Agus Dermawan T
Suara Pembaruan, 15 Juli 2007
Rumah itu terletak di pojok jalan yang sunyi. Sebuah rumah kuno berlantai dua yang dibangun pada zaman Belanda, dengan arsitektur bergaya Art Nouveau yang menyisakan pesona. Namun sebagus-bagusnya desain bangunan, temanku berkisah, para penghuni rumah loteng itu dalam setiap pergantian zaman selalu saja terkena musibah. Lantaran begitu seringnya, ihwal musibah ini menjadi bahan tutur-tinular bagi orang-orang di sekitarnya.
Aku pernah mendengar memang, konon pada bulan Agustus tahun 1942, rumah loteng itu yang dihuni lelaki Tionghoa bernama Hong Bun itu digerebeg seregu serdadu Jepang.
“Kalau saya diusir dari rumah ini, ke mana saya harus berdiam? Saya hidup sendirian. Saya tak punya keluarga. Saya sudah tua!” seru Hong Bun.
Para serdadu Jepang tentu tidak peduli dengan apa yang dikatakannya. Dari luar rumah terdengar ucapan-ucapan yang terdengar kasar bersilangan. Namun di balik kekerasan, sekali-sekali terdengar kata-kata serdadu yang menyatakan bahwa rumah itu bagus. Interiornya indah. Lantainya bersih. Pemiliknya mempunyai selera yang manis, sehingga di dalam rumah banyak bunga yang tertanam dalam pot, dan di sejumlah meja terpajang ikebana. Meski di ujung pujian tadi sering menyusul ucapan lain yang menyesakkan. Di antaranya yang menegaskan bahwa rumah lelaki tua itu akan disita.
Beberapa hari setelah penggerebegan konon rumah tersebut telah berganti penghuni. Pergantian penghuni ini ditegaskan oleh sebuah koran Jepang yang memuat berita berjudul : “Hong Boen mengasi roemahnja oentoek Pengoeasa Asia Timoer Raja”. Di dalam berita itu termuat foto lelaki berusia 73 tahun. Foto Hong Bun. Ia nampak berpakaian piyama. Wajahnya pasi. Rambut putihnya mendukung keputus-asaan yang terpancar luar biasa.
“Kakekku masih menyimpan koran yang memuat foto itu. Nih, lihat,” temanku menunjukkan selembar koran tua.
Aku takjub. Sambil menunjukkan foto di koran, si teman berkata, konon, beberapa minggu setelah masuk koran, Hong Bun meninggal dunia karena serangan jantung. Orang-orang Jepang dengan khidmat memakamkannya. Bahkan Matzuda san, pimpinan serdadu Jepang di wilayah itu, menaruh satu pot tanaman hostas, jenis tanaman kesukaan Hong Bun, di sebelah batu nisannya.
Jepang pergi dari Indonesia tahun 1945, penghuni rumah loteng itu sudah berganti pula. Sahibul hikayat mengisahkan bahwa musibah kembali datang ke rumah itu untuk kali kedua. Wabah malaria yang bergolak di tahun 1953 akhirnya masuk pula ke celah-celah pintu. Penduduk kampung di sekitarnya sering mendengar ada rintihan orang demam di dalam rumah loteng yang selalu tertutup itu. Siang-siang sampai malam-malam. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan.
“Kakekku selalu mengamati cahaya lampu lewat ventilasi. Kakek bertutur, apabila lampu itu terus menyala di siang dan malam hari tanpa jeda, itu pertanda bahwa penghuni rumah telah tiada. Aaa, kakekku benar kiranya. Pada suatu hari kakek melihat ada beberapa orang mengusung seorang lelaki tua dengan tandu dari situ. Meski sakitnya lama dan tak terurus, piyamanya masih kelihatan bersih,” kata seorang teman dengan nada bersungguh-sungguh.
Siapa penghuni selanjutnya, orang tak begitu tahu. Yang mereka tahu hanyalah kabar bahwa pada tahun 1959 di dalam rumah itu kembali terjadi keributan. Oleh sejumlah orang dari luar kota penghuni rumah itu diajak untuk “pulang” ke Tiongkok. Dari luar rumah terdengar betapa kuatnya penghuni rumah itu menolak.
