FUNGSI APRESIASI SASTRA (6)

Djoko Saryono *

Sebelumnya sudah dikemukakan bahwa apresiasi sastra bertujuan menyelenggarakan perjamuan dan percakapan imajinatif-literer agar terhidang atau tersuguh (i) pengalaman, (ii) pengetahuan, (iii) kesadaran, dan (iv) hiburan. Agar tujuan ini tercapai, apresiasi sastra mengemban fungsi tertentu. Di sini fungsi merupakan suatu jalan atau wahana tercapainya tujuan-tujuan apresiasi sastra. Diselaraskan dengan tujuan yang akan dicapai, fungsi apresiasi sastra juga dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu (i) fungsi eksperensial, (ii) fungsi informasional, (iii) fungsi penyadaran (konsientisasi), dan (iv) fungsi rekreatif. Keempat fungsi ini diulas berikut ini.

Fungsi Eksperensial

Apresiasi sastra mengemban fungsi eksperensial (experiencial), yaitu fungsi menyediakan, menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan pengalaman-pengalaman manusia kepada pengapresiasi sastra agar ia dapat menjiwai, menghayati, dan menikmati pengalaman-pengalaman manusia itu. Di sini ditekankan makna pengalaman, bukan faktanya yang real life karena sastra memang tidak merawat dan memperjuangkan fakta, melainkan makna pengalaman manusia. Dengan demikian, yang disediakan, ditawarkan, disuguhkan, dan atau dihidangkan apresiasi sastra bukanlah (pem)berita(an) pengalaman manusia, melainkan permenungan pengalaman manusia. Konsekuensinya, yang dijiwai, dihayati, dan dinikmati oleh pengapresiasi sastra ialah makna pengalaman manusia yang dapat dijadikan permenungan.

Sejalan dengan itu, apresiasi sastra harus mampu menjadi penyelenggara permenungan tentang makna pengalaman manusia dan pembimbing pengapresiasi sastra untuk melakukan permenungan tentang makna pengalaman manusia. Sementara itu, karya sastra harus bisa menjadi tambang permenungan dan layar proyeksi berbagai makna pengalaman manusia. Dengan demikian, pengapresiasi sastra mampu menjiwai, menghayati, dan menikmati makna pengalaman manusia yang didulangnya sendiri dan diproyeksikan oleh sastra. Selanjutnya ia mempermenungkannya agar ikatan batinnya dengan hidupnya sendiri kembali kukuh.

Sebagai contoh, novel Belenggu harus bisa menjadi tambang permenungan dan layar proyeksi berbagai makna pengalaman; pengalaman estetis, etis dan moral, humanistis atau lainnya. Jika berlangsung apresiasi novel Belenggu, maka keberlangsungan ini harus merupakan penyelenggaraan permenungan tentang makna pengalaman yang bisa ditambang dari dan diproyeksikan oleh Belenggu. Dalam pada itu, pengapresiasi Belenggu perlu melakukan penjiwaan, peng-hayatan, dan penikmatan serta selanjutnya permenungan tentang makna pengalaman yang bisa ditambang dari dan diproyeksikan oleh Belenggu; mungkin yang ditambangnya makna pengalaman literer-estetis, mungkin juga yang diproyeksikan oleh Belenggu makna pengalaman Sukartono, Sukartini, dan Rochayah.

Pengalaman manusia yang bisa ditambang oleh pengapresiasi dari karya sastra dan diproyeksikan oleh karya sastra kepada pengapresiasi sangat beraneka ragam. Keanekaragaman ini disebabkan oleh subjektivitas apresiasi sastra itu sendiri. Itu sebabnya, mustahil kita bisa mengidentifikasi pengalaman manusia secara lengkap. Yang bisa diidentifikasi terbatas pada pengalaman-pengalaman yang lumrah diperoleh oleh manusia, yaitu pengalaman literer-estetis, etis dan moral, psikologis, humanistis, filosofis, religius-sufistis-profetis, magis-mitis, sosial budaya dan sosial politis. Tentu saja harus diberi catatan bahwa di sini makna pengalaman-pengalaman itu yang penting, bukan fakta empirik dalam suatu real life meskipun bisa saja demikian.

