musim-musim mengabadikan yang hilang, melewati tikungan jalan di dalam ingatan samar yang gemetar.
Percayalah, bisik seseorang. Suatu ketika, segala luka-derita menjelma bunga sepatu yang merahnya semerah senja. Duka hanya selintas, berkelebat di jalan itu, tapi menyisakan ingatan yang tak pernah terselesaikan. Gunung kehendak. Sungai usia. Batu-batu tenggelam di situ, seangkuh rinduku.
Surat-surat tanpa alamat, foto-foto, catatan-catatan, sepatu, buku-buku, rak-rak berdebu, menceritakan kita yang dikunyah ketidakpahaman-ketidakpahaman dalam waktu. Ada yang menghuni di balik jendela yang selalu terbuka ketika senja, berdiam dalam kekal duka. Tak dapat diterka sebelum kata-kata.
Di petang yang basah, kau kembali kutemui dalam tak ada. Halaman pohon mangga. Ruang tamu yang berdebu. Kesadaran menjelma ke balik selambu. Laksana hujan yang luruh di jantung lagu jalanan penjelang malam yang diperdengarkan entah oleh siapa.
Dari sisi mana lagi aku mesti kembali? Sebab di segala sudut segala, cuma kamu belaka.
Kita memahami sunyi yang menciptakan puisi dari kata yang kadang tak dimengerti. Kita kembara, mencari apa yang tak pernah ada. Atau menemukan kembali segala yang pergi di tengah ladang musim hujan. Menemukan yang mendesah sebelum kata, yang tegak sebelum kehendak.
Harapan sederhana. Sayap camar, pohon-pohon cemara. Pelabuhan ikan yang seringkali sendiri, seperti nelayan. Bahunya dibakar matahari. Menjaring waktu yang berwarna ungu pada pintu yang tak selalu gaduh.
Pada petang yang gelisah. Kau selalu kuhikmati, bagai menanam jeruk di kesuburan ladang rindumu. Jambu biji dan daun-daun sirih. Jambu air dan musim hujan berkisah tentang kembara-kembara, kemudian menghapusnya kembali di muka bumi dengan muskil gerimis yang manis. Bunga-bunga turi, suara-suara yang baka.
Kita perlakukan derita jadi bunga. Mengaduk secangkir air mata menjadi kopi. Untuk mengerti cara mendiami sunyi dengan rasa terima kasih dan seiris roti.
***
Berangkat senja. Orang-orang berlalu. Warna waktu. Langit-langit jiwa. Segala kelana meniru rindu. Menjelma luruh. Dingin dari angin, perih dari sunyi, derita tanpa air mata, duka tak bisa berkata-kata.
Dan berangkatlah senja. Desah yang mengasing, mendatangi lagi ruang hati dengan ketabahan bumi. Percakapan-percakapan bagai dihentikan. Kembara laksana segaris waktu di pipi usia. Bahagia tanpa tertawa.
Harum bumi dan daunan sehabis hujan. Rahang dari lautan. Perjalanan.
Berangkat senja, renung telah menggunung, semesta tubuh terurai dari bisu, menggelantung murung. Berangkat pun senja, mau pulang pada malam yang menebal. Detak sepi merias diri, ada yang menjelma dan terus melintas. Sepotong bayangan, diam mencuri gagasan. Dan jaman terus berkebutan meninggalkan tiap-tiap kecemasan. Kita memberikan penawaran terhadap tiap penderitaan. Seperti kesabaran.
Alangkah jauh perjalanan ini. Angin, kabut jalan. Mata yang berawan. Jarum arloji jatuh di gelung cemas dan gundah-gulana. Gerimis. Malam memandangku dengan lampu-lampu kekuningan. Wajah-wajah pucat dan tangan-tangan yang lembayung.
Sebentar lagi kita berganti tempat dan warna, merubah singgah dan menyertakan kenangan, meninggalkannya jauh dan lengang. Juni meleleh dalam hujan. Harapan-harapan yang jauh dan berkarat dalam kesunyian. Aku ingin bermimpi menulis puisi di tepi danau senja hari. Masih mungkin lagikah kita kembali mengganti jalan pulang, membungkus baju-baju, mengemasi ingatan, menata perabot-perabot, dan menciptakan kembali kenangan-kenangan?
Tapi bulan telah meleleh ke balik mendung, menjelma pertanyaan. Kita akan mendiami kerinduan, lalu memaketkan pertanyaan-pertanyaan panjang tanpa alamat dan tujuan. Harapan memfosil dalam puisi, bunga yang putih, dan sunyi menempel di jarum-jarum arloji.
Ada desah yang agung, kekasihku. Pandanganmu yang dalam, bagai pandangan seekor lembu. Tatapan berhujan. Dan mata air yang mengalir, menciptakan sehelai sungai yang mungil di situ.
Hujan tiba. Menegur kesah. Sebab luka ke tiap kata. Adakah ia yang kau namakan derita, membawa cerita tak kunjung pada.
Lewati musim bunga, sungai-sungai usia. Angin menggoda waktu, menyentuh ujung hidungmu.
Kota-kota berderai gerimis. Jendela-jendela angin yang tipis. Januari demi Januari menguntumkan bunga dalam dadamu. Rindu kandas di alis pintu. Tapi di sana kegaduhan pun ditidurkan, seperti kelelahan yang tak terjelaskan.
Karang laut yang tegar, gelombang bergetar. Menculik hatimu ke palung waktu. Bersembunyi di balik rindu. Mendesah dalam keagungan yang tak pernah selesai dikenangkan.
Rahang pertanyaan dan badai pergantian. Derita dan jenaka. Bermuara dalam kata, bercerita desah manusia dari segenap sua. Dari segala kembara. Dari segala dera, dari segala yang tak kunjung ditemukan batasnya.
Sebab bunga. Berlayar kembara. Menyindir petaka. Dalam hujan malam-malam, dan di lubuk sajak ini, yang tiada senantiasa menjelma.
Akhir bulan. Dan kunang-kunang yang beterbangan di dalam gelap. Pada mimpi. Hari-hari yang tak dimengerti. Perih di jarum arloji.
Tapi lampu-lampu kota. Bagai menyepuh segala keluh, mengekalkan ingatan. Mereka yang pernah memandang hujan dalam desah penantian. Percintaan kita, kesunyian dan duka-lara kita. Sejarah dan segala kepalsuan kita. Batu-batu. Kepergian demi kepergian. Malam terbenam di antara dinding-dinding asing. Dingin. Dan berdebu selalu.
Bangku-bangku itu. Juga rindu. Tetapi dalam kota, orang-orang terjebak jalan raya. Kerja dan makan. Suara-suara teriak. Juga ramai di dalam dada. Persenggamaan purba. Kita mengais sisa dari nestapa. Dari yang hilang dengan sangat tiba-tiba.
Orang-orang beranak-pinak bagai ternak. Akal-pikiran diproduksi dalam mesin uang dan wabah , tagihan bulanan, politik menjelma gir dan mesin senso.
Namun dalam hujan. Kau kuimpikan, wahai mata yang teduh. Mata yang dalam, yang menyimpan pandangan mata seekor lembu. Dan rindu. Bagai membawa serta ransel dan kopor tua dari dalam peta masa kecil manusia. Dalam desahmu yang agung, malam pun terus dibenamkan ke dalam jantungku.
Tembokrejo, 2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.