“Saya sudah jadi orang Indonesia. Saya cinta Indonesia. Kenapa harus dipaksa hidup di Tiongkok. Saya tidak mau.”
Tapi paksaan orang-orang itu sangat kuat.
“Ini semua berkait dengan Peraturan Pemerintah nomor seratus yang membatasi gerak warga Tionghoa di Indonesia. Sementara, lihat, pemerintah Tiongkok memberikan tempat bagi kita di sana. Enak ‘kan?! Apalagi Oom cuma hidup sendirian,” kata seseorang di dalam.
“Tapi saya tetap tidak mau,” kata lelaki tua itu.
“Tenang saja, Om. Nanti akan ada kapal Tiongkok yang menjemput kita. Di sana kita diberi tanah luas untuk hidup bahagia,” tegas sejumlah pemaksa.
Beberapa bulan kemudian ada yang mengabarkan bahwa lelaki tua itu meninggal di Kweilin, Tiongkok, dalam keadaan sangat miskin. Konon, sejak menginjak tanah Tiongkok ia telah menderita sakit berat. Penderitaan itu tumbuh dari jiwanya yang shock, lantaran seluruh harta benda yang ia bawa dari Indonesia diminta paksa oleh para awak kapal ketika dalam perjalanan di lautan. Bahkan setumpuk piyamanya pun disita, dan ditular dengan sepotong baju buruh berbahan kasar yang sungguh tak nyaman dikenakan.
Waktu berjalan memadatkan catatan. Siapa kemudian penghuni baru rumah loteng itu, aku tak pernah sempat bertanya. Sampai akhirnya datang ke telingaku sebuah konon yang lain. Pada bulan Desember 1965 rumah itu tiba-tiba digedor-gedor sekelompok orang. Dikatakan oleh orang-orang tersebut bahwa si penghuni rumah menyembunyikan seorang buron di atas loteng. Si penghuni rumah tak mengaku, lantaran ia memang merasa tidak menyembunyikan sesuatu.
“Untuk apa saya yang setua ini bermain api politik,” tukasnya.
Tapi orang-orang itu tetap bersikeras, sambil menggeledah dan merusak sudut-sudut rumah serta sebagian isinya. Setelah kehebohan surut, si penghuni rumah konon dibawa ke suatu tempat. Aku tak tahu cerita selanjutnya. Ada yang melihat pada suatu kali lelaki tua itu bersama puluhan pesakitan lain digiring massa bersenjata menuju ke pantai yang asing dan tanpa cakrawala. Dengan piyamanya yang rapi ia pergi dan tak pernah kembali.
***
Barangkali karena bentuknya yang khas dan menyimpan sejarah masa lalu, rumah loteng itu secara serta merta lantas dijadikan landmark atau penanda wilayah oleh banyak orang.
Dengan keterkenalannya, rumah loteng itu diam-diam jadi mitos. Dan dengan para penghuninya yang berkurun tahun tak pernah bergaul dalam komunitas, rumah loteng diam-diam menyimpan aura yang mengundang aneka nuansa cerita. Keterkenalan semacam inilah yang menjadikan Ketua RT di lingkungan itu dari kurun ke kurun memelihara misterinya. Si penghuni rumah sengaja tidak pernah diusik, tidak pernah disapa, apalagi didata.
Tetapi, percaya atau tidak, kumpulan cerita itu menyebabkan sejumlah teman menjadi kecut. Bahkan orang- orang di sekitar situ juga menjadi sedikit gamang. Kegamangan orang-orang sekitar dikhawatirkan berpengaruh kepada semua orang yang lewat. Untuk menghilangkan rasa kecut orang-orang sekitar dan orang yang akan lewat, sejumlah teman lantas mendirikan gardu di seberang rumah itu. Di gardu tentulah sering orang berkumpul, sambil pandangannya sekali-sekali menyapu pintu loteng yang tidak pernah terbuka. Atau memandang pintu utama di lantai bawah yang nyaris tidak pernah kelihatan terkuak. Eh, siapa tahu si penghuni rumah muncul, dan melambai menyapa?
“Aku tidak tahu siapa yang menghuni rumah itu sekarang. Tapi setelah peristiwa akhir tahun 1965, konon ada kejadian lain yang selalu menggoda tidurku,” cerita seseorang di gardu itu dengan pantomimik meyakinkan.