Pada waktu apresiasi sastra berlangsung, makna pengalaman apa yang dijiwai, dihayati, dan dinikmati untuk selanjutnya dipermenungkan pengapresiasi? Hal ini sepenuhnya bergantung pada kepekaan dan ketajaman nurani, rasa, dan budi pengapresiasi sastra; juga bergantung pada kadar penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan pengapresiasi sastra. Apresiasi sastra an sich hanya berfungsi menyediakan, menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan pengalaman manusia dengan cara menyelenggarakan permenungan tentang makna pengalaman manusia.

Fungsi Informasional

Apresiasi sastra juga mengemban fungsi informasional, yaitu fungsi menyediakan, menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan pengetahuan-pengetahuan kepada pengapresiasi sastra agar ia dapat menjiwai, menghayati, dan menikmati pengetahuan itu. Sudah tentu pengetahuan di sini juga ditekankan pada maknanya, bukan pada fakta empirisnya meskipun hal itu dimungkinkan juga. Hal ini berarti bahwa pengetahuan yang masih terbuka untuk dimaknai, bukan pengetahuan diskursif (tertutup) yang harus dipahami. Konsekuensinya, pengapresiasi sastra harus memaknai pengetahuan itu, bukan memahaminya.

Sebab itu, yang ditawarkan, disediakan, disuguhkan, dan dihidangkan oleh apresiasi sastra berupa pengetahuan yang masih dilukiskan, bukan pengetahuan yang diformulasikan – acap disebut pengetahuan tersembunyi (tacit/implicit knowledge). Artinya, pengetahuan yang belum disimpulkan dan dirumuskan, tetapi masih terceritakan dan terjabarkan. Misalnya, ketika membaca novel-novel Iwan Simatupang, kita yakin novel-novel itu mengandung pengetahuan tentang eksistensialisme. Namun, pengetahuan tentang eksistensialisme ini belum disimpulkan dan dirumuskan, masih terceritakan dan terjabarkan dalam struktur atau tekstur novel. Ini berarti pengetahuan tentang eksistensialisme masih terlukiskan. Tugas pengapresiasilah untuk menyimpulkan dan merumuskan berbagai pengetahuan eksistensialisme itu. Itulah sebabnya, dalam apresiasi sastra, pengapresiasi harus memaknai lukisan pengetahuan yang terkandung dalam sastra melalui radar-radar nurani, rasa, dan budi agar ia memperoleh makna pengetahuan itu.

Sejalan dengan itu, apresiasi sastra menjadi penyelenggara pemaknaan lukisan pengetahuan dan pengapresiasi menjadi pelaku pemaknaan lukisan pengetahuan. Dalam pada itu, karya sastra diperlakukan sebagai mengandung lukisan pengetahuan. Sebagai contoh novel Para Priyayi (Umar Kayam) sebagai dunia-kewacanaan perlu diperlakukan sebagai mengandung lukisan pengetahuan. Pengapresiasi Para Priyayi menjadi pelaku pemaknaan lukisan pengetahuan dalam Para Priyayi. Keberlangsungan apresiasi novel Para Priyayi sendiri merupakan penyelenggaraan pemaknaan lukisan pengetahuan dalam novel Para Priyayi.

Lukisan pengetahuan apa saja yang terkandung dalam sastra dan yang disediakan, ditawarkan, disuguhkan, dan dihidangkan oleh apresiasi sastra? Kita tidak bisa menjawab hal ini secara lengkap dan pasti. Hal ini sepenuhnya bergantung pada kepekaan dan ketajaman nurani, rasa, dan budi pengapresiasi; juga bergantung pada kadar penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan pengapresiasi atas lukisan pengetahuan dalam (dunia-kewacanaan) sastra. Yang dapat diidentifikasi oleh orang hanyalah pengetahuan-pengetahuan lumrah pengapresiasi sastra, misalnya pengetahuan literer-estetis, etis dan moral, filosofis, psikologis, humanistis, religius-sufistis-profetis, sosial budaya, dan sosial politis.

