166 NAMAKU
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan pepohonan dan rimba
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan sungai dan segara
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan besi dan baja
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan langit dan angkasa
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang disirami ibu-bapa
Kuncup bunga
Yang digayuti embun dinihari
Kuncup bunga
Yang diusap mentari pagi
Ya aku bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang ingin mekar
Ingin mengirim wangi sekitar.
Jakarta, 1985
SEDEKAH
Tujuh puluh bencana
Mengarah pada kita
Bagai mana menolaknya
Tujuh puluh sakit
Mendera kita
Bagaimana menyembuhkannya
Tujuh puluh pencuri
Mengganyang harta kita
Bagaimana mencegahnya
Tujuh puluh amarah Tuhan
Membakar kita
Bagaimana menghindarkannya
Bahkan membakar nadi kita
Bagaimana memadamkannya
Hampir kita lupa
Untuk itu semua
Ada satu cara
Sedarhana dan bersahaja
Mari kita bersedekah
Sedekah menolak bencana
Menyembuhkan sakit
Mencegah pencuri
Menghapus amarah Tuhan
Sedekah mencipta
Keakraban handai taulan
Sedekah mencipta
Suasana sejuk antara kita
Ia embun pagi
Menetes ke hati.
Jakarta, 1985
DI GERBANG KAMPUS ITU
Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba berdiri
Di gerbang kampus itu
Ia tengadah ke langit
Lalu menjerit
Suaranya hilang entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari bintang
Jatuh kebumi
Berserakan di bumi
Menjadi syair
Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba terengah
Di gerbang kampus itu
Setelah ribuan kilometer berlari
Mencari
Lalu tertunduk
Menangis
Tangisnya kemudina hilang
Entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari batu
Tergulir ke bumi
Menjadi puisi
Yang abadi
Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Kemudian pergi
Entah kemana
Di subuh hari
Ketika seorang mahasiswa
Membuka pintu gerbang kampus itu
Ia lihat kertas lusuh
Di sana tertulis
Tuhan, berkahi usaha mulia ini.
Jakarta, 1986
TAK ADA LAGI
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali merasakan sinar bulan
Yang dingin oleh rindu
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali mendengar rintih angin
Di air danau
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali memandang kuburan tua
Tempat istirahat nenek moyang ku
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali menyaksikan embun turun
Membasuh wajah rakyatku
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali merasakan gema doa
Dari orang yang menderita
Doa yang membumbung ke langit
Bersatu dengan awan
Bersatu dengan matahari
Lalu turun kebumi
Mendatangi rumahmu
Memberi salam padamu
Masuk kehatimu
Bicara tentang keadilan
Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Kecuali bekas masa kanak-kanak
Yang tertutup debu
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali melihat bayang sejarah
Perlahan tenggelam
Tak tertulis
Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Selain menyaksikan kasih Mu
Yang terus menyirami bumi.
Lho’Seumawe – Takengon, Januari 1986
SEORANG TUA BERJALAN
Setiap hari ia berjalan
Dijalan itu juga
Setiap hari ia berjalan
Badan sedikit terbungkuk
Langkah satu-satu
Di jalan itu juga
Ada senja
Menyamarkan jalannya
Tapi ada bintang
Terbit menolongnya
Semua tak ia minta
Tapi turun begitu saja
Di jalan itu juga
Ada matahari terik
Meneteskan keringatnya
Tapi ada angin
Meniup tubuhnya
Datang begitu saja
Semua turun begitu saja
Di jalan itu juga
Setiap hari ia berjalan
Di jalan itu juga
Dibawah langit itu juga
Pohon, dedaunan
Tiang listrik, aspal jalanan
Begitu ramah padanya
Kadang seperti menegurnya
Selamat pagi
Atau selamat sore
Atau selamat malam
Orang tua itu
Melangkah dan melangkah
Di jalan itu juga
Setiap langkah
Ia mengucap Allah.
Jakarta, 1986
JABAL GHAFUR
Untuk N.A.R.
Kulalui petak sawah yang luas
Padinya hijau melambai padaku
Kulalui kebun kelapa
Tinggi pohonnya
Daun menggapai awan
Lalu turun
Menggapai hatiku
Kulalui desa-desa tua
Desa perjuangan masa lalu
Disana tersenyum ayah bundaku
Lalu kutembus kabut debu
Kutembus juga sejarah gelap masa lalu
Kutembus semua yang menghalangiku
Aku harus bertemu dengan mu
Aku juga sangat rindu padamu
Engkau adalah kekasihku
Engkau adalah
Rumah di bawah langit biru
Disitu menitik kasih Tuhan
Aku terpana
Aku bertanya siapa namamu
Lalu pepohonan, gunung di jauhan
Sungai dan lautan gelombang berseru
Semua berseru
Jabal Ghafur, Jabal Ghafur.