Katanya peristiwa itu dimulai pada tanggal 13 Mei 1998. Pada sepotong pagi buta penghuni rumah itu pergi. Setelah berjalan tertatih di jalanan yang gerompal aspalnya, ia sampai ke tepian jalan raya. Di situ ada yang melihat ia menyetop kendaraan yang menuju Jakarta. Ia memang sering ke Jakarta, dan memang berangkat pada pagi buta. Sering pada beberapa jam setelah matahari tenggelam ia baru pulang.
Pada hari itu Jakarta rusuh dan jadi lautan api. Beratus-ratus rumah dan toko, terutama milik orang-orang Tionghoa, dijarah dan dibakar. Ribuan kendaraan dijadikan arang. Banyak orang terluka. Banyak orang terbunuh di tengah kekacauan. Konon, lelaki penghuni rumah itu adalah termasuk salah satunya. Tapi, bolehkah aku begitu saja percaya?
“Ada kawan yang melihatnya di televisi. Katanya ia memang mati. Mayatnya ditemukan di jalan Kalimati,” kata seorang teman.
“Sumpah, aku meragukannya,” kataku.
Namun keraguanku dipangkas oleh cerita lain. Konon beberapa minggu setelah kejadian yang jahat dan memilukan itu, pada suatu senja datang serombongan orang ke rumah lotengnya. Dengan sebuah mobil pick-up mereka mengangkuti barang-barang.
“Ketika menata benda-benda berharga itu konon ada seseorang yang berkata : hati-hati, ini benda-benda peninggalannya yang paling berharga! Nah, kata peninggalannya, bukankah berarti penghuni rumah itu telah tiada?” sambungnya.
***
Sore itu semilir. Pohon kapuk besar yang berdiri menaungi gardu terasa sedikit bergoyang. Lalu ratusan buahnya yang sudah merekah nampak digamit oleh angin, dan ditaburkan ke udara. Kapuk-kapuk itu pun bertebaran, melayang-layang ringan di angkasa dengan indahnya. Aku membayangkan salju yang turun, seperti sering kulihat di film-film Amerika. Bahkan temanku membayangkan dirinya berada di New York, pada suatu malam menjelang Natal 2007 tiba.
“Ada kapas salju yang besar!” aku berseru sekonyong-konyong. Mataku lalu terus mengikuti ayunan kapuk yang besarnya segenggaman tangan. Melayang-layang indah, perlahan, bagai perjalanan perahu di ketenangan laut lepas. Kapuk itu terus berayun dan dengan enteng menuju kerendahan, untuk kemudian secara lembut mendarat di suatu tempat. Di teras loteng! Nah, di teras tersebut mataku tertumbuk sesuatu.
“Penghuni rumah itu! Lihat lelaki tua berpiyama itu. Ia keluar dari pintu lotengnya…,” aku berbisik tegang.
“Benar, rambut putihnya!” kata temanku dengan mulut ternganga.
“Tidak salah. Itu dia!” kata beberapa teman lain yang ada di gardu.
Dalam suasana diam kami lalu mengamati tingkah laku lelaki tua itu. Kami melihat langkah tuanya yang tertatih. Kami menyaksikan tangan rentanya yang bergetar menaruh pot kecil berisi tanaman di pinggiran teras loteng. Kemudian ia masuk lagi ke rumahnya, dan keluar lagi dengan pot lain berisi tananam yang berbeda. Kegiatan itu dilakukan berulang kali, sampai akhirnya tak kurang dari duapuluh pot berisi tanaman daun talas, kuping gajah, asparagus ia pajang di teras lotengnya itu. Tak ketinggalan tanaman hostas dengan berbagai jenisnya, dari siebol diana, montana sampai undulata.
Ketika ia tahu bahwa kami semua memperhatikannya, sebelum masuk kembali ke rumahnya, lelaki tua beruban itu sedetik tersenyum kepada kami, dengan tangan yang melambaikan tabik.
“Dia Hong Bun. Dia Hong Bun…! Dia yang ada di foto koran Jepang itu…!” teriakku tertahan.
Sore itu mendadak jadi dingin, lengang dan membekukan udara. Aku tahu, seluruh isi gardu diam seribu bahasa.
***
Jakarta, 1/7/07