Fungsi Penyadaran

Di samping fungsi eksperensial dan informasional, apresiasi satra juga mengemban fungsi penyadaran (konsientisasi), yaitu fungsi menyediakan, menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan sinyal-sinyal kesadaran tentang pelbagai kehidupan kepada pengapresiasi sastra. Setelah itu, si pengapresiasi diharapkan menyadari sesuatu, misalnya hakikat hidup, hakikat manusia, kewajiban hidup, tanggung jawab manusia, dan kebebasan hidup serta makna menjadi manusia. Sesuatu sebagaimana tersebut belumlah tersimpulkan dan terformulasikan, melainkan terlukiskan dalam (dunia-kewacanaan) sastra. Dengan demikian, yang disediakan, ditawarkan, disuguhkan, dan dihidangkan oleh apresiasi sastra kepada pengapresiasi sastra adalah lukisan sesuatu (dalam dunia-kewacanaan sastra) yang memberikan sinyal-sinyal kesadaran yang perlu ditangkap, disimpulkan, dan diformulasi oleh nurani, rasa, dan budi pengapresiasi.

Sejalan dengan itu, apresiasi sastra dapat diperlakukan sebagai penyelenggara penyadaran bagi pengapresiasi dan pengapresiasi sebagai sosok yang sudi menerima penyadaran. Dalam hal ini, karya sastra dapat diperlakukan sebagai pengumpan dan pemberi sinyal-sinyal kesadaran. Sebagai contoh, cerpen Robohnya Surau Kami (A.A. Navis) dapat diperlakukan sebagai pengumpan dan pemberi si-nyal-sinyal kesadaran bahwa beribadah bukan hanya shalat dan mengaji di surau, melainkan juga bekerja tekun di kantor, beramal nyata, berbuat baik kepada orang lain, dan kasih kepada sesama. Pengapresiasi cerpen Robohnya Surau Kami dapat diperlakukan sebagai sosok yang sudi menerima penyadaran akan makna ibadah sebagaimana dipancarkan oleh cerpen Robohnya Surau Kami. Proses apresiasi cerpen Robohnya Surau Kami dapat diperlakukan sebagai penyelenggaraan penyadaran terhadap pengapresiasi sastra, dalam hubungan ini proses menyediakan, menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan sinyal-sinyal kesadaran akan makna ibadah sebagaimana disebut di atas kepada pengapresiasi cerpen tersebut.

Sinyal-sinyal kesadaran yang diumpankan dan diberikan oleh sastra, dan selanjutnya disediakan, ditawarkan, disuguhkan, dan dihidangkan oleh apresiasi sastra kepada pengapresiasi sastra dapat beraneka ragam. Kita tak bisa mengidentifikasinya secara pasti dan lengkap karena hal ini subjektif sekali. Hal ini bergantung pada kepekaan dan ketajaman nurani, rasa, dan budi pengapresiasi; juga bergantung pada kadar penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan pengapresiasi atas fenomena-fenomena dalam karya sastra. Yang bisa diidentifikasi terbatas pada hal-hal yang lumrah dapat menyadarkan orang, antara lain hakikat hidup manusia, hakikat kebebasan, tanggung jawab hidup manusia, hakikat permainan kekuasaan dan politik, dan hakikat hidup bersama dalam masyarakat.

Ekspresi ketersadaran pengapresiasi sastra setelah mengapresiasi suatu karya sastra juga bermacam-macam. Ini juga sulit diidentifikasi karena bersifat individual dan idiosinkretis. Misalnya, Si Rindang Rindu (bukan nama sebenarnya) setelah mengapresiasi Panembahan Reso kemudian menyadari hakikat permainan kekuasaan bisa mengekspresikan ketersadarannya dengan mengucap, misalnya, “O, jadi politik itu sangat kotor dan sering tak bermoral karena bisa membuat orang mengorbankan apa saja demi tercapainya tujuan-tujuan politis”. Namun, ekspresi ketersadaran Si Teduh Kasih (bukan nama sebenarnya) mungkin lain, misalnya, “Ternyata kekuasaan membuat kita kalap dan lupa akan kasih sayang kepada sesama. Saya tak senang dengan permainan permainan kekuasaan seperti itu.”. Jadi, ekspresi ketersadaran tidak bisa dipetakan dan diformulasikan secara baku dan pasti. Walaupun demikian, kita bisa mengatakan bahwa ketersadaran umumnya merupakan perwujudan katarsis dan sublimasi pengapresiasi sastra atas fenomena-fenomena dalam karya sastra yang memberikan sinyal-sinyal kesadaran.