Sigli, 25 Januari 1986
UNTUK DO KARIM
Pagi ini
Seperti ada yang menitik ke bumi
Barangkali embun
Atau gerimis sunyi
Atau desah syair sepi
Pagi ini
Seperti ada yang bergumam di bumi
Barangkali suaramu
Atau jerit luka
Atau tusukan syairmu
Ke hulu hati
Pagi ini
Seperti terdengar kersik angin
Atau percik keringat bumi
Mengguratkan namamu
Di pualam abadi.
Sigli, 20 Juli 1986
LAUT SIGLI
Semua keluh kukirim kepadamu
Semua risau kubenam kelaut mu
Rasa kesal dan benci kusampaikan kepadamu
Rasa kawatir dan takut kuceritakan padamu
O, laut Sigli
Semua derita ku tumpahkan kepadamu
Semua rindu kunyanyikan untukmu
Rasa sunyi dan nyeri kukirim padamu
Rasa takluk dan menyerah rubuh kepangkuanmu
O, laut Sigli
Izinkan aku memanggilmu
Ibu.
Sigli, 21 Juli 1986
DI TANGSE
Siapa yang masih mendengar suara
Yang bangkit dari rumput
Siapa yang masih mendengar suara
Yang mengalir dari air
Siapa yang masih mendengar suara
Yang menjerit dari tanah
Dari daun
Dari pohon
Dari duri
Dihutan Tangse ini
Suara serak parau
Suara wanita
Yang berkata
Jangan sentuh aku
Jangan
Meski aku haus
Dan kau tawarkan air minum
Jangan sentuh aku
Meski lukaku menganga
Dan kau ingin membalutnya
Jangan
Jangan sentuh kulitku
Kerena kau kafir
Musuhku.
Banda Aceh, 2 Agustus 1986
***
L.K. Ara, lahir di Takengon, Aceh, 12 November 1937. Pernah menjadi redaktur budaya Harian Mimbar Umum (Medan), Pegawai Sekretariat Negara, terakhir bekerja di Balai Puataka hingga pensiun (1963-1985). Bersama K. Usman, Rusman Setiasumarga dan M. Taslim Ali, mendirikan Teater Balai Pustaka (1967). Memperkenalkan penyair Tradisional Gayo, To’et, mentas di kota-kota besar Indonesia. Menulis puisi, cerita anak-anak dan artikel seni dan sastra. Dipublikasikan di Koran dan majalah di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Karyanya yang sudah terbit antara lain; Angin Laut Tawar (Balai Pustaka, 1969), Namaku Bunga (Balai Pustaka, 1980), Kur Lak Lak (Balai Pustaka, 1982), Pohon Pohon Sahabat Kita (Balai Pustaka, 1984), Catatan Pada Daun (BP, 1986), Dalam Mawar (BP, 1988), Perjalanan Arafah (1994), Cerita Rakyat dari Aceh I, II, (Grasindo, 1995), Belajar Berpuisi (Syaamil Bandung), Berkenalan Dengan Sastrawan Indonesia dari Aceh (1997), Langit Senja Negeri Timah (YN 2004), Seulawah; Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas (ed. YN, 1995), Aceh Dalam Puisi (ed. Syaamil, 2003), Pangkal Pinang Berpantun (ed. DKKP, YN, 2004), Pantun Melayu Bangka Selatan (ed. YN, 2004), Pucuk Pauh (ed YN 2004), Syair Tsunami (ed. Balai Pustaka 2006), Puisi Didong Gayo (Balai Pustaka 2006), Tanoh Gayo Dalam Puisi (YMA, 2006), Ekspressi Puitis Aceh Menghadapi Musibah (BRR 2006), Puisinya dapat juga ditemukan dalam: Tonggak, (1995), Horison Sastra Indonesia 1 (2002), Sajadah Kata (Syaamil, 2003).
Pernah mengikuti Simposium Sastra Islam di Univ. Brunei Darussalam (1992), Festival Tradisi Lisan di TIM, Jakarta (1993), Kongres Bahasa Melayu Dunia, Kuala Lumpur (1995), Pertemuan Sastrawan Nusantara IX di Kayutanam, Sumatra Barat (1997), Pertemuan Dunia Melayu Dunia Islam, Pangkalpinang, Bangka (2003), Pertemuan Dunia Melayu Islam, Malaka, Malaysia (2004), Mengikuti Festival Kesenian Nasional (Sastra Nusantara) di Mataram NTB (2007).