Fungsi Rekreatif

Fungsi terakhir yang diemban oleh apresiasi sastra ialah fungsi rekreatif. Yang dimaksud fungsi rekreatif di sini adalah fungsi menyediakan, menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan hiburan-hiburan kepada pengapresiasi bilamana ia melakukan apresiasi suatu karya sastra. Sudah tentu pengertian rekreatif di sini tidaklah fisikal dan empiris, tetapi batiniah dan sukmawi. Tegasnya, rekreatif bagi batin dan sukma pengapresiasi. Dengan demikian, yang disediakan, ditawarkan, disuguhkan, dan dihidangkan oleh apresiasi sastra adalah hiburan batiniah dan sukmawi.

Sebuah karya sastra dapat diandaikan selalu memuat hiburan batiniah dan sukmawi, dan seorang pengapresiasi bisa menjiwai, menghayati, dan menghidangkan hiburan batiniah dan sukmawi itu andai kata radar-radar nurani, rasa, dan budinya demikian peka dan tajam. Dalam pada itu, apresiasi sastra dapat diperlakukan sebagai penyelenggara perjumpaan antara sinyal-sinyal hiburan dari karya sastra dan radar-radar nurani, rasa, dan budi pengapresiasi. Dengan begitu, penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan sinyal-sinyal hiburan dari karya sastra bisa berlangsung dalam batin dan sukma. Sebagai contoh, sastra-dramatik Gerr (Putu Wijaya) dan Opera Kecoa (Nano Riantiarno) dapat diperlakukan sebagai mengandung hiburan-hiburan batin dan sukma. Pengapresiasinya bisa menjiwai, menghayati, dan menikmati hiburan yang terkandung dalam Gerr dan Opera Kecoa. Andaikata sudah terjadi kontak antara keduanya berarti telah berlangsung apresiasi sastra. Hal ini berarti apresiasi sastra sudah menjumpakan sinyal-sinyal hiburan dalam Gerr dan Opera Kecoa dengan radar-radar nurani, rasa, dan budi pengapresiasi yang memang sudah terarah pada Gerr dan Opera Kecoa. Selanjutnya hal ini berarti bahwa apresiasi satra telah menunaikan fungsi rekreatif.

Ada bermacam-macam hiburan batiniah dan sukmawi yang disediakan, ditawarkan, disuguhkan, dan dihidangkan oleh apresiasi sastra. Akan tetapi, kita mungkin mengidentifikasinya secara pasti dan lengkap karena sifatnya individual-subjektif dan idiosin-kretis. Yang bisa dilakukan hanyalah menduga-duga gejala dan pertanda keterhiburan batiniah dan sukmawi. Kelegaan, kepuasan, kesenangan, kegembiraan, keantusiasan, keriangan, keterpikatan, keterikatan, dan keterpukauan merupakan beberapa gejala dan pertanda bahwa batin dan sukma memperoleh hiburan pada saat apresiasi sastra. Hal ini bisa terjadi karena humor-humor, kelucuan-kelucuan, keluguan-keluguan, sindiran-sindiran, lecehan-lecehan, kekontrasan-kekontrasan, kekonyolan-kekonyolan, bahkan keelokan-keelokan, keindahan-keindahan, dan keintensifan-keintensifan serta kekhusukan-kekhusukan yang terkandung dalam sastra dan tertangkap sewaktu berlangsung apresiasi sastra.

Bersambung 7


*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

2 Replies to “FUNGSI APRESIASI SASTRA (6)”

Leave a Reply

Bahasa »